scentivaid mycapturer thelightindonesia

Inyiak Canduang dalam “Ayah Kita”: Kenangan Buya Bahruddin Rusli

Inyiak Canduang dalam Ayah Kita Kenangan Buya Bahruddin Rusli

Saya ingin sekali menyalami Buya Bahruddin (baca: beliau) lewat bukunya, “Ayah Kita”. Sebuah buku yang berisikan narasi-narasi memori. Karangan ini menjelaskan kenangan-kenangan Buya Bahruddin Rusli bersama Inyiak Canduang, Syekh Sulaiman Arrasuli yang merupakan ayah kandung beliau sendiri. Buku ini diselesaikan pada 21 Februari 1978 atau terbit sesudah beliau Buya Bahruddin menjabat sebagai anggota DPR-RI periode 1971-1977.

Alasan Buya Bahruddin memberi judul buku “Ayah Kita” ini terinspirasi buku “Ayahku” yang didedikasikan Buya Hamka untuk ayahnya yaitu Haji Rasul. Dedikasi seorang anak dalam mengenang orang tuannya lewat buku. Tentunya kita sekrang bisa juga mengambil ibrah pula terhadap tindakan beliau-beliau perihal memberi judul buku dalam mengeng orang tua kita.

Biografi singkat Buya Bahruddin

Pelajaran pertama yang didapatkan pada kata pengantar buku “Ayah Kita” ini, yang disebutkan Buya Bahruddin Rusli pada halaman ‘prakata’ sungguh unik. Kata beliau: melihat kini, masa dimana ormas-ormas Islam lagi gencar-gencarnya menjadi matahari bagi umat. Ternyata untuk bersinar itu tidak perlu meredupkan sinar golongan lain. Cukup kita berusaha lebih untuk memberi sinar pada golongan sendiri.

Bab-bab pada buku ini disusun oleh Buya ahruddin bak laksana kehidupan Inyiak Canduang semenjak dari pangkuan ibunya. Bagian awal dikisahkan Siti Buliah yang dipersunting oleh ulama kebanggaan Canduang pada abad 18 akhir dan 19, Angku Mudo Muhammad Rasul ayah dari Syekh Sulaiman Arrasuli. Seorang ulama yang menyiarkan Islam dari surau ke surau seperti kebanyakan ulama-ulama kaum tuo lainya. Buya Bahruddin juga tidak lupa pula memubuhkan rentetan nasab, suku, dan awal kehidupan yang ditulis jelas dalam (halaman 4-5).

Baca Juga: Kenangan Sangat Indah Bersama Syekh Sulaiman Arrasuli Bagian 1

Selain itu Buya Bahruddin dalam buku “Ayah Kita” ini juga menulis perihal kehidupan pribadi Inyiak. Tidak hanya itu, Buya Bahruddin menuliskan perihal keluarga, teman-teman dan jalan menjadi siak Syekh Sulaiman Arrasuli.

Buya Bahruddin lewat buku ini juga mengisahkan perjalanan inteletual Inyiak Canduang dan kisah mengelola suraunya. Bagi Inyiak ini, surau adalah wadah atau tempat berbagi ilmu sepulang dari Makkah tahun 1907 (halaman 13). Melihat tingkat intelektual Inyiak Canduang memang sulit ditemukan “badal” atau gantinya. Langka mencari pengganti yang mampu menjadi ulama yang hampir menggandrungi seluruh kancah keilmuan syariat.

Sembari surau berjalan dan nantinya dialihfungsi menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI), Inyiak Canduang menjadi Qadhi (hakim urusan agama) pula di wilayah Canduang dari tahun 1917 sampai 1944. Tahun 1918 Inyiak Canduang menjadi Presiden Serikat Islam (SI) suatu ormas besar yang bertebaran di sebagai daerah di Nusantara yang berpusat d Jawa pada waktu itu. Semua ini tidak lepas dari Inyiak sendiri secara pribadi adalah segala bisa, yang diringkas Buya Bahruddin dalam bukunya (halaman 18, 19, dan 20).

Menariknya, selain berisikan kisah, buku ini berisikan  narasi-narasi anekdot yang penuh hikmah dari Syekh Sulaiman Arrasuli. Anekdot ini sepertinya menjadi kekuatan lain bagi Inyiak Canduang. Tampak sekali bagaimana kelihaian Inyiak ini dalam mengelola perasaan, humor, dan segala sifat sederhana manusia yang mudah ditemukan.

