Sudah mafhum, bahwa reformasi bukan hanya membuka keran demokratisasi serta kebebasan berekspresi yang sempat macet selama era totalitarianisme Orde Baru, melainkan juga menjebol tanggul besar sehingga ideologi-ideologi asing berupa revivalisme politik Islam membanjiri negeri kita.
Tak butuh waktu lama, maka lahirlah gerakan gerakan dan ormas-ormas Islam revivalis dengan bermacam variannya, seperti Tarbiyah, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), Jamaah Islamiyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Jihad Islam (FJI), dan varian kelompok-kelompok transnasional lain yang terpengaruh oleh gagasan Salafi-Wahhabi. Ada pula ormas revivalis “made in Indonesia” yang non-transnasional: Front Pembela Islam (FPI).
Secara umum, tujuan mereka sama, yakni menjadikan Islam sebagai ideologi, namun dalam bentuk gerakan dan cara yang berbeda beda. Di satu sisi, keberadaan mereka “mempermak” lanskap perpolitikan Indonesia dengan gairah yang baru, namun di sisi lain menyebabkan timbulnya tragedi-tragedi kemanusiaan yang memilukan.
Syahdan, kebangkitan kembali (revivalisme) politik Arab-Islam telah menjadi isu global di dunia kontemporer saat ini. Kejatuhan Turki Utsmani pada 1924 menandakan telah berakhirnya era kekhalifahan dalam pemerintahan Islam. Secara politis, kebangkitan kembali (revivalisme) politik Arab-Islam. Keadaan Arab-Islam tidak lagi terpusat kepada Kekhalifahan Turki Utsmani.
Kejatuhan Turki Utsmani bagaikan bola saliu yang membakar semangat api umat Muslim untuk kembali membentuk kekhalifahan dalam bentuk baru. Kekhalifahan Turki Utsmani kemudian diganti menjadi negara sekuler yang diprakarsai oleh Kemal Ataturk (w. 1934). Runtuhnya Turki Utsmani dan berdirinya negara Turki sekuler menunjukkan adanya ketegangan serius dalam internal umat Islam.
Faktor kemunduran lainnya yang tak kalah penting disebabkan oleh kolonialisme yang terjadi di Arab-Islam. Kolonialisme yang memiliki sifat hegemonik telah menyebabkan perubahan secara fundamental di negara-negara Arab-Islam. Kolonialisme merupakan sebuah gerakan ekspansif untuk menguasai salah satu negara non-Eropa.
Orang-orang Barat menganggap bahwa Timur perlu diperadabkan; Timur perlu dimodernisasi; dan Timur perlu dididik (Said, 2010). Atas anggapan seperti itulah kolonialisme tidak hanya merebut sumber daya alamnya, melainkan juga memiliki misi penyeragam an budaya ala Eropa.
Sebenarnya, dari sini sudah jelas, bahwa kemunduran umat Islam disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal terjadi ketegangan di internal umat Islam sendiri pasca-jatuhnya Turki Utsmani, sedangkan faktor eksternal disebabkan oleh adanya imperialisme dan kolonialisme di bangsa Arab.
Kedua faktor ini yang menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran dalam segala bidang kehidupan. Era kekhalifahan yang sudah dimulai sejak ratusan tahun yang lalu dengan cepat digantikan dengan sistem negara-bangsa ala Barat. Disadari atau tidak, negara-negara Arab-Islam sudah terpecah pecah menjadi beberapa bagian sebagai akibat dari adanya kolonialisasi yang sudah berlangsung sejak abad ke-18.
Hal ini yang kemudian direspons oleh umat Islam dengan cara membaca ulang tradisi dan sejarah masa lalu sebagai pijakan untuk merumuskan langkah pada masa kini maupun masa depan. Sebagai salah satu sistem yang sudah ada sejak era pasca-kenabian, sistem kekhalifahan dibaca ulang dalam konteks kekinian.
