Awiskarni Husin
Setiap manusia ada yang baru tahap mengaji. Ada pula yang sudah pandai mengaji. Ada pula pandai memberikan kaji. Yang parah tak pandai mengaji. Lebih parah lagi tak pandai mengaji, tapi tak mau pula mengaji. Ternyata yang lebih parah adalah pernah mengaji tapi tak tau dikaji.
Ada pula sosok dimana kehidupannya tak lepas dari kaji. Beliau hobi mengaji, konsisten dengan kajinya, dan orang banyak minta kaji kepadanya. Jika disebut nama Haji Awiskarni Husin, seangkatan saya memanggil akrab beliau dengan Ustazd Awis. Sosok ini seperti tak lepas dari kaji.
Penyandaran itu tidak akan terasa berlebihan jika dirunut beberapa sebab. Pertama, amanah ayah. Buya Husin Amin adalah pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiyah Pasia. Setelah berguru kepada Syekh Sulaiman Arrasuli atau Inyiak Canduang, Buya Husin diizinkan untuk mendirikan sekolah formal di Pasia.
Sekolah pun didirikan pada tahun 1937. Setelah sekolah berdiri, beberapa guru dan murid dari MTI Canduang diserahkan ke MTI Pasia. Pada tahun-tahun awal berdiri, menimba kaji digelar dalam bentuk halaqah atau juga ngaji duduak. Dari ketiga anak Buya Husin Amin, dua orang merantau. Ustazd Awiskarni Husein akhirnya diminta untuk mengurus sekolah oleh Sang Buya. Beliau diberikan amanat untuk meneruskan sekolah.
Kedua, melanjutkan estafet. Semangat buya untuk menyediakan sekolah mengaji adalah motivasi besar bagi guru-guru untuk mewakafkan diri mereka demi mengajar kaji bagi anak-anak siak, sebutan anak yang sekolah di MTI-MTI.
Baca Juga: In Memoriam Mamak Kami, Buya H Awiskarni Husin 1945-2020 Rumah Gadang Bahalaman Lapang
Jika mengamati sekolah Tarbiyah di Sumatera Barat yang menerapkan biaya rendah, maka banyak sekolah yang ibarat “mati suri”. Problemnya, kehilangan guru. Sekolah tak lagi mampu menggaji guru, bantuan pemerintah minim sekali.
Hebatnya MTI Pasia tak bernasib demikian. Gedung mewah bertingkat empat pun terbangun. Pembangunan itu menurut penulis tak akan mampu dibiayai dari uang SPP para murid saja. Uang yang dibayar anak siak (sebutan untuk siswa MTI Pasia) tiap bulan, jangankan untuk membangun gedung, untuk honor guru pun barangkali Ustazd Awiskarni Husin harus memutar otak.
Mujurlah sekolah masih memiliki guru yang mengajar tanpa harapan imbalan. Hanya mewakafkan waktunya untuk mengajar. Risikonya, banyak mereka khatam ilmu haji, meski para guru ini belum pernah naik haji. Mereka khatam ilmu zakat, tapi justru mereka sendiri berhak dizakati (mustahiq).
Ketiga, mempertahankan akidah ahlussunah wal jamaah dan mazhab Syafi’i. Kaji yang beliau dalami sangat ketat dengan aliran ahlussunnah wal jama’ah, dan mazhab syafi’i. Kajian dalam kitab Ianatu thalibiin dan kitab secorak dengan itu amat beliau pegang teguh. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari beliau konsisten menjalankan ajaran ini. Katakanlah misalnya dalam berjual beli, beliau terus meng-akad-kan jual beli kepada siapapun beliau berbelanja.
Beliau sangat marah dengan anak murid yang punya rambut menutupi kening, sebab dalam mazhab syafi’i kening saat sujud dalam salat tak boleh dihalangi apapun termasuk rambut.
Sebagai ahlussunnah wal jamaah, beliau gemar membaca selawat dan mengajak murid dan jamaah beliau untuk selalu membaca selawat dan barzanji. Selalu menekankan kepada anak-anak muridnya agar rajin selawat untuk selamat dunia dan akhirat.
