scentivaid mycapturer thelightindonesia

Jilbab dan Wajah Perempuan Muslim di Indonesia

Jilbab dan Wajah Perempuan Muslim Indonesia
Ilustrasi/Sumber: gaya.tempo.co

Jilbab dan Wajah Perempuan Muslim di Indonesia

Selayang Pandang

Saya adalah pengguna jilbab atas kesadaran sendiri sejak duduk di sekolah menengah atas. Di keluarga saya bukan satu-satunya yang melampirkan jilbab di kepala. Teman-teman saya, baik di komunitas, kampus maupun lembaga juga kebanyakan mengenakan jilbab, terutama yang berdomisili di Bandung, Jakarta dan Makassar. Tugas akhir saya juga tentang jilbab. Jadi,  jilbab adalah dunia sehari-hari yang telah akrab, tempat saya membuka mata sebisa mungkin. Jilbab, dari segi wacana maupun pengalaman sehari-hari penuh warna dan corak. Tepat seperti halnya gaya jilbab yang makin hari makin beragam dan berwarna.

Dari segi wacana ada yang membahas begitu dalam sehingga mencerahkan, ada juga yang membuat kening berkerut-kerut. Dunia wacana jilbab, selalu berdasarkan realitas tertentu yang dialami atau dilihat oleh penulisnya. Dalam satu masa saya sering menemukan hasil pengamatan penulis laki-laki yang nadanya begitu tajam terhadap kecenderungan para wanita muslim dalam mengenakan jilbab yang modis. Mereka menekankan bahwa wanita pengguna jilbab yang supermodis hanya korban fesyen atau lebih parahnya korban konsumsi berbalut agama. Ada juga peneliti yang menyandingkan jilbab dengan poligami dalam perspektif politik tubuh perempuan.

Baca Juga: Said, Massad Dabashi dan Islam

Berbicara tentang jilbab berarti berbicara tentang perempuan yang mengenakannya. Hasil pengamatan terhadap jilbab yang sudah dilakukan memiliki keterbatasannya sendiri karena tidak mudah untuk membahasakan seluruhnya. Namun demikian, untuk itulah pengamatan terhadap jilbab sepertinya terus berlangsung, demi menambah nuansa dan manfaat bagi pembacanya.

Sebagai perempuan pengguna dan dikelilingi oleh jilbab ada kesulitan tersendiri dalam bersikap kritis terhadapnya. Apalagi gaya berpakaian jilbab hampir-hampir menjadi “rezim” karena jilbab begitu dirayakan di negeri ini. Hampir setiap hari, baik di bulan Ramadhan maupun bukan, acara-acara televisi menampilkan fesyen jilbab yang terus berkembang sambil tak lupa mewawancarai para selebritas yang baru berjilbab. Tanpa kita sadari, mungkin, jilbab digunakan oleh kalangan-kalangan tertentu untuk mengatur perempuan bahkan mengeluarkan perempuan yang tidak mengenakannya dari identitas muslim. Sehingga, bukanlah hal yang aneh ketika muncul hasil pengamatan yang terlampau tajam menekankan jilbab dan penggunanya sebagai korban dari politik tubuh. Atau dengan kata lain bahwa perempuan Indonesia direpresi oleh agama melalui pengaturan jilbab. Hasil pengamatan yang cenderung menguniversalkan represi semacam itu tentu bermasalah karena mengabaikan integritas pengguna jilbab di sisi yang lain.

Baca Juga: Menilai Ketepatan Berbahasa Arena dan Kuasa Simbolis

Jilbab Dalam Catatan Sejarah 

Jilbab atau hijab yang sehari-hari kita lihat sekarang adalah gaya berpakaian baru di ruang publik kita. Tengoklah foto-foto lama para perempuan generasi ibu, nenek atau buyut kita, bandingkan dengan foto-foto yang banyak bertebaran baik di media cetak maupun jejaring sosial sekarang. Atau tengoklah foto-foto perempuan yang ada di sekitar Tien Suharto muda. Jangan lupakan juga foto-foto para pahlawan perempuan seperti Cut Nyak Dien atau Kartini. Para perempuan muslim tersebut tampil dengan mengenakan pakaian yang sama sekali berbeda dengan foto sebagian perempuan muslim masa kini.

Kita boleh-boleh saja berkeyakinan bahwa imaji jilbab yang ada di kepala kita, yaitu jilbab rapat dengan aneka model itu sebagai sebuah kebenaran hakiki. Atau dengan kata lain kita merasa bahwa jilbab dengan gaya pakaian yang dikenakan sehari-hari itu sudah merupakan bentuk yang paling ideal. Tetapi sebaiknya kita tidak lupa bahwa semua itu mempunyai sejarahnya sendiri. Jika imaji jilbab rapat yang ada di kepala kita adalah bentuk kebenaran hakiki, bagaimanakah kita memandang para perempuan yang saya sebut di atas? Apakah perempuan saleh dan kuat seperti Cut Nyak Dien belum sadar bahwa jilbab merupakan sebuah kewajiban bagi perempuan muslim? Sementara kita bisa melihat foto dirinya di masa pengasingan tanpa mengenakan selendang sekalipun? Lalu bagaimanakah kita memandang dan memahami para perempuan yang berjuang di masa Orde Lama, seperti ibunda almarhum Gus Dur yang hanya mengenakan selendang dan kebaya saja?

