Tarbiyah Islamiyah di Tanah Rejang
Oleh: Muhammad Sholihin
MEMAHAMI Islam Rejang adalah pergulatan memahami sejarah agama, politik dan struktur sejarah masa lalu manusia Rejang. Hadirnya Islam di tanah Rejang tentu berbeda dengan hadirnya Islam di Minangkabau. Jika di Minangkabau, Islam hadir sebagai bagian dari relasi ekonomi, pengetahuan, dan ulama. Tetapi Islam di tanah Rejang, hadir sebagai produk dari kekuasaan. Tesis ini disaripatikan melalui penelusuran terhadap masuknya Islam di Tanah Rejang yang diujarkan oleh sarjana semisal Hazairin; dan Abdullah Siddik.
Badrul Munir Hamidy (2004) pun menelusuri masuknya Islam ke wilayah Bengkulu setidaknya melalui beberapa pintu, yakni: Pertama, melalui kerajaan Sungai Serut yang dibawa oleh ulama asal Aceh bernama Tengku Malin Muhiddin; Kedua, melalui perkawinan Muzafar Syah, Raja Indrapura, dengan Puteri Serindang Bulan. Sejak itulah Islam masuk ke Tanah Rejang; Ketiga, melalui hubungan antar kerajaan Sungai Lemau dengan Kerajaan Pagaruyung. Diceritakan, utusan Pagaruyung yang telah memeluk agama Islam, Bagindo Maha Raja Sakti, menjadi pemimpin kerajaan Sungai Lemau pada abad ke XVII; Keempat, melalui kerajaan Selebar dengan Kerajaan Banten; Kelima, melalui hubungan antara kerajaan Anak Sungai dengan Kerajaan Indrapura. Jalur kedua merupakan pintu masuk bagi Islam ke Tanah Rejang, yakni melalui perkawinan Sultan Indrapura Mudzaffar Syah dengan puteri Serindang Bulan, adik Karang Nio, dan setelah memeluk Islam berganti gelar Sultan Abdullah.
Baca Juga: Tarbiyah-Perti Rejang Lebong Seminarkan Moderasi Adat dan Syarak
Versi lain tentang masuknya Islam ke Tanah Rejang adalah keyakinan bahwa Islam masuk ke Tanah Rejang melalui jalur Palembang. Dengan argumentasi bahwa ibu dari Puteri Serindang Bulan Sirdaraya berasal dari kesultanan Palembang. Kedua pandangan ini mengukuhkan satu tesis bahwa masuknya Islam ke Tanah Rejang adalah produk dari relasi kekuasaan, budaya, dan Islam itu sendiri. Kekuasaan raja; dan perkawinan menentukan penerimaan Islam di daerah ini. Mengapa Islam di daerah ini menyebar justru melalui jalur kekuasaan atau kerajaan? Tak lain, bahwa sistem kultural Rejang sangat identik dengan kekuasaan. Secara filosofis, kehidupan sosial dan struktur kultural masyarakat Etnis Rejang determinan dengan karisma tokoh agama dan legitimasi kekuasaan para Ajai. Tak heran jika relasi sosial, kultural dan politik etnis Rejang bersambung hingga Majapahit.
Alkisah, dan berdasarkan mitos yang bertahan pada etnis Rejang bahwa asal usul masyarakat Rejang berawal empat petulai. Masing-masing petulai dipimpin oleh seorang ajai atau raja. Empat ajai yang umum diketahui oleh etnis Rejang adalah Ajai Bintang, Ajai Begelan Mato, Ajai Siang dan Ajai Tiea Keteko. Saat itu, tanah Rejang masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis. Pada masa empat ajai ini, datang empat orang bersaudara dan putra dari Raja Kencana Unggut dari kerajaan Majapahit. Biku Sepanjang Jiwo, Biku Bijenggo, Biku Bembo, dan Biku Bermano. Keempatnya dikenal arif, bijaksana, sakti dan pengasih. Karena itu, para biku ini kemudian diangkat oleh keempat petulai sebagai pimpinan mereka. Pemberian supremasi kekuasaan pada para biku mensyaratkan terjadinya negosiasi antara Raja Lokal dan pemuka agama, yakni para biku yang datang dari tanah Jawa. Pada tahap inilah kemudian negosiasi agama dan kekuasaan berlangsung di tanah Rejang. Lantas, apakah perkembangan Islam berhenti pada relasi kekuasaan saja di Tanah Rejang, atau justru terus berlanjut ke tangan para ulama? Pertanyaan ini tentu berhubungan dengan judul yang ditawarkan pada tulisan ini: “lalu bagaimana peran Persatuan Tarbiyah Islamiyah dalam memperkenalkan Islam ke masyarakat Rejang?”