Berbagai macam pendekatan untuk membaca tradisi Arab-Islam pada masa silam telah dilakukan dari berbagai kalangan dalam membaca ulang tradisi Arab. Hal ini menunjukkan bahwa, tradisi merupakan sebuah unsur penting dalam masyarakat Arab-Islam, tidak terkecuali tradisi kekhalifahan yang sudah ada sejak era pasca-kenabian. Tujuannya adalah untuk mengembalikan identitas Arab-Islam yang sudah terkikis sejak era kolonial.
Demikian juga, sebelum Turki Utsmani runtuh, sebenarnya pernah berupaya untuk mengembalikan kejayaan Islam di tengah kolonialisme yang sedang terjadi di daerah kekuasaannya. Turki Utsmani melakukan pembacaan ulang atas tradisi dan karya tokoh Muslim yang terkait dengan sistem kekhalifahan untuk mengembalikan masa kejayaan Islam. Dalam konteks ini, pemikiran atau karya dari ulama klasik tentang kekhalifahan dibaca ulang untuk merumuskan sebuah tatanan politik yang bisa bersaing dengan kolonialisme.
Berikutnya, buku ini juga mempotret soal sistem khilafah. Setelah keluar dari Ikhwanul Muslimin kemudian, Taqiyuddin an-Nabhani mendirikan HT, dan wacana khilafah menjadi populer. Wacana khilafah merupakan sebuah tawaran baru di tengah sistem negara-bangsa yang dipopulerkan oleh bangsa Barat. Wacana pendirian khilafah kemudian menjadi isu global setelah jatuhnya komunisme pasca Perang Dingin.
Dalam sistem khilafah, tidak ada pengakuan hak sesama umat beragama. Islam menjadi agama dominan sekaligus paling benar menurut para pengikut khilafah. Oleh karena itu, dalam sistem khilafah, mereka akan memosisikan umat agama lain sebagai warga negara kelas dua. Kedudukan warga negara kelas dua akan mengarah pada diskriminasi dan ketidakadilan.
Sistem khilafah merupakan sebuah gerakan politik identitas yang menggunakan agama sebagai basis ideologi. Di Timur Tengah, wacana itu dianggap jawaban atas krisis dunia yang melanda Arab-Islam. Krisis dunia Arab-Islam menurut mereka disebabkan karena kegagalan sistem politik modern. Karena itu, mereka kemudian mencairkan legitimasi untuk mempolitisasi agama.
Tak hanya itu, pada bagian selanjutnya, M. Mujibuddin membahas soal radikalisme, terorisme, dan puritanisme di Indonesia. Rupa-rupanya juga mengetengahkan konsep Pancasila di tengah arus radikalisme agama. Kita tahu, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sudah t tidak bisa pertama dilangsungkan pada tanggal 1 Juni 1945. Pada saat itu, diubah lagi. Kesepakatan ini diambil ketika sidang BPUPKI banyak tawaran ideologi dari berbagai kalangan untuk dijadikan dasar negara.
Sebagian pihak Muslim menginginkan agar dasar negara berasal dari Islam. Sedangkan pihak Muslim lainnya yang mengatasnamakan kalangan nasionalis, di sini diwakili oleh Soekarno, menginginkan agar dasar negara bukan dari satu golongan, melainkan harus mencakup semua golongan. Guna mencapai dasar negara yang bisa mencakup golongan, Soekarno memperkenalkan konsep Pancasila.
Sebelum memperkenalkan konsep Pancasila, Soekarno terlebih dahulu menggali dari upaya kerajaan-kerajaan dulu untuk mempersatukan nusantara. Soekarno menggali memori kolektif yang bisa menyatukan bangsa setelah sekian lama terpecah oleh kolonial dari situlah Soekarno menemukan seperangkat nilai yang dinamakan Pancasila. Yang jelas pencarian memori kolektif ditemukan oleh Soekarno dari kerajaan Majapahit dan Sriwijaya yang dulunya terbukti mampu menyatukan Nusantara.