Menurut Zelfeni Wimra, dalam pengamatan murid beliau ini, rumah Ustazd Awiskarni Husin dibangun dengan tata ruang rumah berbasis fikih syafi’iyah. Mulai dari bagaimana membersihkan pakaian dengan mesin cuci diatur sedemikian rupa sehingga pakaian itu terjaga kesuciannya. Pertimbangkan debit air yang dipakai dengan mesin cuci, harus air yang suci lagi mensucikan, harus lebih dua kullah (luas/diameter wajan air minimal selingkar pergelangan tangan orang dewasa) dan air itu tidak boleh berubah warna dan baunya.
Bagaimana posisi toilet ditinggikan guna menghindari percikan hadas ke badan atau ke pakaian saat beraktivitas di kamar mandi. Berapa komposisi jarak antara kamar mandi, tempat berwuduk, dan musala di dalam rumah, semua kami pahami persis seperti fikih yang Beliau ajarkan di kelas.
Ini belum lagi soal bagaimana memasang niat sebelum salat, bagaimana khotbah yang benar, dan yang paling penting, dan ini menurut saya adalah jantung ketarbiyahan, bagaimana cara zikrullah dan berselawat kepada Rasul-Nya.
Selain tiga sebab ini, bagaimana pula suasana menimba kaji dari sang Ustazd? Jujur saja, tak semua alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) mampu membaca kitab kuning secara lancar. Kitab kuning ini berbahasa Arab klasik dan tanpa baris. Ada banyak proses pengetahuan yang mesti dimiliki untuk memahami kitab kuning, tentunya harus mampu menentukan baris sehingga kalimat itu bisa dibaca. Belum selesai sampai disitu, si pembaca juga harus tahu terjemahan setiap kata. Dan, tak cukup demikian, setiap kata harus mendapatkan maksud kalimat si pengarang kitab sehingga mendapatkan makna dari kitab tersebut. Sampai dimaknai belum tentu mampu pula menyurahkan kitab itu. Di MTI Pasia selama 7 tahun lamanya murid-muridnya mengaji kitab kuning tak berbaris ini.
Baca Juga: Khushusiyyah Ijazah alm. Buya Awiskarni Husin
Jika tak mampu membaca kitab kuning, apa yang didapat lagi? Setidak-tidaknya, terjemahan dengan identik “baramulo ba alah bara mulo” didapatkan oleh setiap murid yang belajar di MTI Pasia. Setiap kalimat bermakna “baramulo” adalah “mubtada”, setiap “mubtada” ada “khabar”, baa lah baramulo.
Jika murid tak mampu mencari “khabar” pastilah malu dan terkadang kanai lacuik.
Untuk apa semua itu diketahui? Dalam rangka mencari surah kaji tentang hukum Islam, tasawuf, tafsir, hadis, sejarah Islam, dan tauhid. Jika tak mampu membaca kitab kuning, surah kaji dari Ustazd Awis tetap lekat dikepala anak Tarbiyah.
Makanya setiap murid merindukan kaji dari sang Ustazd. Tapi beliau harus mengajar anak-anak sekolah mulai dari kelas 2 (dua) hingga kelas 7 (tujuh). Bahkan harus menggantikan guru-guru yang tak hadir. Untung saja beliau menyediakan waktu ngaji malam. Beliau kembali ke sekolah di malam hari ba’da isa untuk mengajar anak-anak sekolah, dijatah per 2 hari untuk anak kelas 5, 6 dan 7 setiap minggunya.
Saat ngaji malam, jarang murid yang absen walau tak ada absen saat ngaji malam. Tujuannya tak lain adalah mendapat surah kaji dari Ustazd Awis. Ngaji malam itu asyik, temanya bisa diminta oleh murid.
Beliau seakan tak pernah lelah jika berhadapan dengan kaji. Mungkin setiap mengaji amanah sang buya ayahanda beliau selalu menjadi energi, dengan mengaji berarti berupaya selamat dunia dan akhirat. Kelak murid membawa ilmu ke keluarga dan ke tengah masyarakat, untuk mencerdaskan.
