Puisi Nuranisa Nabylla #3 Pagi, Cinta di Bawah Kaki Bulan, Air Mata untuk Malam, Surat 31 Mei, Pesan Pubi, Rekapan, Km 5, Pangeran Bisu, Délusi dan Ab-ra-ka-dab-ra
Jatuhnya Mahkota Jelata
Tertegun dengan paras menyedihkan.
Ya, laksana putri tidur yang insomnia.
Sebab hobi membaca dua kalimat duka.
Gelisah seluruh negeri untuknya, tetapi hanya seorang yang tak peduli.
Dia adalah pemain katana kost-an.
Kampanye Cinta
Pada masanya, ada seorang kesatria yang ambisius, membawa penawar luka berat untuk tokoh pembantu. Visi dan misi yang dilayangkan cukup merekatkan keduanya.
Hingga suatu hari, kesatria merasa bosan dan terganggu akan lem mereka, lalu seperti biasa.
Lelaki!
Ling-lung
Setia, lumayan penurut, dan prioritas itu kamu…
Percaya dan bergantung padamu…
Semua keputusan kuserahkan padamu…
Kini, kamu pergi…
Aku bagaimana?
Aku tak mengerti
Bagaimana sendiri
Perih rasanya
Kehilangan sebuah kebiasaan
Dan dirimu
Pergi
Aku bercermin
Tapi, tak bisa melihat diriku
Apakah kamu membawaku?
Bawa aku ke tempatmu
Tempat yang jauh
Jika di perjalanan kamu marah
Tolong tetap perlakukan aku dengan layak
Karena aku, buta.
Kubus
Sebelum ada kamu duniaku gelap.
Saat kamu datang, kamu adalah duniaku.
Sesudah kamu pergi, duniaku tak ada.
Kantong Merah Bertali
Tas kerut kecil merah itu, menghantarkan hatiku padamu. Untuk sayangku, yang belajar menuli hingga membisu…
Kita memang merasakan sesuatu dan mengharapkan hari untuk bersatu.
Namun, bagaimana mungkin kita menjadi satu jika tak mengantongi restu?
Mana Mungkin Aku Kuat!
Pernah melihat awan membopong air, dan hujan di tempat yang murung?
Begitulah aku membawa air mataku, sejak melangkah jauh dari rumahmu…
Tak mampu lagi melihat indahnya hari dan etalase-etalase yang berjejer di pinggiran kota, sebab derasnya air mata.
Granat Luka
Tolong lemparkan sesuatu yang dapat meledakkan rasa sakitku.
Aku sudah muak minum kata-kata, tak kunjung puas dan mereda.
Para penasihat letih, melihat dukaku, dan memilih untuk pensiun dini.
Semua bingung, dan tergesa-gesa menunggu kepulihan hatiku.
Kita Saat Ini
Cinta punya bahasa
Bahasa yang indah
Dan memabukakan mata, hati, dan pikiran.
Namun, bahasa diam
Adalah bahasa yang menyakitkan
Linang
Hati dan mata
Cukup jauh
Jaraknya
Tapi jika
Hati terluka
Mata yang menangis
Beda dengan kita
Tak jauh
Tapi jika
Dipisahkan
Kita berdua yang menangis
Delapam Kaki
Kalian pelari terhebat yang pernah aku lihat.
Aku heran, mengapa kalian terus berlari?
Aku lelah menghampiri…
Mengapa kalian terus berlari?
Puisi Nuranisa Nabylla #1 Seorang Pumi, Cahaya Bukan Milikku, Luka Bertemu Hujan, Bela, Seutas Hati yang Mati, dan Pelukan Kedua
Leave a Review