scentivaid mycapturer thelightindonesia

Jalan Sunyi Perti di Bumi Kerinci

Jlan Sunyi Perti di Bumi Kerinci
Ilustrasi/Dok. Penulis

“NU, Muhammadiyah, dan lain-lain itu sekadar organisasi, tapi amaliyah kami, masyarakat di sini, adalah Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah)”, tutur seorang tokoh perempuan Kerinci, Jambi, saat saya temui di awal Januari lalu. Si ibu itu adalah tokoh penting di salah satu organisasi keagamaan yang ia sebut “sekadar organisasi”, untuk wilayah Kerinci. Walau bukan pengurus Perti, namun ia hidup di lingkungan Perti dan cukup memahami kondisi Perti di Kerinci.

“Kalau organisasi, nuansa politiknya kental, tapi kalau Perti, itu pedoman beribadah kami”, imbuhnya, seolah mengonfirmasi kalimat yang sempat melintas di pikiran saya sebelumnya: bahwa bagi masyarakat Kerinci, Perti bukan sekadar organisasi, atau sama sekali bukan organisasi, tapi pedoman beramal-beribadah. Saya pun berusaha mencari kebenaran pernyataan si ibu ini ke masyarakat di akar rumput, lalu beberapa kali saya dapati pernyataan “kami ini orang Perti” dari mereka.

Apa yang mereka maksud dengan “orang Perti”? Saya telusuri lagi, ternyata “Perti” yang mereka maksud bukan organisasi, tapi corak pengamalan beragama. Artinya, pada saat menyatakan diri sebagai “orang Perti”, mereka tidak sedang mengidentifikasi diri sebagai anggota organisasi, tetapi hanya sebagai warga masyarakat yang beramal-beribadah mengikuti tradisi keilmuan atau amaliah yang ditradisikan oleh kalangan Islam tradisional yang kemudian membentuk organisasi bernama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).

Siapa yang mengajarkan amaliah menurut tradisi Perti itu?, tanya saya lebih lanjut. “Amaliah kami sesuai pengajaran guru-guru kami dulu. Guru-guru kami belajar ke Minangkabau, di antaranya ke seorang alim dari Bukittinggi sana, di sebuah desa di kaki Gunung Marapi, dan temannya yang juga seorang alim di Padang Panjang sana”. Masyarakat tadi tidak hafal sama sekali siapa nama orang alim dari Bukittinggi dan Padang Panjang yang mereka ceritakan. Saya berusaha mengejar, apakah orang alim yang dimaksud adalah Syekh Sulaiman Arrasuli dan Syekh Jamil Jaho? Mereka menggeleng tidak tahu.

Di lain kesempatan, seorang masyarakat memberi gambaran bahwa orang alim dari Bukittinggi yang mereka maksud, fotonya terpampang di ijazah yang diterbitkan oleh pesantren-pesantren yang dulu berkembang pesat di wilayah Kerinci ini. Saya berusaha memastikan, apakah pesantren itu bernama “Madrasah Tarbiyah Islamiyah”? Lagi-lagi, mereka tidak tahu.

Baca Juga: Urang Siak Batoko Sebuah Pesan

Merujuk pada sejarah pendidikan di Kerinci, ternyata pada 1937 di wilayah ini berdiri sebuah Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI), tepatnya di daerah Tanjung Pauh. Pendirinya adalah Buya Yakub Kari, murid generasi pertama Syekh Jamil Jaho setelah Surau Jaho bertransformasi menjadi madrasah (MTI). Dari MTI Tanjung Pauh, kemudian lahir MTI Sebukar, lalu MTI Koto Petai, dan terus berkembang sejumlah MTI atau pesantren di berbagai penjuru. Setelah dikonfirmasi, ternyata betul bahwa pesantren-pesantren yang dimaksud oleh masyarakat tadi adalah MTI ini. Saya pun berhasil menemukan sebuah ijazah yang diterbitkan pada 1980 oleh MTI Sebukar. Betul, ada foto Syekh Sulaiman Arrasuli terpampang jelas di sana.

