scentivaid mycapturer thelightindonesia

Kaji Batungkuihan, Tradisi Mengaji di Madrasah Tarbiyah Islamiyah

Kaji batungkuih ala tarbiyah Islamiyah

Kaji batungkuihan merupakan tradisi pembekalan santri dalam memahami kitab yang akan dipelajari keesokan harinya sehingga bisa menguasai pelajaran, bahkan berdebat.

Dalam tradisi MTI, tidak dikenal penggunaan istilah sorogan dan bandongan atau weton, seperti yang berkembang di pesantren tanah Jawa (Dhofier, 1988: 20). Akan tetapi, cara yang digunakan dalam metode itu juga diterapkan di MTI, namun tidak menggunakan istilah atau nama tersebut. Metode sorogan, misalnya, diterapkan di MTI dalam bentuk pembelajaran santri dengan guru tuo. Dalam hal ini, santri berkunjung ke rumah guru, biasanya di malam hari, membawa kitab yang akan dipelajari esok hari untuk dibahas bersama guru tersebut sehingga keesokan harinya santri itu telah memiliki bekal untuk membaca, memahami, bahkan berdebat dengan teman-teman lainnya terkait cara membaca dan pemahaman dari teks yang akan dipelajari dari kitab tersebut. Guru yang didatangi itu bisa santri senior, guru pembina asrama, atau urang siak yang pernah belajar di pesantren/madrasah yang berada di sekitar tempat tinggal santri.

Proses pembelajaran dengan metode sorogan ini dinilai efektif karena pembelajaran lebih berorientasi pada individual learning process. Pembelajaran ini dikenal juga dengan kaji “batungkuihan”atau “babungkuihan” yang arti secara bahasa adalah “dibungkuskan”, yaitu guru memberi bekal pada santri dalam memahami kitab yang dipelajari santri bersangkutan keesokan harinya sehingga bisa menguasai pelajaran, bahkan berdebat dengan santri lain jika ada perbedaan antara apa yang ia peroleh dari guru tuo dengan pembahasan guru dan santri lainnya di dalam kelas. Alumni MTI Canduang, Buya Syamsul Bahri Khatib (wawancara, 1 April 2013) menyebut guru tuo atau santri senior ini dengan istilah “memberi umpan” kepada santri yunior untuk bekal belajar keesokan harinya. Namun sistem pembelajaran kaji babungkuihan ini tidak semata-mata guru yang aktif, tetapi guru juga memberi kesempatan kepada santri untuk membaca kitab kuning atau mengemukakan pendapatnya terlebih dahulu, kemudian barulah guru tuo meluruskannya.

Baca Juga: Filosofi Ijazah

Metode Hafalan

Metode hafalan masih menjadi salah satu metode yang tetap dipertahankan di MTI, sebagaimana yang juga dilakukan di pesantren pada umumnya. Metode ini sangat diperlukan, khususnya dalam mempelajari nahwudan sharf, termasuk dalam bentuk nazham seperti kitab Alfiyah. Hal-hal yang bersifat undang-undang (qawa’id) harus dihafal, apalagi ketika mempelajari kitab kuning, biasanya santri diminta untuk meng-i’rab setiap kata yang dibaca. Tanpa hafalan yang memadai terhadap qawa’id dari tata bahasa Arab tersebut, mustahil santri dapat melakukannya. Begitu juga dalam mempelajari ushul fiqh, santri diwajibkan menghafal kaidah-kaidah tertentu, serta dalam mempelajari hadis, beberapa di antaranya harus dihafal oleh santri berdasarkan bimbingan dan perintah guru.

Menurut Husein Muhammad (1999: 281), metode hafalan tampaknya telah menjadi ciri dan cap yang melekat pada sistem pendidikan tradisional, termasuk pesantren. Ada sebuah argumen yang diajukan untuk mempertahankan metode ini, yaitu “orang-orang yang hafal adalah argumen atas mereka yang tidak hafal” (al-huffāzhhujjah ‘alā man lā yahfazh). Namun menurutnya, ketika konsep keilmuan lebih menekankan rasionalitas seperti yang menjadi dasar sistem pendidikan modern, maka metode hafalan kurang dipandang penting. Sebaliknya, yang penting adalah kreativitas dan kemampuan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki. Dalam pendidikan modern, ilmu selalu mengandung kemungkinan-kemungkinan untuk digugat dan diterobos sehingga akal sebagai landasan utamanya seringkali menghasilkan dinamika-dinamika spekulatif.

