Oleh: Fauzan Inzaghi
Syekh Muhammad Saied al-Burhany adalah ulama besar mazhab Hanafi sekaligus khalifah tarekat Syaziliyah, pengganti Syekh Muhammad Balhasyimi. Di antara murid beliau adalah Syekh Hisyam al-Burhany faqih penulis kitab Saddu Zarai’i, Syekh Ajaj Khatib seorang muhaddis penulis Sunnah Qabla Tadwin, Syekh Asad as-Saghraji, Syekh Muhammad al-Khalidi, Syekh Abdurahman asy-Sayghuri dan ulama lain yang pernah belajar di masjid Taubah bab Faradis Damaskus. Syekh al-Bany juga pernah belajar al-Qur’an dan dasar ibadah sama murid beliau pada masa kecilnya di Jami’ Taubah.
Pada zaman khilafah Utsmaniyah, Syekh Saied pernah menjadi kapten sampai akhirnya beliau hijrah ke Syam karena kudeta Mustafa Kamal Ataturk. Perang 1948 ketika Israel memasuki Palestina, salah satu anak beliau, Syekh Hisyam Burhany yang saat itu masih muda meminta izin pada beliau untuk berjihad melawan Israel, lalu apa kata beliau? “Wahai anakku, seandainya aku tahu mereka benar-benar berjuang untuk Islam dan tidak ada sandiwara di dalamnya maka aku akan berada di barisan paling depan”. Dan itulah faktanya, sandiwara dan pengkhianatan mewarnai perang 1948, Palestina jatuh.
Mau tahu keadaan Palestina saat itu? Beberapa tahun sebelum kejatuhan Palestina, Syekh Hasan Habannakeh berziarah ke Baitul Maqdis. Beliau mencari imam yang menghafal al-Qur’an di sana, ternyata pada saat itu imam penghafal al-Qur’an di al-Quds kurang dari 5 orang. Keadaan ini membuat beliau pulang dalam keadaan sedih. Sesampainya di Damaskus beliau menceritakan perihal itu kepada muridnya, “wahai anakku, Baitul Maqdis akan segera jatuh kepada musuh”. Dan itu menjadi fakta beberapa tahun kemudian. Jangan heran juga saat Syekh Ahmad Yasin memperbaiki Palestina dimulai dengan menghafalkan al-Qur’an kepada anak-anak Gaza, dan sekarang terbukti Gaza menjadi negara paling berani dengan Israel walau dengan senjata pas-pasan, padahal tetangga punya persenjataan lengkap, tapi semua takut.
Baca Juga: Tasawuf Itu Ilmu dan Ilmiah, Bukan Sekadar Kata Indah
Kita tidak berbicara masalah karamah, tapi dari sejarah panjang dunia kita bisa pahami bahwa bangsa tanpa pendidikan tidak pernah bisa bertahan lama, mereka akan selalu dikolongi, tidak terkecuali muslim. Keadaan muslim yang rusak tanpa ilmu seperti sekarang membuat khalifah tarekat Naqsyabandiyah, Grand Mufti Suriah Syekh Ahmad Kuftaro menasihati muridnya pada perang Tisyrin 72 melawan Israel, “jangan ada dari kalian yang berperang, kecuali diminta oleh presiden, tapi kalian jangan menawarkan diri kalian, ini bukanlah jihad yang kita inginkan, setelah ini datang sekali lagi fitnah (para murid beliau mengatakan yang dimaksud beliau perang Arab Spring saat ini) dan kalian jangan ikut ke dalamnya, setelah fitnah itu selesai, akan datang perang sekali lagi, saat itulah kalian ikut berperang”. Bukan jihad sebenarnya? Iya, begitulah fakta di lapangan, darah yang tertumpah dari pihak yang bertikai semuanya darah kaum muslimin.
Bagaimana bisa ini disebut jihad hakiki? Siapa yang akan berperang? Kita? Yang ketika berdagang masih menipu, yang belajar mayoritas bolos. Hubungan keluarga? Hubungan lelaki perempuan? Hormatnya umat dengan ulama? Apakah generasi seperti ini yang diharapkan untuk berjihad? Keadaan yang sama juga terjadi pada saat Salahudin al-ayyubi yang dengan semangat anak muda meminta izin dari gurunya untuk berjihad membebaskan al-Aqsa, dan gurunya menolak. Beliau memerintah Salahudin untuk melakukan program wajib belajar kitab Ihya Ulumiddin di seluruh sekolah dan masjid Damaskus.
Program dilaksanakan, 20 tahun setelah itu masyarakat mulai berubah kepada pemahaman dan pengamalan agama yang sesungguhnya, pembebasan al-Quds dimulai, dalam waktu singkat al-Quds bebas. Kekuatan kita apa? Semangat tanpa ilmu? Senjata tanpa iman? Bukan! Tapi dengan kekuatan iman, ilmu, dan pengamalan agama yang sempurna, itulah senjata orang mukmin!
Jadi kalau ditanyakan kenapa ulama tasawuf tidak berjihad dalam perang saat ini? Jawabannya “seandainya kami tahu perang ini tidak ada sandiwara di dalamnya, kami akan ada di barisan paling depan” begitulah sejarah sufi sepanjang zaman, Salahudin, Muhammad Fatih, ‘Izz Abdissalam, al-Qassam, Tgk Chik Ditiro, Umar Mukhtar, semua mereka Arbab Sufiyah. Tapi jika jihad di saat penipuan di pasar muslim merajalela, suap menyuap di pemerintahan menjamur, keluarga muslimin masih berantakan, bahkan yang mengaku mujahid masih gampang mengeluarkan makian kotor untuk sesama muslim yang tidak mendukung mereka, pada generasi seperti ini kita mengharapkan jihad? Berharaplah, tapi apa yang terjadi, fitnah makin besar. Dan yang menjadi korban? Darah muslimin! Jihad yang seharusnya memperbaiki keadaan, malah membuat keadaan lebih kacau dari sebelumnya. Ingat, semangat saja tidak cukup untuk berjihad “seandainya kami tahu tidak ada sandiwara di dalamnya maka kami akan berada di barisan paling depan!”
Solusinya? Ikutilah jalan yang ditempuh Salahuddin! Sulit? Butuh kesabaran dalam dakwah damai. Ditekan, ditindas, butuh waktu lama, yah memang seperti itu itu. Tidak ada yang instan, Nabi saja butuh 23 tahun. Lah, kita mau buru-buru? Jangan jadikan jihad itu pelampiasan karena kita tidak mau bersabar dalam dakwah damai, karena jadinya bukan sukses malah makin kacau, tidak ada yang instan, sayang! Semua butuh PDKT, jangan tiba-tiba langsung nembak hahahah.
Leave a Review