Sebuah ijazah yang diterbitkan pada 1980 oleh MTI Sebukar, Kerinci
Dok. Penulis

Dapat dimengerti bahwa lembaga pendidikan dengan nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah atau singkatannya, MTI, tidak lagi akrab di telinga masyarakat Kerinci saat ini. Sebabnya, MTI-MTI yang dulu berkembang pesat itu, sekarang tinggal kenangan. Beberapa MTI telah berubah wujud menjadi sekolah negeri, seperti MTsN dan MAN; sekolah swasta setingkat MTs dan MA; atau sekadar MDA/MDTA tempat mengaji al-Qur’an bagi anak-anak usia SD sepulang sekolah (bagian ini akan dijelaskan pada kesempatan lain). Ingatan masyarakat awam tentang MTI-MTI itu hanya mampu mereka ungkapkan dengan kalimat “dulu di sini banyak pesantren”. Sebatas itu.

Selama hampir setahun berada di Bumi Sakti Alam Kerinci, belum sekalipun saya temukan bendera Perti berkibar di pinggir jalan raya, gedung dengan papan nama bertuliskan “Persatuan Tarbiyah Islamiyah”, atau spanduk berlogo Perti yang terbentang di ruang publik. Sementara, simbol dan atribut organisasi lain amatlah meriah dan gampang dijumpai di banyak tempat. Jangankan NU dan Muhammadiyah yang sudah sangat mainstream, organisasi yang cenderung kontroversial pun semarak di sini, sebut saja: LDII, Jam’iyatul Islamiyah (JmI), Majlis Tafsir Alquran (MTA), Ahmadiyah, dan sebagainya. Namun kemudian, saya tersadar bahwa: bendera Perti memang tidak berkibar di pinggir jalan, tapi di nurani jamaahnya; Perti tidak berkantor di gedung, tapi di sanubari anggotanya; dan spanduk Perti tidak terbentang di ruang publik, tapi di hati masyarakat. Andaikan saat ini saya diminta untuk berbangga diri sebagai bagian dari Perti (karena pernah dididik di sekolah Perti), saya sudah menemukan alasannya!

Di daerah ini, berbagai organisasi dan kelompok keagamaan dapat melebur. Cair dan membaur. Contoh kecil: ada dua sekawan yang dulu menamatkan pendidikan di MTI yang sama, lalu aktif di organisasi yang berbeda, dan mereka sama-sama memegang posisi penting di organisasinya masing-masing tanpa perlu merusak perkawanan, tanpa perlu mengemukakan sentiment dan ekspresi persaingan. Mereka tetap bisa ngakak bareng saban hari tanpa terbebani oleh citra organisasi, tanpa mengubah tradisi amaliah atau corak keilmuan yang mereka peroleh dulu saat di MTI, walaupun organisasi keduanya bukan Perti. Karena, di atas semua slogan, merek, bendera, lambang, dan simbol organisasi-organisasi itu, “darah” mereka adalah Perti.

Tentu saja, masyarakat yang hidup dengan tradisi keagamaan Perti tadi tidak merata di semua wilayah Kerinci. “Kami orang Perti” hanya ditemukan di sebagian daerah. Kerinci adalah wilayah yang sangat heterogen dari sisi keagamaan. Di sini banyak terdapat kelompok, organisasi, dan corak keagamaan. Namun demikian, tidak perlu ada klaim bahwa daerah tertentu adalah basis Ormas A, sehingga Ormas B tidak boleh berkegiatan, atau sebaliknya. “Orang-orang Perti” di sini tidak perlu menolak organisasi lain, apapun organisasinya.

Baca Juga: Perti

Wilayah Kerinci yang dimaksud di sini termasuk Kota Sungai Penuh, karena secara kultural, Sungai Penuh adalah bagian dari Kerinci, walaupun secara administratif telah memisahkan diri menjadi kota otonom semenjak 2008. Sekadar berbagi pengalaman, saya tinggal di lokasi pemukiman yang pengamalan keagamaannya cukup beragam. Sekitar 300 meter dari rumah saya arah selatan terdapat Masjid Hijau Jam’iyyatul Islamiyah (JmI). Sekitar 150 meter arah utara terdapat musala tempat Jamaah Tabligh rutin berkegiatan. Sekitar 500 meter arah barat terdapat Masjid Syathariah yang dalam beberapa hal punya corak amaliah tersendiri. Lanjut sekitar 1 km ke barat, persis di jantung kota, terdapat masjid yang dulunya dikelola oleh kalangan pedagang pasar, tapi belakangan menjadi pusat kegiatan kelompok salafi. Semua kelompok itu eksis berkegiatan dengan coraknya masing-masing, di tengah kontroversi yang terus berkembang di luar sana.

