Masa kecil adalah masa penuh ketidakpastian namun tetap membahagiakan bagi saya. Kakak saya bilang, saat ayah masih hidup, kita termasuk keluarga berkecukupan. Tapi, sejak ia tiada, kita diuji putaran roda kehidupan: “harus sederhana”. Saya merasakan sendiri hidup “harus sederhana” kala itu; makan nasi aking; termasuk menukar telur ayam dengan kurupuk beureum (bahasa sunda: kerupuk berwarna merah).
Meski begitu, hidup sederhana seperti itu tertutupi dengan suasana kampung kami yang penuh kerukunan, keakraban, kedamaian, kesungguhan, tentunya kesederhanaan. Generasi tua tak henti-hentinya membimbing muda-mudi, muda-mudi juga rendah hati dan sungguh-sungguh mengikuti bimbingan generasi di atasnya. Untuk apa? Agar kerukunan, keakraban, kedamaian, kesungguhan, dan kesederhanaan warga tetap lestari.
Saat sesepuh dan para orang tua selalu siap sedia untuk urusan mesjid, para pemuda menjadi garda terdepan dalam hal pengajian dan kegiatan-kegiatan sosial. Bahkan, para pemuda ini rela menawarkan diri bekerja pada warga yang membutuhkan. Mencangkul, bercocok tanam, dan sebagainya. Kemudian penghasilannya disumbangkan bagi keberlangsungan pendidikan agama dan kegiatan-kegiatan sosial di kampung kami.
Muda-mudi juga penuh semangat dan kasih sayang mengajari remaja dan anak-anak mengaji. Saya merasakan betul kasih sayang mereka itu, dalam berbagai bentuk wajah tentunya. Saat mengaji, kami biasa berhadapan dengan guru yang bermacam rupa. Ada yang lembut, suaranya landai, sampai kami tak kuat manggut-manggut mengantuk. Ada yang pelan tapi tegas membuat kami takjub. Ada pula yang keras menggelegar bagai halilintar di tengah kegelapan. Rupa yang terakhir ini sangat kami takuti. Galak. Jangan macam-macam! Meleng sedikit, sapuan lidi bisa membekas di kulitmu. Atau kalau tidak, kupingmu siap-siap saja memerah kehitam-hitaman karena di-sintreuk atau dijewer. Kalau masih saja badeung (nakalnya nggak ketulungan), hukuman bisa lebih berat. Bukan malu saja yang didapat, murid-murid seusiamu bisa diikutsertakan menghukummu.
Andai kamu dapat hukuman, jangan coba-coba melapor ke orang tua. Orang tuamu dijamin tidak akan mendatangi gurumu dan membelamu melainkan dia akan memarahimu. Para orang tua bahkan akan berterima kasih karena guru-gurunya dengan penuh kesabaran dan tindakan tepat mengajari anak-anaknya.
Soal budaya dan kehidupan sosial, kami juga tak kalah. Yasinan, tahlilan, tasyakuran, debaan, peringatan-peringatan hari besar secara khidmat dilakukan. Masyarakat berperan, masyarakat ikut serta. Masyarakat terjalin dalam satu ikatan.
Mesjid sudah makmur sendirinya. Warga banyak yang setia salat berjamaah. Bulan Ramadhan apalagi. Jamaah salat tarawih bisa membludak. Itu minggu pertama. Seterusnya anda pasti bisa menebaknya. Begitu meriah sampai kadang kaget karena anak kecil menyalakan petasan di waktu tarawih, dekat pengimaman pula. Bikin kaget, gemas, kesal. (yang ini jangan dicontoh, hehehe).
Gender yang kini jadi perbincangan juga tak jadi masalah bagi kami. Setiap hari perempuan bolak-bali ke ladang; nandur, nganteuran, ngarit, atau ngangkut kayu bakar. Perempuan berjualan juga biasa. Isteri tidak melulu soal dapur, sumur, dan kasur. Tapi istri juga selalu siap tampil menyajikan minuman-makanan buat para tamu yang bertandang ke rumah.
