Sebelumnya baca: Trio Napal Putih dalam Lingkaran Elite Perti Renah Sekelawi (Bagian II)
Oleh : D.M.S. Harby*
Laporan dari Majalah Al Mizan milik Majelis Tarjih HB. PERTI edisi 17 April 1938 sebagaimana ulasan Buya Nuzul Iskandar yang diterbitkan oleh media Kita tercinta ini, tarbiyahislamiyah.id pada awal Agustus 2020 lalu itu secara tidak langsung mengungkap bahwa ternyata sekolah PERTI di Palembaian terdaftar pada saat bersamaan dengan sekolah PERTI di Napal Putih. Bersamaan pula terdaftarnya dengan sekolah PERTI di Semidang Gumai Bintuhan Kaur dan Sekolah PERTI di Padang Piliang, Sampang Abu dan Sampang Kapuk, Payakumbuh. Tampak dari laporan itu seperti ada hubungan antara Palembaian, Napal Putih dan Payakumbuh. Dan kontak ketiga daerah itu tak lain adalah jaringan Mukomuko.
Contohnya, Buya Mohammad Thaib belajar di sekolah PERTI Payakumbuh selama 7 tahun dan pulang kembali ke Napal Putih pada tahun 1942. Artinya, Buya Thaib sekolah di PERTI Payakumbuh kurang lebih pada tahun 1935. Sementara Buya Awal studi di sekolah PERTI Canduang pada tahun 1933 hingga 1940. Ini tentu berdekatan dengan masa studi Buya Thaib di Payakumbuh pada tahun 1935 hingga 1942.
Maka, tampak lebih jelas jika Buya Awal dan Buya Thaib mungkin lebih dahulu bertemu selama masa studi keduanya. Meskipun keduanya menempuh studi di sekolah PERTI yang berbeda, namun, berdasarkan tradisi keilmuan PERTI, mereka bisa sangat mungkin untuk pernah bermajelis di dalam satu surau. Dari kemungkinan terjadinya kontak kedua tokoh inilah, besar kemungkinan yang mengarahkan Buya Awal datang ke Napal Putih. Sebab, meskipun sempat kembali ke kampung halamannya di Talang Rio, Buya Awal memang mantap melangkahkan kakinya ke Napal Putih.
Budaya Suku Pekal Pendukung Basis PERTI Napal Putih
Jaringan Mukomuko yang berbasis budaya suku Pekal dengan kepemimpinan seorang tokoh Pangeran Ali ini pula tampaknya kemudian mendukung kemunculan Napal Putih sebagai salah satu sentral perjuangan PERTI di Bengkulu. Sebab, selain kedatangan Buya Awal dan kembalinya Buya Thaib di Napal Putih pada akhir tahun 1930-an dan awal tahun 1940-an dan terdaftarnya sekolah PERTI di Napal Putih pada masa itu, Pangeran Ali sendiri mendapatkan pengakuan sebagai Pembina PERTI langsung dari Inyiak Canduang, Maulana Syekh Sulaiman Arrasuli.
Proses ini sendiri tersebut di dalam dokumen keluarga semacam biografi Puyang Pangeran Mohammad Ali Firman Alamsyah. Dokumen itu ditulis oleh salah satu putera dari Pangeran Ali. Pada salah satu sub babnya, buku itu menceritakan bahwa Puyang Pangeran Mohammad Ali Firman Alamsyah sebagai Pesirah Marga Ketahun mendapatkan Besluit (Surat Keputusan) yang mengangkatnya sebagai Pembina Organisasi PERTI dan Kepanduan Al Ansor serta Sekolah PERTI di Napal Putih.
Puncak aktivitas pendidikan dan pergerakan PERTI di Napal Putih dengan trio tokohnya yaitu Pangeran Ali, Buya Awal dan Buya Thaib tampaknya terjadi pada masa 1940-an sampai 1950-an. Sebab, setelah masa perjuangan awal revolusi (tahun 1945-1950), disusul pula masa pembangunan politik era revolusi. Selain pengembangan struktur pemerintahan, juga dilakukan pembangunan struktur politik kenegaraan.
Hal yang mau tidak mau ikut menarik fokus para tokoh PERTI ke bidang yang lebih luas lagi. Termasuk ketiga elite PERTI di Napal Putih tadi. Pada tahun 1949 Pangeran Ali ditunjuk menjadi Wedana Mukomuko. Hal ini tentu saja juga berdampak bagi terbuka lebih lebarnya akses masyarakat untuk mengenal PERTI lebih jauh lagi melalui Pangeran Ali. Ketokohan Pangeran Ali ini pula yang memungkinkan PERTI ikut bergerak lebih luas termasuk di bidang politik.
