Memahami al-Qur’an
Ya Syabab, memahami kitab madrasi dari mutun sampai hawasyi itu pintu untuk memahami kitab mutaqaddimin. Memahami kitab mutaqaddimin itu pintu untuk memahami aqwal salaf. Memahami aqwal salaf itu pintu untuk memahami wahyu yaitu al-Qur’an dan Hadis Nabi saw.
Saat seorang yang melewati itu semua maka saat membaca al-Qur’an dan Hadis tidak ada lagi ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu fikih, ilmu kalam, dst. Karena semua ilmu yuthwa menjadi satu kesatuan. Mereka miliki kemampuan melihat dengan mata sahabat Nabi ketika melihat Nabi dan kemampuan mendengar dengan mata sahabat Nabi ketika mendengarkan lantunan al-Qur’an dan sabda-sabda Nabi.
Makanya kita melihat pemahaman ulama pada al-Qur’an levelnya berbeda jauh dengan kita, padahal al-Qur’annya sama. Seolah kita merasakan itu ajaran Islam yang disampaikan Nabi, sahabat seperti itu dulu memahaminya. Ei wallah merekalah yang mewarisi ilmu sahabat. Makanya jangan heran di akhir umurnya para ulama lebih senang menyelami al-Qur’an dan Hadis dibanding kitab apapun, karena maknanya tidak habis, namanya saja langsung dari tuhan, maknanya ya, tak terbatas. Hanya saja jika orang biasa seperti kita, ya pemahamannya, ya gitu, tapi beda dengan para ulama.
Baca Juga: Eksistensi al-Qur’an
Untuk mencapai tahap perenungan dan pemahaman al-Qur’an dan Hadis di level seperti di atas itu, dibutuhkan waktu. Nah bagaimana kita merenungi al-Qur’an tanpa melewati itu? Tentu saja bukan alasan bagi awam untuk tidak mampu merenungi al-Qur’an, awam juga mampu merenunginya, karena salah satu mukjizat al-Qur’an adalah bisa dipahami awam dan alim, walau level pemahaman yang berbeda. Tapi awam bisa merenungkan sedalam-dalamnya hanya saja awam tidak punya dhawabit. Jadi dalam merenungkan ketika sampai suatu pemahaman pastikan pada para ulama, apakah sesuai dhawabit (aturan) atau tidak, ikuti sesuai arahan mereka para Mujtahid dalam memahami al-Qur’an, agar pemahaman tidak jadi liar dan dalam koridor ilmiah.
Itu alasan untuk mengikuti arahan. Ya, musyawarah dengan ahlinyalah karena mereka para ahli itu pernah belajar untuk memahami dhawabit perenungan al-Qur’an, sehingga sejauh apapun kita menyelami tapi tidak keluar dari koridor ilmiah. Dengan begitu perenungan kita, ya tetap ilmiah. Bukan renungan karang bebas. Hanya saja keilmiahannya bukan tanggungjawab kita, tapi arahan para ilmuwan. Intinya, renungkan sendiri dengan pemahaman yang tidak keluar dari arahan mereka, ya taklid dalam merenungkanlah.
Baca Juga: Hati-hati ‘Memasangkan’ Ayat
Dengan begitu insyaallah akan diberi futuh dan dibuka pemahaman yang tidak kita duga dan kadang tidak kita dapatkan dalam pengajian, bahkan kadang membuat ulama tempat kita musyawarah kagum dengan makna yang kita dapatkan, beliau-beliau sendiri bahkan tidak mendapat pemahaman itu, ya tugas beliau-beliau hanya mengarahkan jika pemahaman itu sesuai aturan bukan mengentahui semua makna. Itulah Futuh yang bagi orang yang merenungkan al-Qur’an, kitab yang bisa menjadi petunjuk untuk menyelesaikan solusi hidup, baik zahir atau batin. Sehingga al-Qur’an beneran menjadi hudan lil muttaqin, “petunjuk bagi orang yang bertakwa”.[]
Leave a Review