Masyarakat Nusantara tidak harus menjadi Syiah untuk mengenang Sayyidina Husein. Peringatan Syura dari kata Asyura yang artinya hari ke 10, tepatnya hari ke 10 di bulan Muharam. Dimana pada saat itu ada tragedi kemanusiaan yang memilukan. Al-Husein bin Ali Cucu Baginda Nabi ﷺ dari perkawinan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Azzahra, beserta 17 saudara dan 72 sahabatnya dibantai oleh orang-orang yang mengaku umat kakeknya dengan cara yang mengerikan dan menyayat hati.
Rasulullah bersabda: “Husein dariku dan aku dari Husein, Allah mencintai orang yang mencintai Husein, Husein adalah salah seorang dari anak cucu.” HR Bukhari
Rasulullah bersabda: الحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ الْجَنَّةِ al-Hasan dan al-Husein adalah Sayyid (pemimpin) para pemuda di surga”. (HR. Tirmidzi)
Tragedi Asyura diperingati di Indonesia sejak zaman dahulu. Konon juga dijadikan ‘sikep’ (doa atau tawassul, Pangeran Diponegoro), dijadikan bendera di kesultanan Cirebon, tabut (tabuik) atau tabot di Padang-Pariaman dst. Peringatan Asyura itu dilakukan ratusan tahun yang lalu bahkan sampai sekarang.
Baca Juga: Burung-burung dan Binatang Juga Berpuasa ‘Asyura
Salah satu peringatan itu adalah adanya bubur Syura, Tabut Husein di Pariaman. Disamping itu dalam bulan syura (Muharram), masyarakat khususnya Jawa juga tidak diizinkan mengadakan perayaan berbau kesenangan (perkawinan atau semacamnya) karena “geblak”nya sayyidina Husein. Karena Asyura dan peringatan Syura itu memperingati Husein bin Ali, yang dibantai oleh Yazid bin Muawiyah maka sebagian kelompok melihat itu adalah jalan promosi/dakwah terhadap kelompok Ahlul Bait.
Apalagi Syiah mempringatinya dengan sangat serius (bahkan sebagian tidak pantas. Itu ada dibeberapa tempat di Timur Tengah/Pakistan, tetapi menurut informasi, sejak 20 tahun terakhir, peringatan berdarah itu sudah dilarang oleh banyak ulama). Sebuah keanehan terjadi, mungkin karena faktor politik atau lainnya. Mengenang dengan serius, Ziarah ke makam Ali Bin Abi Thalib di Najaf, ke Husein bin Ali di Karbala, seakan itu dianggap hanya milik Syiah. Yang lain tidak atau kurang melakukan itu.
Lalu ada sekelompok orang/madzab, bahkan berupaya menghilangkan peringatan-peringatan itu, melarangnya, mengarang hal-hal lain, bahkan tidak segan-segan membelokkan sejarahnya, melawan tradisi, dengan mengatakan bid’ah bahkan lebih dari itu dst. Upaya-upaya itu bisa kita lihat dengan banyak hal antara lain: 1. Melarang acara terswbut, mecibirnya, mengatakan itu Syiah dan sebagainya itu. Sehingga hanya memperingati itu sudah bisa dikatakan atau dituduh Syiah. Padahal tidak mesti, dan ratusan tahun di Indonesai peringatan itu sudah dilakukan.
2. Dilakukan penentangan tradisi bulan Syura. Sekarang mulai banyak orang-orang yang melakukan perkawinan dan hal lain yang berbau kesenangan di bulan itu (yang dahulu sangat tabu dan dihormati). 3. Menganggap bulan itu bukan bulan kesedihan.
4. Memberikan informasi dan cerita lain yang berbeda dengan yang asli, dari realitas sejarahnya atau realitas peringatan itu dilakukan di Nusantara selama ini.
Tidak mesti harus Syiah untuk mencintai Husein bin Ali. Tidak harus menjadi Syiah untuk mencintai Ahl Bait. Imam Syafi’i jelas sekali dalam syair-nya. “Kalau mencintai keluarga Nabi (Ahl Bait) dituduh Rafidha. Maka ketahuilah wahai Jin dan Manusia, sesungguhnya aku adalah Rafidha”.
Baca Juga: Bolehkah Berpuasa 10 Hari Pertama Zulhijjah?
Rafidha itu julukan berkonotasi negatif pada pengikut Syiah saat itu. Kalau kita sedikit mau mengkontruk secara hermeneutika, mengapa teks dan ucapan ini keluar? Maka kita akan bisa memahami betapa represi, tekanan politik penguasa dilakukan terhadap Ahl Bait saat itu.
Sekali lagi cinta terhadap Ahlul-Bait & Dhurriyahnya tidak mesti bermadzab Syiah tidak mesti beraliran Syiah Ummat Islam umumnya (Habaib & NU di Indonesia yang bermadzab Syafi’i, bahkan kejawen) mereka sangat mengagungkan Ahlul Bait (Ali, Fatimah, Hasan dan Husein).
Semoga bermanfaat!
Leave a Review