Buya Awal selaku elite PERTI di Provinsi Bengkulu, pada Pemilu tahun 1955 muncul pula menjadi Anggota DPRD Gotong Royong mewakili Partai Islam (PI) PERTI dari wilayah kewedanaan Pangeran Ali. Itu pula yang kemudian juga mungkin mengantarkan Buya Awal menjadi Ketua DPRD Bengkulu Utara. Di antara masa itu, Buya Awal juga sempat menjadi Ketua Pengadilan Agama di Curup. Masa ini pula yang makin memperkuat jaringannya sebagai sesama murid langsung Inyiak Canduang. Termasuk dengan Buya Zaidin Burhany di Curup.
Jaringan Mukomuko ini pula yang tampak ikut mendorong kemunculan jaringan elite murid Inyiak Canduang dalam perjuangan PERTI di Bengkulu hingga terbentuknya Provinsi Bengkulu. Selain itu, sisi kekerabatan antar tokoh seperti Pangeran Ali dengan Gubernur A.K. Gani juga menjadi penentu. Wajar saja jika kemudian Curup dengan basisnya komunitas Masjid Jamik dan tokoh sentralnya Buya Ki Zaidin Burhany dapat lebih maju mendukung perjuangan pembentukan Provinsi Bengkulu.
Baca Juga: Ki Zaidin Burhany: Murid Inyiak Canduang Pejuang Provinsi Bengkulu
PRRI Meletus, Tokoh Napal Putih Hijrah ke Curup
Keberadaan elite PERTI Napal Putih di Curup tentu saja merupakan berkah yang besar bagi perjuangan pendidikan dan pergerakan PERTI di salah satu sentral terbesarnya di Bengkulu ini. Apalagi dengan ketokohan mereka yang tentu saja sangat berpengaruh bagi gerak maju PERTI di Curup. Meskipun, keberadaan mereka bukan dalam agenda resmi organisasi, akan tetapi keberadaan mereka yang karena terpaksa mengungsi, telah memungkinkan PERTI dengan basisnya Masjid Jamik Curup bergerak lebih berkembang lagi.
Ya, alasan paling besar bagi para tokoh PERTI Napal Putih berada dan bahkan menetap di Curup adalah karena meletusnya perang antara PRRI dengan Brigade Mobil (Brimob) pada tahun 1957. Hal yang membuat Pangeran Ali mengajak menantunya, Buya Thaib, sekeluarga hijrah dari Napal Putih ke Curup. Perang yang berkecamuk antara milisi di daerah dengan aparat pemerintah itu tentu saja sangat berkutat di Lebong Tandai. Sementara Napal Putih pasti sangat terdampak dari itu mengingat posisi dan statusnya sebagai lokasi yang sangat identik dengan Lebong Tandai.
Wajar saja jika perjuangan pendidikan dan pergerakan PERTI di Napal Putih kemudian menjadi stagnan. Sebab situasi perang atau chaos menjadi penyebabnya yang tentu saja sangat tidak memungkinkan bagi berjalannya pendidikan dan aktivitas organisasi lainnya. Meski demikian, Pangeran Ali dan Buya Thaib tetap memikirkan yang terbaik bagi semuanya, terutama bagi PERTI.
Pertama, mereka harus memilih mana lokasi terdekat sekaligus teraman bagi mereka untuk mengungsi sekaligus tetap memonitor perkembangan situasi dan kondisi di Napal Putih. Kedua, lokasi tempat mengungsi itu juga mendukung bagi pergerakan PERTI. Ketiga, lokasi itu juga dapat mendukung bagi usaha keluarga mereka dalam perdagangan emas. Maka, dari ketiga pertimbangan itulah mereka kemudian mengungsi ke Curup.
Pangeran Ali lalu menemui Pangeran Panjang di Kesambe untuk meminta sebidang tanah darinya dan kemudian membelinya. Pangeran Panjang lalu memberi tanah di Simpang 4 Jalan Santoso Dwi Tunggal Curup. Di situlah Pangeran Ali membangunkan rumah bagi keluarganya. Selain untuk memonitor perkembangan di Napal Putih, juga mendukung langkah perjuangan organisasi PERTI. Tak hanya itu, keluarga ini juga menjadi jamaah aktif di Masjid Jamik Curup.