Kecuali Syathariah, kontroversi atas kelompok dan organisasi di atas dapat ditemukan dengan mudah di berbagai blog dan situs berita. Untuk Syathariah sendiri, pada dasarnya tidak memiliki perbedaan mencolok dengan pengamalan Islam tradisional atau tradisi Perti. Hanya saja, dalam salat Jumat, pelaksanaan khutbah di masjid ini selalu menggunakan bahasa Arab, karena mengikut tradisi Jumat di (sebagian) daerah Pariaman, Sumatera Barat, yang kebanyakan juga mengamalkan tarekat Syathariah. Dalam penentuan awal Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha, jamaah Masjid Syathariah juga mengacu pada tradisi Pariaman yang berdasarkan rukyat langsung (melihat langsung pakai mata telanjang, tanpa alat, tanpa hisab), sehingga awal ramadan, Idulfitri, dan Iduladha mereka kerap kali berbeda dengan umat Islam kebanyakan.

Di atas semua perbedaan itu, semua kelompok dan organisasi keagamaan terus eksis dan mengembangkan diri tanpa harus menimbulkan konflik fisik. Barangkali masih ada sentiment sosial dalam porsi dan level tertentu, tetapi syukurnya tidak mewujud menjadi konflik fisik, karena pada dasarnya wilayah Kerinci cukup rentan konflik sosial. Tawuran antar kampung sampai berujung aksi bakar rumah menjadi peristiwa yang kerap terdengar di sini, tapi sejauh ini belum ditemukan konflik sosial berlatar agama atau yang dipicu oleh perbedaan pengamalan keagamaan.

Dalam dinamika sosial seperti itulah Perti terus hidup dan mengalir tenang tanpa riuh, tanpa gaduh oleh khotbah-khotbah para elitenya: “mari membesarkan Perti”, “mari berjuang bersama Perti”, “Perti untuk umat dan bangsa”, dan slogan-slogan klise lainnya. Karenanya, saya harus kagum ketika bertemu Buya Jamaludin (92 tahun), alumni MTI Candung angkatan 1957, yang kemudian mendirikan MTI di kampungnya, Sebukar, Kerinci. Saat saya minta diceritakan pengalamannya belajar di MTI Canduang dulu, beliau mampu bercerita dengan lancar dan bersemangat, disertai kutipan-kutipan materi pelajaran saat di sekolah dulu. Namun, saat ditanya tentang perkembangan organisasi Perti, ia tidak bisa menjelaskan. Bahkan, Buya Jamaludin tidak tahu bahwa gubernurnya saat ini, Fakhrori Umar, adalah juniornya sebagai sesama alumni MTI Canduang. Beliau seakan mengisyaratkan bahwa politik bukan satu-satunya kekuatan sejarah yang menentukan perubahan, tapi ada banyak kekuatan sejarah lain yang bahkan jauh lebih menentukan. Gerakan kebudayaan, misalnya, atau gerakan keilmuan, gerakan ekonomi, dan sebagainya.

Baca Juga: Sekolah Perti di Sumatera Selatan

Bagi masyarakat akar rumput, Perti adalah tradisi keagamaan dan tradisi keilmuan yang hidup di keseharian mereka. Bagi mereka, menjadi orang Perti tidak berarti harus fasih menyebutkan siapa ketua umum dan sekjennya yang gemar cipika-cipiki dengan para pejabat negara, apa bunyi pasal sekian dalam AD-ART-nya, seperti apa logo organisasi yang terpampang di baliho pinggir jalan raya, bahkan mereka tidak perlu hafal nama Syekh Sulaiman Arrasuli, Syekh Jamil Jaho, dan buya-buya pendiri Perti lainnya, walaupun nur ilmu dan amal jariah para buya tersebut terus hidup dalam setiap rangkaian ibadah mereka. Bagi mereka, Perti adalah kaji. Ya, kaji: tradisi keilmuan, tradisi keagamaan.

Barangkali sudah saatnya urusan-urusan yang bersifat organisasi diserahkan saja ke Muhammadiyah, NU, dan organisasi yang sudah mapan lainnya! Biarlah Perti menapaki jalan sunyinya di sanubari jamaahnya, seperti di bumi Kerinci ini. Karena Perti adalah kaji.[]

Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com

Nuzul Iskandar
Alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung. Pernah aktif sebagai peneliti di Smeru Research Institute. Sekarang Dosen Hukum Islam di IAIN Kerinci Jambi