Jilbab juga tak jadi silang pendapat. Perempuan tak selalu berjilbab besar. Sesopannya saja. Perempuan pakai sanggul tidak aneh. Perempuan pakai selendang menutupi sebagian rambut juga tidak dicerca. Tidak berjilbab juga ada. Ini yang tidak kami kenal: menutup seluruh tubuh dengan hanya menyisakan dua bola mata tetap terlihat. Seperti ninja kira-kira. Menyusahkan saja. Lagian kami tidak mengenal bangsa ninja. Hehehe.
Begitulah cara kami hidup dulu. Tua, muda, remaja, anak-anak, laki-perempuan, hidup bagai pelangi mencipta keindahan. Pikiran kami macam-macam, tapi lebih penting adalah kerukunan. Silang pendapat di sana sini pasti ada, tapi kedamaian tetap nilai yang kami junjung tinggi. Retak sana-sini juga bisa, tapi tidak menghancurkan, bahkan kami bisa merekatkan kembali. Siapa saja bisa memanjakan diri, tapi kemaslahatan umum tetap harus didahulukan. Siapa yang hanya menghias diri, harus siap mendapat sanksi sosial.
Baca Juga: Jamaah Baru Hijrah dan Pertanyaan tentang Mengganti Salat
Namun itu dulu. Kini badai modernisasi apalah itu namanya telah menyapu kami. Tidak hanya mengganti lampu petromak dengan lampu neon, tapi perlahan mengganti samping-kebaya dengan celana dan baju ketat. Medernisasi juga mengubah cara hidup, cara bertetangga, dan cara kami berdampingan. Dulu, orang bangun rumah dengan pagar tinggi diomongin, sekarang pakai baju individualisme tak disadari orang. Astagfirullah.
Generasi tua sibuk urusan keluarga sendiri. Muda-mudi tak peduli urusan “orang tua”. Sementara remaja dan anak-anak biasa membantah kata orang tua. Anak sekarang memang suka merasa lebih pintar dari orang tua, bahkan soal asam garam kehidupan. Memang tidak semua, tapi banyak. Astagfirullah.
Kini para pengkhotbah banyak bermunculan, tapi justru banyak yang tak tahu jalan. Karena umat pusing harus ikut jalan yang mana. Para pengkhotbah tak peduli apakah mereka mewartakan jalan lurus atau jalan buntu. Bahkan mungkin mereka lupa, apakah dirinya telah mengalami perubahan diri (pantas menjadi panutan). Sing penting dakwah. Mereka ini semangat sekali menggelorakan, “Islam Kaffah”. Jika ditanya dari mana dapatnya, mereka akan bilang, “katanya”. Mereka tak tahu jika slogan itu berbahaya kalau tidak tepat digunakan. Dakwah kok Islam katanya! Huuhh.
Muncul pula para pendakwah karbitan yang sukanya menyalahkan orang lain. Sasar sini sasar situ, semua jadi sasaran. Semua salah, yang benar hanya satu: saya dan golongan saya. Yang lain sudah jelas sesat. Terus harus gimana? Syahadat lagi, katanya. Mereka tidak tahu kalau kami sudah syahadat sejak kecil bahkan sejak lahir sudah diazankan. Kalo masih kurang, para orang tua, guru-guru ngaji kami, mengajari juga kok bagaimana bersyahadat itu. Kini, anda menyebut kami kaum tak seiman lalu suruh syahadat ulang. Kaya air galon aja harus isi ulang. Maaf, hehehe.
Tradisi kami kalian salahkan juga. Tahlilan kalian kritik, shalawat kalian larang. Bid’ah, katanya. Kalau kalian suka dimuliakan, mengapa kami tidak boleh memuliakan junjungan kami sendiri, Kanjeng Nabi Muhammad SAW? Shalawat bagian dari hidup kami. Silahkan anda anggap salah. Tapi kami bukan manusia tong kosong nyaring bunyinya. Para guru juga mengisi kepala kami. Shalawat adalah semangat kami dalam beragama dan bagaimana kami berusaha meneladani utusan ilahi.