Sementara itu, hubungan Palembang dengan Lebong Tandai dalam usaha perdagangan emas keluarga mereka tetap dapat mereka kelola melalui Curup. Jika Pangeran Ali kemudian yang banyak bergerak dari Curup ke Palembang, pulang pergi. Maka, Buya Thaib yang kemudian banyak bergerak dari Curup ke Lebong Tandai. Bahkan, selain untuk kepentingan berdagang emas, Buya Thaib juga aktif berdakwah hingga sempat menjadi imam masjid di Lebong Tandai.
Kontribusi keluarga tokoh Napal Putih ini bagi perjuangan PERTI di Curup maupun Bengkulu tentu juga tak sedikit. Baik lewat jaringannya yang tersebar sampai ke Mukomuko dan Palembang. Maupun harta dan tenaga dalam pembangunan sarana pendidikan PERTI di Curup. Bahkan juga dalam pembangunan Masjid Jamik Curup. Pangeran Ali, Buya Thaib dan istrinya, Ummi Nurma, ketiganya wafat dan dimakamkan di Curup. Pangeran Ali bermakam di TPU Kelurahan Adirejo, belakang Lembaga Pemasyarakatan Curup. Sementara Buya Thaib dan Ummi Nurma bermakam di TPU Kelurahan Dwi Tunggal Ujung.
Keluarga Aktivis Pendidikan dan Teladan Kosmopolitan
Meskipun perjuangan pendidikan dan pergerakan PERTI surut secara khusus, namun pendidikan dan pergerakan secara umum di Napal Putih masih dapat terus berlanjut. Lokasi dan gedung sekolah milik PERTI yang terbengkalai karena pecahnya perang oleh PRRI, dibangun kembali oleh keluarga tokoh PERTI Napal Putih ini. Adalah Amiruddin bin Abu Bakar bin H. Idris yang menikahi Wahdanijar, puteri dari Buya Thaib dan Ummi Nurma, yang meneruskan kembali pembangunan pendidikan di Napal Putih.
Amiruddin sendiri berasal dari Pasar Bembah (Padang Betuah). Seasal dengan keluarga Buya Ki Zaidin Burhany dan umumnya komunitas Masjid Jamik Curup sekitar Gang Setia Pasar Baru Curup. Sebelum berjuang di Napal Putih, ayah dari Ahmad Wali (narasumber tulisan ini), terlebih dahulu sekolah guru di SGB yang berada di komplek lapangan Setia Negara Curup. Ia sempat pula melanjutkan studi ke Palembang dan tinggal di rumah A.K. Gani.
Barulah setelah itu ia kemudian diangkat menjadi PNS dan pulang ke Napal Putih bertugas memimpin sekolah dasar yang tadinya adalah MTI Napal Putih. Jadi, baik Amiruddin, Mohammad Thaib dan Mohammad Ali adalah para tokoh pendidikan di Napal Putih. Keluarga besar Muning Deram, Pesirah Marga Ketahun. Guru Ali, anak menantu Muning Deram, mengajar dan mendirikan sekolah rakyat di Napal Putih. Guru Thaib, cucu menantu Muning Deram, mengurus MTI di Napal Putih. Guru Amir, cicit menantu Muning Deram, kepala sekolah dasar pertama di Napal Putih.
Sesungguhnya, keluarga besar ini, selain menjadi basis penggerak pendidikan secara umum (yang afiliasi ideologisnya ke PNI/jaringan Soekarnois), dan secara PERTI, mereka juga menjadi basis penggerak pendidikan secara Muhammadiyah. Baik di Napal Putih maupun di Padang Betuah/Pasar Bembah. Ini tentu saja fakta yang menarik sebab masing-masing mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dalam jaringan kerja pergerakan masing-masing. Sebuah potret keluarga kosmopolitan yang patut menjadi teladan di mana satu sama lain dapat tegak lurus berdiri dalam posisi dan peran masing-masing tanpa ada tindakan saling bendung atau telikung.
Jaringan keluarga besar ini, dalam aktivitas keagamaan kemasyarakatannya, secara umum memang terbagi dua, dulu. Sebagian cenderung ke PERTI/Tarbiyah dan sebagian lagi ke Muhammadiyah. Elit Muhammadiyah dari keluarga besar ini adalah H. Hermansyah Nazirun, SH. Tokoh senior Notaris di Curup ini pernah menjadi Anggota Dewan Redaksi Suara Muhammadiyah era 1965, menjadi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Provinsi Bengkulu hingga Anggota DPR RI dari PAN. Baik di Napal Putih maupun di Pasar Bembah dan Padang Betuah, keluarga ini memang menjadi basis penggerak Muhammadiyah dan PERTI/Tarbiyah. Keluarga Siti Rekna binti H. Ali binti H. Wali adalah basis penggerak Muhammadiyah di Desa Napal Putih.