***
Pandangan yang menyatakan Islam masuk ke tanah Rejang melalui kerajaan Sungai Serut, dinisbahkan pada kajian K.H.O. Gajah Nata, yang merujuk pada sumber lokal yang menyatakan bahwa: “…terhimpun dalam gelumpai (Tulisan dalam Kulit bambu dengan aksara Ulu) diperoleh keterangan bahwa pada tahun 1417 M. seorang da’i dari Aceh bernama Malim Muhidin datang ke Gunung Bungkuk, Sungai Serut Awi, Kawasan Lematang Ulu. Ia berhasil mengislamkan Penguasa gunung Bungkuk Ratu Agung. Penguasa gunung Bungkuk saat itu. Enam bulan kemudian Malim meninggalkan gunung Bungkuk meneruskan perjalanan menelusuri Sungai Lematang arah Hilir.” Demikian, catatan sejarah tentang masuknya Islam di Tanah Rejang dengan hanya melihat satu pecahan sejarah kekuasaan saja tentu tidak menarik, bahkan memadai.
Ada kisah lain, yang barangkali jarang dimunculkan ke permukaan, dan menjadi kerak sejarah karena kurang dituturkan. Merujuk penelusuran Salim Bella Pili, di abad ke-20, Islam berkembang di Rejang Lebong tak lepas dari peran para mubaligh dan ulama yang berasal dari daerah Minangkabau. Mereka datang membawa paham Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, persis pada tahun 1930-an. Tak hanya itu, ada juga penyiar agama Islam dari Palembang yang bernaung di bawah panji Nahdatul Ulama. Tak ketinggalan pula para da’i dari Jawa yang bernaung di bawah bendera PSII. Awal daerah yang dikunjungi adalah Lebong kemudian Curup, yang kebetulan adalah kota perlintasan dagang, terutama dibukanya Jalur Kereta Api di Lubuk Linggau oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Fase ini bertepatan dengan semaraknya Islam di Minangkabau. Hiruk pikuknya dikemasi dan disyiarkan oleh para ulama, pengamal tarekat yang awalnya belajar; dan mengaji di Sumatera Barat, kemudian diperkenalkan ke wilayah pedalaman Tanah Rejang. Misalnya Lebong dan Muara Aman.
Para pengamal Tarekat di wilayah Rejang Lebong pada umumnya, bersambung silsilahnya pada mursyid Tarekat yang ada di Minangkabau pada awal abad ke-20. Hanya saja, dalam praktiknya, para penyiar Islam di Rejang Lebong dapat dikategorikan ke dalam dua tipologi, Islam tradisional yang digawangi oleh para ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Rejang Lebong dan umumnya langsung mengaji ke Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Sumatera Barat. Sedangkan tokoh modernis pada umumnya mengaji ke Padang Panjang.
Tersebutlah Ki Zaidin Burhany, yang bermukin di depan Mesjik Jamik Curup, beliau tercatat sebagai salah satu tokoh sentral penggerak Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Curup, Rejang Lebong. Dalam mengemban perjuangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Curup, beliau di bantu Abuya K.H. A Mutholib dan K.H. Awwaludin. Ketiganya adalah murid dan mengaji langsung kepada Syekh Sulaiman Arrasulli, dan berjuang melebarkan gerakan Ahlussunnah wal Jamaah di Provinsi Bengkulu. Pada tahun 1938 maka berdirinya Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Curup yang berada di Keluruhan Pasar Baru (Jalan merdeka saat ini). Kemudian 30 tahun kemudian berdiri lagi MTI di Air Rambai. Munculnya madrasah ini tak terlepas dari pengaruh Abuyah Ki Zaidin Burhany, sebagai tokoh dan ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah Provinsi Bengkulu.
***
MENGINGAT sejarah Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Curup, Khususnya. Dapat diazam-kan, bahwa Ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Tanah Rejang adalah mata rantai yang tak terputus dalam memakmurkan Islam dan menegakkan paham Ahlusunnah wal Jamaah di tanah Pinang Belapis ini. Bahkan dapat dikatakan sejajar dengan peran ulama kerajaan dan pungawa kerajaan Islam Melayu yang memperkenalkan Islam di abad ke-14 M. Detik ini, tinggal-lah bagaimana para generasi yang tumbuh begitu jauh dari Pusat Berdirinya Tarbiyah Islamiyah di Minangkabau, mereka yang berusaha mencari dzuq Ketarbiyahan, untuk menafsir ulang gerakan Persatuan Tarbiyah Islamiyah seperti apa yang layak digelorakan di Tanah Pat Petulai ini? Apakah akan mereplikasi Gerakan Tarbiyah Islamiyah di tanah kelahirannya, yang ‘lunglai’ di hantam gelombang ideologi tran-islamisme lewat harakah yang kian cepat dan massif? Atau justru mendayung di antara karang masa lalu, dan kekiniaan. Lalu melahirkan satu bentuk baru, bagaimana harus Ber-Tarbiyah Islamiyah di tengah kegamangan beragama yang massif. Waktulah yang akan menjawab. Allahu A’lamu bishawab.[]
Tarbiyah Islamiyah di Tanah Rejang
Leave a Review