Pada tingakat tertentu Inyiak Canduang menjadi sosok pemeran sekaligus sutradara yang paham lika-liku, dimana adat bisa menjadi senjatanya pula walau dikenal dengan ahli syariat.   Dalam  sebuah alkisah yang diringkas (langsung ke inti) yang tertulis dalam buku “Ayah Kita”.  Kisah seorang Demang (pemimpin pribumi Hindia Belanda) yang berkuasa di wilayah Tilatang Kamang hingga IV Angkek Canduang yang bersahabat dengan Inyiak Canduang. Kisah ini pun juga berkaitan dengan peran adat dalam kekeluargaan.

Sebut namanya Demang Datuak Batuah. Semenjak berkuasa, Demang Datuak Batuah hampir tidak mengerjakan salat, walaupun sudah menjalin persahabatan dengan Inyiak Canduang. Membuat Inyiak ini harus berinisiatif dan memaksa Demang ini salat secara halus. Maka, peran yang dimainkan Inyiak Canduang dengan meminta muridnya bernama Syamsiah yang ahli dalam ‘tenun-menenun’ membuat sarung untuk salat. Secara tidak langsung Syamsiah adalah cucu sepersukuan dengan Demang ini.

Maka tatkala sarung itu telah selesai, dibawa Inyiak Canduang untuk diberi kepada Demang. Ketika memberi itu Inyiak Canduang menggunakan bahasa begitu halus dan mengena ke ulu hati sang Demang, “Sebelum belajar bertenun dulu (Syamsiah) bernazar, kalau pandai ia bertenun akan menenun Demang sehalai kain sarung sembahyang”. Kata Inyiak kepada Demang sembari menyerahkan sarung tersebut.

Demang dalam keadaan yang sudah menjauh dari salat tadi menjadi dilema tatkala menerima pemberian cucunya itu. Sehingga setelah kejadian itu sarung itulah yang menjadi saksi bisu Demang dalam salat.

Beginilah Inyiak Canduang ini yang mampu mengolah perasaan seorang yang membatu menjadi lunak bagaikan lumpur hatinya. Narasi anekdot ini adalah salah satu yang dicerita dalam”Ayah Kita” (halaman 24).

Baca Juga: Syekh Sulaiman Arrasuli al-Khalidi Canduang Pendekar Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah

Buku “Ayah Kita” juga mencatat kenangan dan ingatan Buya Bahruddin pada kisah keteguhan Inyiak Canduang dan Ummi Shafiyah (istri pertama). Buya Bahruddin menyebut kisah pernikahan Inyiak Canduang dan Ummi Shafiyah dengan “perjanjian berdasarkan cinta dan agama”, relgiousloveagreement. (halaman 11). Kisah romantis pengorbanan setimpal perasaan Ummi Shafiyah merelakan Inyiak Canduang berpoligami akibat desakan banyaknya lamaran yang datang, demi menjunjung kemuliaan beliau di tanah beradat ini. Sementara Inyiak Canduang yang menolak itu terjadi karena kasih sayang beliau pada Ummi Shafiyah dan anaknya bagai palung di lautan.

“Salah satu halaman buku “Ayah Kita” yang mengisahkan kemesraan Inyiak Canduang dan Istri pertama beliau

Dengan adanya buku ini, sungguh rasa syukur tiada tara, kita ucapkan kepada Buya Baharuddin yang telah membuat buku “Ayah Kita” hingga dapat dibaca oleh santri-santri Tarbiyah Islamiyah. Walaupun Inyiak Canduang mewariskan karya tulis yang banyak tetapi dengan buku ini kita sulit mengetahui siapakah Inyiak atau Syekh Sualiman Arrasuli yang hampir kita banggakan hingga melangit, di sisi lain begitu membuminya (sederhana) itu. Buku ini memperlihatkan sifat-sifat Syekh Sulaiman Arrasuli yang begitu humanis dan begitu anak kampung yang taat adalah cerminan bagi kita bahwa membentuk diri seperti Inyiak tidaklah rumit. Gambaran demikian akan kita temukan dalam buku ini, hampir di setiap halamannya.

Dengan cara demikian, sepertinya Buya Bahruddin berusaha mengajak kita untuk sama-sama menyalami Inyiak Canduang mulai dari roh yang ditiupkan padanya hingga disudahi di tepat pemakamannya di komplek MTI Canduang.[]


Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima sumbangan tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com

Ilham Arrasulian
Mhd Ilham Armi adalah nama yang diberikan oleh kedua orang tua. Berkuliah di UIN Imam Bonjol Padang, tamatan Ponpes MTI Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Belajar membaca dan menulis untuk menjadi sebaik-baik anak yang baik bagi orang tua.