Dari garis Padang Betuah, teladan kosmopolitan dari keluarga ini juga dapat ditemukan. Terdapat pula sosok Drs. H. Muin Manaf yang pernah menjadi Kepala Inspektorat Kabupaten Rejang Lebong, Asisten 1 Sekda Provinsi Bengkulu dan Kepala Bappeda Provinsi Bengkulu. Tokoh ini selain tumbuh dari tradisi keluarga Muhammadiyah juga sangat akrab dengan jaringan elit PERTI/Tarbiyah. Selain itu terdapat pula sosok Drs. H. Heri Aswandi yang akrab dengan jaringan Nahdlatul Ulama hingga pernah menjadi Anggota DPRD Kota Bengkulu dari PKB.
Tradisi saling terpengaruh dan berpengaruh (morfogenetik agen) di dalam keluarga ini kemudian membentuk suasana kosmopolitan yang lebih kuat antar mereka. Sesuatu yang kalau ditelusuri kembali adalah warisan luhur para pendahulu mereka. Para bangsawan di kerajaan Jang Tiang Pat, kesultanan Indrapura dan kerajaan Pagaruyung. Yang berprinsip di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Yang cakap dalam bersikap berbeda dalam lahirnya tetapi satu jua dalam batinnya. Yang bersemangat Pat Spakat Lmo Sperno.
Tradisi Luhur Masjid Al Ikhlas Padang Betuah
Hal yang tak dapat ditinggalkan dari narasi sejarah PERTI di Bengkoelen dari garis Trio Napal Putih dan jaringan Mukomukonya adalah juga jalur kebudayaan Padang Betuah. Sebagaimana yang pernah penulis laporkan lewat media Kita tercinta ini, tarbiyahislamiyah.id, dalam judul “Basis Perjuangan Itu Masjid Jamik Curup (Surau Pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiyah)” pada Mei 2021.
Dalam laporan itu penulis menyebutkan bahwa sebagai masjid tertua di Curup, Masjid Jamik Curup yang berdiri tahun 1885 mengembangkan syiar Islam model Salafi Sufi Sunni Syafi’i dengan pengaruh Masjid Agung Palembang dan Masjid Al Ikhlas yang terletak di Desa Padang Betuah, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah. Masjid tua yang masih berdiri hingga kini di Padang Betuah ini didirikan pada tahun 1800 Masehi oleh Tuangku Haji Mansyur dari Minangkabau.
Konstruksi di Masjid Padang Betuah ini terbukti teruji tahan gempa sejak tahun 1800 hingga tahun 2021 ini. Dan konstruksi itulah yang kemudian tercitra pula menjadi inspirasi konstruktif bagi bangunan Masjid Jamik Curup. Ini tak heran mengingat komunitas inti jamaah Masjid Jamik Curup adalah di antaranya pendatang dari Padang Betuah dan sekitarnya.
Di antara mereka inilah keluarga Burhany yang merupakan putera dan puteri pasangan Burhanuddin dan Encik Hajjah Mazenah. Burhanuddin kesehariannya merupakan sais delman. Ia juga merupakan pengurus Masjid Jamik Curup dengan panggilan akrabnya Garim Bangkak. Sementara istrinya adalah keturunan Pagaruyung Minangkabau yang rumahnya persis berada di seberang lokasi Masjid Jamik Curup.
Baca Juga: Napal Putih dalam Lintas Sejarah PERTI Provinsi Bengkulu (Bagian I)
Basis Urat Sejarah Provinsi Bengkulu
Dalam kesempatan ini pula penulis meralat sekaligus menegaskan bahwa sosok EH. Mazenah inilah tokoh sentral dari Padang Betuah di dalam keluarga Burhany. Dimana anaknya, Buya Ki Zaidin Burhany muncul menjadi tokoh PERTI di Provinsi Bengkulu dari basisnya Masjid Jamik Curup. Ibunya, RA. Puspawati, informasinya bermakam di TPU Desa Pasar Bembah. RA. Puspawati sendiri dalam tambo yang disusun oleh cucunya H. Djakfar Siddik Burhany, memiliki tiga saudara. Kakaknya adalah R. Zainuddin (R. Tang), sementara adiknya adalah Siti Radjiah dan E. Patmawati. Keempat bersaudara ini adalah putera-puteri Radja Deradjat dari isteri pertamanya RA. Tjindar Kusuma. Sementara Radja Deradjat sendiri adalah putera dari Radja Moelja.