Baca Juga: Bahasa Arab Saisuak Kala di MTI

Pakaian bagi manusia tidak hanya berfungsi untuk melindungi tubuh dari alam. Dalam pakaian tercermin sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan dalam pandangan sosial, politik, bahkan religius. Cut Nyak Dien tentu mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap apa yang disebut dengan menutup aurat. Demikian juga dengan ibunda Gus Dur. Jilbab yang sehari-hari kita pilih untuk dikenakan pun demikian. Jilbab mempunyai medan historis dan ideologis yang kompleks yang baru muncul secara sporadic di era 80-90an.

Pada era Orde Baru jilbab justru dianggap sebagai simbol fanatisme terhadap agama karena tampak asing bagi masyarakat secara umum. Para perempuan muda saat itu harus melewati masa-masa yang berat demi mempertahankan jilbab mereka.

Popularitas jilbab pada awalnya, secara historis, dimulai oleh kalangan terpelajar di beberapa kota besar. Jilbab yang dimaksud di sini adalah sebentuk kain yang cukup lebar, tidak transparan yang dikenakan secara tertutup dengan menggunakan peniti. Di samping jilbab, jenis penutup kepala sebagai representasi kesopanan bagi perempuan dapat ditemukan dalam kerudung atau selendang. Para ibu biasanya mengenakan selendang atau kerudung sebagai pelengkap berpakaian sekaligus sebagai simbol kesopanan. Sedangkan jilbab mulai dipopulerkan oleh perempuan sekolah menengah pada tahun 80-an. Mereka mengenakannya tidak hanya di dalam lingkungan sekolah atau pesantren, misalnya. Tetapi mereka juga menjadikan jilbab sebagai bagian dari seragam sekolah.

Baca Juga: Sulaiman Arrasuli Ulama Pujangga nan Ahli Adat

Pada era Orde Baru jilbab justru dianggap sebagai simbol fanatisme terhadap agama karena tampak asing bagi masyarakat secara umum. Para perempuan muda saat itu harus melewati masa-masa yang berat demi mempertahankan jilbab mereka. Pada era Orde Baru, ketika para perempuan sekolah berusaha untuk mempertahankan jilbab mereka, Islam secara politis tidaklah diakomodasi. Pemerintahan Suharto mempunyai kecurigaan khusus terhadap Islam sehingga dilakukanlah penekanan. Pada masa 80-an pun tengah terjadi revolusi Iran, di mana para perempuan muda seringkali digambarkan di media-media tengah berjuang, lengkap dengan pakaian mereka yang berjilbab. Dapat kita pertimbangkan gagasan bahwa model jilbab tertutup terinspirasi dari model jilbab yang dikenakan para perempuan muda Iran.

Lanskap sosio-politik era Suharto yang cenderung menekan Islam politis, juga mempengaruhi penggunaan jilbab. Jilbab mempunyai citra perlawanan sehingga harus ditekan. Aturan untuk melarang jilbab di sekolah-sekolah pun dikeluarkan melalui SK 052/1982. Aturan tersebut secara eksplisit melarang jilbab dikenakan di sekolah dan mengasosiasikan pemakainya sebagai bagian dari gerakan politik yang ingin menentang rezim.

Baca Juga: Urang Siak Batoko

Konstelasi politik kemudian berubah. Pemerintahan Orde Baru, pada akhirnya, merasa perlu  untuk “merangkul” organisasi Islam sebagai bagian dari politiknya. Pada saat itu dibentuk sebuah perkumpulan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Komunitas ICMI terdiri dari kalangan intelektual Muslim, khususnya kalangan Islam modernis Muhammadiyah. Meleburnya Islam ke dalam politik negara menjadi awal mula masuknya tatanan baru retorika populis yang memproklamirkan religiusitas dengan kemakmuran yang baru. Seiring dengan berubahnya konstelasi politik, perlakuan terhadap pengenaan jilbab ikut berubah. Pada 1991, setelah melalui proses yang keras di ranah hukum, para perempuan sekolah menengah diizinkan untuk mengenakan jilbab rapat sebagai bagian dari seragam sekolah. SK 100/1991 menandai pengizinan jilbab dikenakan di ruang publik seperti sekolah. (Hamdani 2011; Wichelen 2007)

Berterimanya jilbab di ruang publik semakin mempopulerkan jilbab di kalangan masyarakat secara luas. Jilbab dirayakan sebagai bagian dari politik identitas perempuan Muslim, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, dan lain sebagainya. Peran media sangat penting dalam mempopulerkan jilbab. Apalagi kebebasan pers di era reformasi melahirkan sejumlah media yang mengusung tema tentang jilbab. Gaya hidup dan fesyen jilbab mulai berkembang. Munculnya majalah-majalah glossy menjadikan jilbab sebagai cara berpakaian perempuan Muslim yang amat modern. Sehingga, jilbab tak lagi hanya dikenakan oleh kalangan perempuan muda terpelajar saja (lihat, e.g., Hamdani 2011; Brenner 1996; Wichelen 2007). Namun, pada saat yang bersamaan juga muncul fenomena sekelompok perempuan yang justru melepaskan jilbab karena mempertanyakan makna jilbab itu sendiri (Hamdani: 2011). 