Kini, justeru yang harus dicermati adalah saat nafsu serakah naik ke ubun-ubun. Segala rupa diukur pendapatan materi. Soal beragama juga. Gaji imam sadesa dijadikan rebutan. Belum lagi kotak infak dan sumbangan sana-sini untuk mesjid tak jelas pemakaiannya. Sebagian lagi ingin dapat jatah tatkala mengisi pengajian ibu-bu. Kami juga perlu hidup, katanya. Tuan, bukankan kita harusnya menghidupkan agama, bukan numpang hidup mengtasnamakan agama?
Orang awam pusing nggak karuan karena masing-masing pengkhotbah berkoar-koar cari pengikut. Tak sealiran, tak seide, tak sekelompok, tak suka, jadi alasan permusuhan. Apalagi jika sudah menyangkut uang dan kehormatan, permusuhan bisa sampai diwariskan pada anak dan cucu. Lalu beragama jadi rapuh, karena sibuk menunjuk mencari siapa yang salah. Bukan menghayati cara keberagamaan kita yang mulai salah kaprah. Tuan, kalau beragama sudah pakai standar materi dan jumlah pengikut, pada siapa kami belajar pengabdian dan keikhlasan? Astagfiruallah.
Masjid-mushallah diperbaiki, bahkan tiap aliran membangun rumah ibadahnya sendiri. sahut-sahutan azan berseliweran. Lantunan bacaan ayat al-Qur’an bertanya-jawab. Tapi, tahukah, jamaah mesjid makin sedikit, pesantren kurang terurus, remaja dan anak-anak kekurangan bekal ilmu agama?! Sudah pasti, kerukunan, keakraban, solidaritas sosial, dan kedamaian juga mulai rusak berantakan.
Itu karena tuan para pengkhotbah sibuk cari pengikut atau orang yang ikut-ikutan. Sibuk pula membatasi diri. Ekslusif kata anak sekolahan. Pengajian-pengajian dibuat harus mengikuti garis polisi. Polisinya ya anda sendiri para tuan pengkhotbah. Astagfirullah.
Mungkin pndapatan warga kita meningkat. Tak ada yang fakir lagi. Tak ada lagi yang makan nasi aking dan pemakan kurupuk beureum hasil tukar telur. Tapi, penghayatan keberagamaan kita juga langka. Tak jarang agama hanya dimulut. Agama asal bicara dan dibicarakan. Bahkan beragama asal tunjuk. Sementara para tikus dan rentenir masih dibiarkan berkeliaran. Sadarkah, tuan, ada warga jual rumah karena terjebak siasat lintah darat? Astagfirullah.
Baca Juga: Orang yang Sudah Mati Bisa Mendoakan untuk Orang yang Hidup?
Tuan-tuan pengkhotbah, jika saya boleh bicara, bolehlah tuan-tuan beragama tidak berlebihan. Silahkan punya gagasan, tapi jangan dipaksakan, terus kami dipeta-petakan. Jangan karena jualan surga, kami kalian pecah-belah. Jangan karena syahadat ulang, ketatakampungan kami jadi semerawut tak karuan. Jangan pula karena merasa benar sendiri, tali kebersamaan tuan gunting, rumah kedamaian kalian ambrukkan.
Tuan para pengkhotbah, jungjungan kami bukan pembual. Sayyidina Nabi Muhammad SAW mengajarkan agama sekaligus dalam laku, dalam akhlak. Kami butuh keteladanan bukan tong kosong nyaring bunyinya. Apa keteladanan itu? Ahklak mulia, tuan. Kalau para tuan tidak mencontohkannya pada kami, bagaimana kami bicara keteladanan.
Intinya, tuan, jangan rusak kampung kami yang sudah dibangun susah payah para sesepuh. Nampaknya, merekalah yang dikenang hingga kini, karena bijak ucap baik laku. Memang mustahil membangun kampung seperti dulu. Tapi kedamaian, kerukunan, kebersamaan, kesungguhan, kesederhanaan adalah nilai yang kita bisa tumbuhkan di setiap generasi. Asal, kita bisa menjadi kancil yang tertunduk dan tak boleh dalam waktu bersamaan menjadi keledai yang membusungkan dada.
Leave a Review