Wilayah sekitar Padang Betuah ini, atau lebih tepatnya Pondok Kelapa, adalah juga kawasan situs sejarah Bangkahulu. Selain terdapat di dalamnya situs makam Balai Buntar dan Puteri Gading Cempaka, leluhur bangsawan Bangkahulu, juga erat dengan sejarah tradisi kosmopolitan Nusantara. Selain juga sejarah perjuangan nasional. Wilayah pesisir barat Sumatera satu ini memang cukup banyak menyimpan khazanah sejarah dengan berbagai spektrum. Sejarah Sungai Serut, Sungai Lemau dan berbagai bentuk-bentuk pemerintahan kecil atau besarnya. Yang jelas juga menjadi bagian dari narasi besar sejarah nasional dan dunia.
Kebudayaan Padang Betuah dengan basisnya Masjid Al Ikhlas inilah yang menjadi basis utama kontak kebudayaan kosmopolitan di Taneak Jang atau Renah Sekelawi ini. Uniknya Desa Padang Betuah adalah batas akhir wilayah Marga Semitul. Sementara Pasar Bembah, di sebelah Padang Betuah, merupakan batas akhir wilayah Marga Bermani Perbo (Lubuk Durian atau Kerkap). Sebelah Desa Pasar Bembah inilah terletak Desa Pasar Kerkap. Padang Betuah, kini, masuk Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah. Sementara Pasar Bembah dan Pasar Kerkap, kini, masuk Kecamatan Air Napal, Kabupaten Bengkulu Utara.
Sekolah PERTI di Pasar Kerkap ini masih berdiri dan beroperasi dengan aktif hingga kini. Perguruan yang didirikan oleh Buya Abdul Muthalib dan Buya Adnan Ilyas, duo alumni MTI Canduang, ini kini beroperasi dengan bentuk Madrasah Tsanawiyah (MTs) Tarbiyah Islamiyah Pasar Kerkap dan Madrasah Aliyah (MA) Tarbiyah Islamiyah Pasar Kerkap. Meskipun tidak ditunggu langsung oleh Buya Thalib dan Buya Adnan.
Buya Thalib sendiri kemudian aktif mengurus sekolah PERTI di Kebun Geran, Kota Bengkulu. Jaringannya juga terakses dengan Masjid Jamik Bengkulu, Masjid Pasar Bengkulu dan Masjid Pasar Malabero. Sementara Buya Adnan aktif di pemerintahan. Selain pernah memimpin Japenkab Rejang Lebong, Buya Adnan juga termasuk elit murid Inyiak Canduang yang turut memperjuangkan pembentukan Provinsi Bengkulu. Dari garis mereka inilah kemudian arah politik warga PERTI di Provinsi Bengkulu lebih condong bahkan mayoritas ke Golkar.
Ini pula yang kemudian ikut mendorong PERTI menjadi menguning warna politiknya di Bengkulu. Sehingga secara motif organisasinya lebih muncul Tarbiyah daripada PERTI. Buya Adnan, Buya Buya Thalib, Buya Awal, Buya Thaib, Buya Zaidin dan kesemua jaringan mereka kemudian muncul dengan aktifitas organisasi Tarbiyah yang gerakan politiknya Golkar. Sesuatu yang sangat relevan bagi terbentuknya Provinsi Bengkulu dan konsolidasi Orde Baru pada tahun 1968. (Bersambung ke Bagian IV, Akhir).
* Penulis adalah Ketua PC Tarbiyah-PERTI Kabupaten Rejang Lebong dan Ketua Pembina Yayasan Tarbiyah Rejang Lebong (YTRL). Alumni MTI Curup, KKDI Masjid Jamik Curup, PP Arrahmah Curup, PP Nurul Huda Sukaraja, Khairani Study Centre (KSC) Bengkulu dan Harian Bengkulu Ekspress ini juga dipercaya sebagai Anggota Badan Pengawas Yayasan Khairani Bengkulu, Ketua Ikatan Keluarga Alumni Nurul Huda (IKANUHA), Ketua Bidang Pendidikan Yayasan Pondok Pesantren Nurul Huda (YPPNH) Sukaraja dan Ketua Dompet Alumni Peduli Arrahmah (DAPA) Curup.
Leave a Review