Urgensi memahami dalil-dalil Naqli, baik dari al-Qur’an maupun hadis, tidak dapat mengenyampingkan beberapa hal dasar yang perlu diketahui oleh pengkaji akidah, di antaranya adalah istilah Al-Ahkâm, bentuk plural dari kata Al-Hukm yang berarti hukum. Kata hukum sering disematkan kepada istilah-istilah tertentu seperti hukum ‘âdî (alam), hukum positif, hukum adat, hukum logika, hukum fikih, bahkan bagi sebagian kalangan juga terdapat istilah hukum karma.
Istilah hukum adalah hal mendasar untuk menapaki istilah-istilah berikutnya yang terkait dengan akidah karena sangat berkaitan dengan nalar yang kemudian disebut dengan hukum akal atau hukum logika. Sementara yang berkaitan dengan aturan-aturan fikih disebut dengan hukum syar‘i. Sedangkan yang berkaitan dengan fenomena alamiah disebut dengan hukum ‘âdî.
Dalam hal ini Syekh Sulaiman Arrasuli mengawali kitab Al-Aqwâl al-Mardhiyyah dengan menjelaskan arti hukum secara umum menggunakan metode interaktif.
Ia menuliskan,
السؤال ؛ ما معنى الحكم؟
الجواب ؛ ومعنى الحكم إثبات أمر أو نفيُه كإثبات التحيّز للجرم، والوجوب للصلاة، والتسخين للنار.
Pertanyaan : Apakah yang dimaksud dengan hukum?
Jawaban :Hukum adalah suatu penetapan keberadaan sesuatu atau ketiadaannya. Seperti penetapan bahwa fisik memiliki dimensi gerak (atau tidak). Penetapan kewajiban shalat (atau tidak). Dan penetapan suhu panas pada api (atau tidak).
Baca Juga: Memaknai Kitab-Suci Pendidikan Inyiak Canduang Bag i
Secara umum, dari penjelasan Syekh Sulaiman Arrasuli dapat dipahami bahwa hukum adalah sebuah upaya nalar untuk menilai atau menjelaskan status sebuah objek yang sedang diamati, diteliti dan kemudian dijelaskan dengan menggunakan perangkat-perangkat yang sesuai dengan kebutuhan dari proses penalaran tersebut. Dari jawaban yang ia utarakan, apapun kesimpulan akhirnya, maka itu adalah sebuah hukum dari hasil proses penalaran sederhana (dharûrî) ataupun penalaran rumit (nazharî).
Sedangkan perangkat-perangkat yang dimaksud adalah segala macam media yang menyajikan bahan kepada nalar untuk diberikan kesimpulan hukumnya. Seperti indera penglihatan, menjadi sebuah perangkat yang mentransfer visual sebuah objek kepada otak seseorang untuk diproses oleh akal dan nalarnya dan kemudian memberikan kesimpulan status objek tersebut. Ketika seseorang dengan matanya melihat darah yang keluar dari tubuhnya, lantas ditanyai apa warna darahnya, maka dia akan menjawab dengan warna merah. Jawaban “merah” ini adalah sebuah hukum dari hasil dari proses sederhana yang pernah ditransfer oleh mata menuju otaknya, terlepas dari apakah jawabannya pada saat itu lantaran memperhatikan darahnya terlebih dahulu lalu memberikan penilaian atau pun memang sudah dihapalnya semenjak kecil. Karena, meskipun sudah dihapalnya semenjak kecil, pengalaman pertama itu tidak lepas dari proses indrawinya. Maka dari sini dapat dipahami bahwa “hukum” adalah Itsbât Amrin Aw Nafyuhû, yakni sebuah upaya menetapkan atau menafikan sesuatu, yang dalam contoh ini adalah apakah warnanya merah atau tidak.
Baca Juga: Ulasan Kitab Tauhid Kitab Fathul Majid-1
Apabila hukum ini disandarkan kepada beberapa macam objek, tentunya akan merubah fokus dari hukum ini. Ragam objek ini menciptakan jenis hukum yang berbeda tergantung jenis objeknya, dan kemudian menjadi macam dari hukum tersebut. Macam tersebut dituliskan oleh Syekh Sulaiman sebagai berikut,
السؤال ؛ كم أقسام الحكم؟
الجواب ؛ والحكم ينقسم إلى ثلاثة أقسام، عقلي وشرعي وعادي.
Pertanyaan : “Berapa macam hukum tersebut?”
Jawaban : “Hukum terbagi kepada tiga macam yang terdiri dari Hukum Akal, Hukum Syar’i dan Hukum ‘Âdî”.[]
Leave a Review