Pendapat di atas memang benar adanya. Ketika pendidikan modern mulai menyentuh pesantren, termasuk MTI, maka secara perlahan metode hafalan mulai berkurang. Metode hafalan memang tetap dipertahankan hingga saat ini, terutama yang terkait dengan qawa’id dalam ilmu nahwu, sharf, ushul fiqh,dan beberapa hadits, akan tetapi para santri kurang memiliki hafalan yang kuat terhadap apa-apa yang telah diperintahkan guru untuk dihafal. Tampaknya, pola pembelajaran modern pada mata pelajaran lain yang tidak mementingkan lagi hafalan turut menjadi salah satu penyebab dari kondisi itu. Akibatnya, kemampuan santri dalam membaca kitab kuning pun cenderung menurun kualitasnya.

Muthāla’ah

Kata muthāla’ah (bentuk mashdar dari thāla’a-yuthāli’u- muthāla’ah) artinya pembacaan (qirā’ah) atau penelaahan (A.W. Munawwir, 1997: 861). Metode muthāla’ah yang dimaksud dalam tradisi MTI adalah santri membaca atau menelaah pelajaran, biasanya kitab kuning, baik yang telah dipelajari maupun yang belum dipelajari. Ketika santri bersangkutan tidak memahami bacaan atau maksud dari apa yang telah ia baca, maka santri tersebut bisa bertanya dengan sesama temannya sehingga mereka saling menelaah kitab tersebut. Atau santri tersebut langsung menghadap kepada guru tuo untuk menanyakan masalah yang ia temukan, baik setelah penelaahan yang belum tuntas bersama teman-temannya atau langsung menghadap guru tanpa menelaah terlebih dahulu dengan teman-temannya.

Bagi santri yang memiliki kecerdasan lebih, ada pula yang menelaah dengan sendirinya kitab-kitab yang akan dipelajari tanpa banyak persoalan yang ia temukan untuk diajukan kepada guru tuo. Bahkan santri yang cerdas dan bersungguh-sungguh, bisa menamatkan kitab tertentu—terutama kitab-kitab besar—dengan menelaah secara individual, sementara kitab tersebut tidak dipelajari hingga selesai karena keterbatasan waktu. Di sinilah pentingnya metode ini dalam tradisi MTI sehingga melahirkan ulama-ulama yang handal dan berpengaruh. Menurut Husein Muhammad, metode muthāla’ah ini sangat memungkinkan untuk dilakukan oleh santri jika dalam pembelajaran di kelas lebih mengedepankan metode diskusi (munāzharah).

Menariknya, tidak saja santri yang melakukan metode muthāla’ah ini. Guru yang akan mengajar di kelas pun, biasanya menelaah terlebih dahulu materi dari kitab kuning yang akan diajarkannya untuk esok harinya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk persiapan jika keesokan harinya ada pertanyaan-pertanyaan kritis dari santri-santrinya. Apalagi santri itu sendiri telah dibekali oleh guru tuo, sebagaimana yang disebut di atas sebagai kaji babungkuihan. Lebih-lebih bagi guru yang masih relatif muda atau baru, maka ia akan menelaah lebih serius setiap materi yang akan ia ajarkan (Syafrizal, Alumni dan Guru MTI Canduang, wawancara, 9 Feb. 2013).

Munāzharah

Secara etimologi, kata munāzharah (bentuk mashdar dari nāzhara-yanzhiru-munāzharah) mengandung arti perdebatan (mujādalah), persaingan/perlombaan (munāfasah), perbantahan/diskusi (munāqasyah), pemeriksaan/pengontrolan (murāqabah), atau perbandingan (A.W. Munawwir, 1997: 1435, Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, 1998: 1827 dan Mahmud Yunus, 1990: 457). Kata munāzharah juga mengandung makna musyārakahsehingga ia bermakna saling berdiskusi atau saling memperhatikan. Metode ini sebenarnya telah digunakan dalam sistem pembelajaran halaqah di surau sebelum abad XX seperti yang dikemukakan oleh Sanusi Latief (1988: 75). Menurutnya, dalam metode munāzharah ini, salah seorang santri ditunjuk untuk membaca teks suatu kitab dalam masalah tertentu, lalu ia menjelaskan isi dari teks tersebut. Kemudian ia harus menjawab pertanyaan atau sanggahan dari santri-santri lainnya, dengan memberikan dalil-dalil atau pun kaedah-kaedah untuk menunjang pendapatnya. Apabila terdapat jalan buntu atau pun kekeliruan pemahaman dalam perdebatan ini, maka Syekh atau guru tampil sebagai hakim untuk meluruskan pengertian yang keliru dari pada pelajar. Dengan demikian, terjadi dinamika di antara santri dalam mempelajari ktiab kuning sehingga proses pembelajaran yang dikedepankan adalah pembelajaran aktif (active learning). Setelah itu, barulah guru memberi klarifikasi dan konfirmasi terhadap persoalan yang dibicarakan.