Baca Juga: Khuldi dan Tafsir Kegagalan Sosial Politik

Pengkristalan Identitas Muslim Berjender

Jilbab terus menerus berkembang popularitasnya. Para perempuan yang mengenakan jilbab di tempat-tempat bisnis dan pemerintahan bukan lagi hal yang aneh. Di satu sisi perkembangan ini menggembirakan karena perempuan berjilbab dapat menembus dunia kerja dengan leluasa. Atau dengan kata lain syariat dan modernitas bukanlah dua hal yang bertentangan. Tetapi kita juga perlu membuka mata bahwa popularitas jilbab bukan tanpa dampak sama sekali. Jilbab yang memiliki imaji kesopanan, kesucian, dan kebersihan juga dimanfaatkan oleh kalangan yang berkepentingan.

Menurut catatan Komnas Perempuan yang dilansir pada April 2009, selama 1999-2009 terdapat 154 Perda syari’ah yang mengatur perempuan, dengan rincian: 19 Perda terbit di 21 provinsi, 134 Perda terbit di 69 kabupaten, dan 1 Perda terbit di tingkat desa. Provinsi yang dimaksud adalah Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, hal ini belum termasuk Aceh setelah masa ‘perdamaian.’ Perda itu salah satu penekananannya adalah  pengaturan pakaian. Sementara, menurut catatan Indiah Uniknya, sebanyak 80 Perda atau kebijakan (yang berarti lebih dari 50 persen) terbit antara 2003-2005, di tengah Pemilu langsung diadakan, seperti merupakan sebuah ‘proyek syari’ah’ dari suatu konsorsium donatur internasional. Tetapi, seperti ditekankan Indiah bahwa sayang sekali, Komnas Perempuan tidak mendalami data ini pada studi gerakan-gerakan lokal dan antropologi massa di provinsi tersebut, sehingga tidak terlalu jelas mengapa Perda syari’ah terbit di provinsi tersebut.

Baca Juga: Tarekat sebagai Tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah

Karena jilbab telah begitu populer, kini perempuan tanpa  jilbab dipertanyakan identitas religiusnya.  Identitas perempuan muslim mulai mengkristal sebagai “perempuan berjilbab”. Dalam hal ini terjadi pengeluaran perempuan tanpa jilbab dari kemusliman.

Adalah Ranti Aryani yang menulis pengalaman hidupnya dengan penekanan jilbab sebagai tantangan yang cukup kompleks, mungkin akan terkaget-kaget. Bagaimana tidak, jika tahun 80-an dirinya dan sejumlah perempuan muda saat itu memperjuangkan penggunaan jilbab di sekolah, kini justru terjadi sebaliknya. Siapakah yang akan meprotes ketika kini di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) negeri yang notabene sekolah umum (bukan sekolah agama) diwajibkan mengenakan rok sebatas mata kaki tanpa pandang bulu apa pun agamanya? Hal tersebut adalah yang terjadi secara formal. Sementara, secara informal seringkali menjadi penekanan bahwa perempuan muslim yang dianggap baik haruslah menggunakan “tanda” yaitu jilbab. Karena jilbab telah begitu populer, kini perempuan tanpa  jilbab dipertanyakan identitas religiusnya.  Identitas perempuan muslim mulai mengkristal sebagai “perempuan berjilbab”. Dalam hal ini terjadi pengeluaran perempuan tanpa jilbab dari kemuslima

Baca Juga: Sulaiman Arrasuli Tokoh Pendidikan Islam Bercorak Kultural

Otokritik: Karena jilbab, bagaimanapun, berkaitan dengan persoalan religiusitas, bukanlah hal yang janggal jika kerendah-hatian sebaiknya ada di dalamnya. Jika pada masa Orde Baru pengguna jilbab ditekan sedemikian rupa, tentu lucu jika secara sadar atau tidak kita justru yang menekan atau merasa lebih ideal dari perempuan tanpa jilbab.[]

Daftar Bacaan

Aitehison, Cara; Hopkins, Peter; dan Mei-Po Kwan (ed.), Geographies of Muslim Identities; Diaspora, Gender and Belonging, Asgate Website, 2007.

Brenner, Suzanne, Reconstructing Self and Sociey: Javanese Muslim Women and “The Veil”, American Ethnologist, vol. 23, No 4. (Nov., 1996), 637-697.

Candraningrum, Dewi, Negotiating Women’s Veiling, Politics and Sexuality in Contemporary Indonesia, IRASEC, 2013

Hamdani, Deny, Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesia Women, Lambert Academic Publishing, 2011.

Hijabers Community, Hijab Style, Qultum Media, 2012.

Kurniasih
Alumni Universitas Sanata Dharma Yogyakarta