Kaji beliau sesuai dengan amanah dari Buya Husin Amin yaitu berpegang teguh kepada mazhab syafi’i dan beraliran ahlusunnah wal jamaah. Dalam mengaji beliau memiliki karismatik mempesona. Tak sedikitpun suara terdengar selain suara beliau saat mengaji. Murid khusuk mendengar. Saat pendekatan humor yang beliau keluarkan semua akan tertawa, bahkan terkadang kelas disebelah pun terbawa arus mendengarkan surah kaji beliau. Kedekatan dengan anak murid saat mengaji beliau bangun dengan dekat. Murid tak segan langsung bertanya kepada beliau saat mengaji. Pertanyaan murid akan menjadi dialektika yang mencerahkan, murid jarang lupa dengan dialektika itu, lekat dikepala.
Ustazd Awiskarni Husin akan sangat marah jika murid tak menyimak kaji. Beliau selalu menyangsikan jika tak menyimak kaji kelak tak mampu menjawab tanya masyarakat di kampung. Itulah barangkali sebabnya jika ada yang tak menyimak kaji, beliau akan marah. Dan saat beliau marah, biasanya beliau akan melakukan sesuatu yang membuat si anak murid lupa. Kemarahan beliau bisa saja membludak hingga meminta murid se lokal untuk mencari sekolah lain. Tentu saja ujung-ujungnya semua murid tak akan mau melakukannya, dan meminta maaf kepada beliau.
Setiap waktu dalam hidupnya memikirkan sekolah. Sebab di sekolahlah anak-anak akan mengaji, di sekolah pula para guru mengajar kaji.
Untuk menjaga sekolah Madrasah Tarbiyah Pasia, beliau memikirkan luar dan dalam. Beliau memikirkan pembangunan sekolah, honor guru, dan memastikan anak Tarbiyah paham dengan kaji. Tak ada terbayang tujuan materi dengan dedikasi beliau terhadap sekolah.
Wakaf yang diberikan masyarakat beliau jaga dengan sangat baik. Bahkan beliau di waktu-waktu sela menyapu sekolah, mengikis lumut-lumut yang hinggap di keramik sekolah. Kenapa beliau melakukan itu, jawabnya sederhana menjaga wakaf orang, jika cepat rusak takut pahalanya tak lagi mengalir sempurna kepada si pewakaf. Jika pada saat kejadian ini beliau mendapatkan tamu, tamu tak akan menyangka jika beliau adalah pimpinan MTI Pasia.
Kepergian beliau menghadap sang Khalik pada tanggal 8 Juni 2020 tentu saja kehilangan bagi keluarga beliau, murid-murid beliau, masyarakat, dan sekolah. Semua kehilangan salah satu tokoh yang selalu mengajarkan ajaran mazhab syafi’i kepada murid dan jamaahnya. Tapi kepergian beliau ini bukti, manusia tak sedikitpun memiliki hak terhadap hidup dan mati seseorang. Hanya Allah SWT yang memiliki hak tersebut.
Lagi menurut Zelfeni Wimra, mendengar langsung dari beliau, Berdasarkan penafsiran yang Beliau ajarkan, bahwa melalui al-Fatihah, ruh manusia bisa saling terhubung, saling menguatkan dalam doa. Titik kumpul pemahamannya pada kalimat ihdinā siratha al-mustaqīm. Ada dhamir nahnu (kami) pada “ihdinā”. Berkirim al-Fatihah juga merupakan pernyataan, bahwa manusia adalah umat yang satu: tunjuki kami jalan mustaqīm, yakni jalan bagi mereka yang Engkau mampukan mencapai kenikmatan ilahiyah, bukan jalan bagi mereka yang tidak Engkau pantaskan mendapatkan kenikmatan itu.
Maka di akhir tulisan ini penulis berkirim al-Fatihah kepada beliau, lahu alfatihah.[]
*Oleh; Zainal Abadi (Alumnus MTI Pasia 2003 dan sekarang Komisioner KPU Kabupaten Agam)
Leave a Review