Metode munāzharah ini kemudian bertahan dan menjadi tradisi MTI. Kondisi ini menunjukkan bahwa MTI sebagai bentuk perubahan dari surau tidak sertamerta meninggalkan seluruh sistem pembelajaran yang ada di surau tersebut. Bertahannya metode ini didukung pula oleh pembelajaran dengan guru tuo, seperti yang dikemukakan di atas. Jika santri telah belajar dengan guru tuo di malam hari, maka proses pembelajaran di dalam kelas lebih aktif dan diselingi dengan perdebatan. Dalam konteks ini, bisa saja seorang santri berbeda pendapat dengan gurunya di dalam kelas karena perbedaan pemahaman yang diajarkan oleh guru tuo-nya. Jika guru bersangkutan memiliki kemampuan yang baik, maka guru tersebut bisa “menundukkan” pemahaman santri tersebut sebagaimana yang dipahami oleh guru itu.

Meskipun begitu, perbedaan pendapat itu tidak sampai menimbulkan sikap yang kurang santun atau sikap melawan kepada guru. Di sinilah salah satu keunikan pembelajaran yang dibangun di MTI, kritis, berdebat, bahkan bisa berbeda pendapat, tetapi tetap santun dan menghormati gurunya.

Jadi, perbedaan yang paling menonjol antara metode pembelajaran yang dikembangkan di pesantren dengan MTI adalah daya kritis santri MTI. Di pesantren yang ada di Jawa, secara sosio-kultural mereka sangat fanatik dan menghormati guru-guru mereka. Mereka senantiasa yakin bahwa gurunya tidak mengajarkan hal-hal yang salah. Mereka (santri) percaya bahwa apa-apa yang diajarkan kiai adalah benar, tidak perlu diperdebatkan, tetapi perlu diamalkan (Mastuhu, 1994: 61).  Berbeda halnya di MTI, santri-santrinya diberi kesempatan untuk bertanya bahkan berdebat dengan teman, termasuk guru yang sedang mengajar, tetapi tetap menggunakan cara dan bahasa yang santun.

Namun tradisi belajar aktif yang diselingi dengan perdebatan ini mulai menurun kualitasnya akhir-akhir ini. Beberapa orang guru justru menerapkan pembelajaran seperti metode wetonan atau bandongan yang cenderung santri pasif dimana guru terlebih dahulu membaca kitab kuning yang ia ajarkan, sementara santri hanya mendengarkan, setelah itu beberapa orang santri diminta untuk membaca ulang. Salah satu faktor penyebab yang paling menonjol adalah sistem belajar dengan guru tuo yang mulai sulit ditemukan. Kalau pun ada MTI yang masih menerapkan belajar dengan guru tuo umumnya dilaksanakan di asrama dan santri yang dibina oleh seorang guru tuo pun relatif lebih banyak. Lain lagi dengan kemampuan guru tuo itu sendiri yang penguasaannya terhadap materi cenderung masih rendah. Akibatnya, dalam proses pembelajaran di kelas, santri yang mendebat temannya, apalagi gurunya, sudah mulai jarang ditemukan.

Selain itu, ketika menerjemahkan kitab, digunakan pula bahasa daerah, yaitu bahasa Minangkabau. Terdapat pula bahasa khusus yang biasa digunakan pada kedudukan kalimat tertentu. Misalnya, untuk mengartikan kata yang berkedudukan sebagai mubtadda’ atau pokok kalimat,mendahulukan kata baramulo. Sedangkan mengartikan kata berkedudukan sebagai khabar atau predikat dalam kalimat mendahulukan kata baalah baramulo,dan seterusnya.