Penting juga dicatat bahwa, mendiskusikan Pancasila sebagai ideologi bangsa sangat penting untuk dilakukan terus-menerus tanpa ada batasan waktu usia wilayah maupun agama. Semua orang yang menjadi warga NKRI wajib hukumnya mengetahui, mempelajari, dan mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Dengan demikian pada hakikatnya, radikalisme agama yang menginginkan perubahan dalam Pancasila bisa menjadi sebuah ancaman. Pada saat sebagian ormas muslim ingin menegakkan syariat Islam dan negara Islam, hal ini menunjukkan ketidakhormatan mereka atas ideologi Pancasila. Dari situ agama dijadikan sebagai alat politik untuk kepentingan sepihak. Jika sudah demikian, banyak kalangan yang akan termal dikenalkan oleh adanya politik identitas.
Oleh karenanya, membumikan Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara harus dipertahankan oleh semua pihak. Sebab, hal itu akan mempertahankan identitas bangsa Indonesia yang dikenal sebagai negara yang pluralis tanpa ada campur tangan semua pihak. Maka, keinginan untuk mempertahankan ideologi dan cita-cita bangsa tidak akan terwujud.
Berbeda halnya dengan bagian terakhir. Mujibuddin lebih banyak mengulas tentang Isu kontemporer sosial-keagamaan di Indonesia. Termasuk adalah alasan pembubaran FPI dan HTI. Pada tanggal 30 Desember 2020, pemerintah melalui Menpolhukam telah resmi membubarkan organisasi massa Front Pembela Islam (FPI).
Secara de jure, pemerintah berdalih bahwa FPI sejak tanggal 21 Juni 2019 telah bubar sebagai ormas, tetapi sebagai organisasi FPI masih mengadakan aktivitas yang mengganggu ketertiban dan keamanan yang bertentangan dengan hukum. Begitu ungkapan Menteri Mahfud MD dalam jumpa pers pada tanggal 30 Desember 2020.
Tentu saja, pembubaran ini akan menuai perdebatan Belajar dari pembubaran HTI yang dilakukan oleh pemerintah pada beberapa waktu silam yang telah menuai perdebatan dari beberapa kalangan aktivis. Bukan karena faktor ideologi kenapa para aktivis mendukungnya, namun karena mereka takut bahwa pemerintah akan sama seperti Orde Baru yang banyak melarang aktivitas politik.
Hal yang sama juga akan terjadi setelah FPI secara resmi dibubarkan oleh pemerintah. Bagi kalangan yang masih memegang prinsip demokrasi, menganggap bahwa pembubaran tersebut tidak sejalan dengan hak berekspresi dan berpendapat. Negara akan dicap sebagai rezim New Orde baru karena banyak membubarkan ormas. Setidaknya, itulah respon yang akan terjadi beberapa waktu kedepan.
Meski demikian, pada dasarnya pembubaran FPI berbeda dengan HTI. Pembubaran HTI berangkat dari faktor ideologi, sementara FPI berangkat dari faktor gerakan sosial atau aktivitasnya. FPI sejak awal berdiri memegang teguh prinsip amar makruf nahi mungkar sebagai visi dan misi organisasi. Prinsip ini ditafsirkan melalui dua bentuk gerakan, yaitu dengan memanfaatkan sistem politik yang ada dan sebagai cara pandang melihat kehidupan sosial.
Kontribusi Buku Ini
Buku yang di tulis oleh M. Mujibuddin ini mengkover isu-isu sosial-keagamaan kontemporer di Indonesia sejak dimulainya era Reformasi hingga sekarang. Isu-isu yang ada di buku tersebut dikupas dalam berbagai perspektif dan cara pandang, sehingga memperkaya kita akan informasi, wacana, dan analisis mengenai gerakan radikalisme, terorisme, dan Islamisme yang telah dan sedang melanda kita di “rumah besar Pancasila” yang plural dan damai ini. Wallahu a’lam bisshawab.
Judul Buku: Radikalisme, Terorisme, dan Islamisasi Isu-Isu Sosial-Keagamaan Kontemporer di Indonesia
Penulis: M. Mujibuddin
Penerbit: IRCiSoD
Cetakan Pertama: Agustus 2022
Halaman: 14 x 20 cm
ISBN: 978-623-5348-08-7
*) Salman Akif Faylasuf: Alumni Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di Ponpes Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
Leave a Review