Mudzākarah

Istilah muthāla’ah dan munāzharah memang tidak populer di kalangan santri MTI, akan tetapi apa yang dimaksud dari kedua metode tersebut, seperti yang dijelaskan di atas, memang dilaksanakan di internal MTI itu sendiri. Berbeda halnya dengan metode mudzākarah, istilah ini demikian populer di kalangan santri dan guru MTI. Kata mudzākarah (bentuk mashdardari kata dzākara-yudzākiru-mudzākarah), berarti konsultasi, diskusi, permusyawaratan (mudāwalah, mubāhatsah), mempelajari (study), saling ingat-mengingatkan, atau belajar bersama (A.W. Munawwir, 1997: 449, Atabik Ali, 1998: 927 dan Mahmud Yunus, 1990: 134). Sedangkan pengertian terminologi, Ismail dan Abdul Mukti, seperti yang dikutip Umiarso dan Nur Zazin, menyebutkan bahwa metode mudzākarah adalah pertemuan ilmiah secara khusus membahas persoalan agama pada umumnya yang berfungsi melatih santri untuk memecahkan masalah dengan menggunakan suatu rujukan kitab-kitab kuning yang tersedia. Bahkan dalam metode ini, santri secara akselerasi akan membangun mental yang kuat dalam mengemukakan pendapat secara demokratis dan juga melatih santri untuk menghargai pendapat dari orang lain (Umiarso dan Nur Zazin, 2011: 39).

Pengertian mudzākarah di atas juga berlaku di MTI dan menjadi salah satu tradisi yang dibangun oleh guru bersama santri. Biasanya, santri-santri yang hadir dan lebih banyak perperan dalam forum ini adalah santri senior atau santri Aliyah yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu, misalnya sekali dalam seminggu. Pelaksanaannya ada yang seperti debat dimana para santri dikelompokkan menjadi dua kelompok dan diberi suatu permasalahan. Misalnya kelompok pertama mengakaji dari pemahaman mazhab Syafi’i, sedangkan kelompok lainnya dari sisi mazhab Hanafi. Masing-masing kelompok memberikan argumentasinya dengan merujuk pada kitab kuning yang telah mereka pahami sebelumnya. Sementara Buya atau guru lebih bertindak sebagai moderator dan pada pertemuan akhir barulah guru tersebut meluruskan atau menyimpulkan dari debat tersebut. Model seperti ini sering dilakukan di MTI Jaho (Yasmadi, alumni MTI Jaho, Wawancara, Padang: 5 Agustus 2012).

Baca Juga: Kearifan Lokal Pengajaran Bahasa Arab di Surau Minangkabau

Metode mudzākarah bisa juga dipahami pertemuan antara santri tanpa mengkondisikan dua kelompok besar yang bertentangan pemahamannya. Mudzākarah bisa juga dilaksanakan dalam bentuk diskusi ilmiah dimana audiens diberikan suatu permasalahan lalu mengemukakan pendapat masing-masing dengan argumentatif dan pemahamannya biasanya merujuk pada kitab-kitab kuning yang telah mereka pelajari. Tidak jarang terjadi perbedaan pendapat di antara mereka sehingga terjadilah perdebatan yang menarik. Sedangkan guru bertindak sebagai “moderator” dan di akhir pertemuan meluruskan permasalahan yang diperdebatkan tersebut. Tradisi ini tidak saja terjadi antara santri, tetapi juga biasanya dilakukan di antara guru-guru, terutama guru-guru muda sebagai peserta aktif sedangkan yang menjadi penengah adalah guru senior.[]

***

Tulisan Ini pernah diterbitkan di Jurnal Pendidikan Islam ”at-Tarbiyah” Volume 1 Tahun 2013, Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, edisi Maret 2013. Dan diterbitkan kembali di sini untuk tujuan pendidikan. Untuk kebutuhan pembaca, dalam penyajiannya, kami pecah tulisan ini menjadi empat judul, 1) Tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Sumatera Barat 2) Kaji Batungkuihan, Tradisi Mengaji di Madrasah Tarbiyah Islamiyah 3) Panggilan untuk Guru dan Murid di Madrasah Tarbiyah Islamiyah dan terakhir 4) Tarekat sebagai Tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Judul pertama adalah judul utuh tulisan ini ketika diterbitkan di Jurnal at-Tarbiyah, sedangkan tiga judul belakangan, disusun untuk memudahkan pemahaman pembaca tarbiyahislamiyah.id

Muhammad Kosim
Muhammad Kosim adalah pengajar di UIN Imam Bonjol Padang