scentivaid mycapturer thelightindonesia

Bolehkah Perempuan Jadi Imam Salat?

Kajian Hadis, Bolehkah Perempuan Jadi Imam Salat
Ilustrasi/Sumber: muslimahcorner

Sudah menjadi pengetahuan dharūri di kalangan kita warga Tarbiyah Islamiyah ketika membaca literatur fikih, khususnya dalam persoalan imāmah al-shalāh, bahwa orang yang sah menjadi imam salat hanyalah laki-laki. Sejak dari kitab fikih terkecil seperti Matan Abī Suja’, Fath al-Qarīb, Fath al-Mu’in, I’ānah al-Thālibīn, sampai kepada kitab fikih yang agak besar seperti Hāsyiyah al-Qalyūbi wa ‘Umayrah li Minhaj al-Thālibin dan lain sebagainya juga mengajarkan bahwa hanya laki-laki yang boleh menjadi imam.

Bahkan dalam kitab al-Umm karya Imam Syāfi’i sendiri disebutkan bahwa seandainya ada seorang perempuan mengimami segolongan kaum yang terdiri dari laki-laki, perempuan, dan anak laki-laki, maka salat para makmum perempuan adalah sah, sedangkan salat para makmum laki-laki dan anak laki-laki tidak sah. Hal itu menurut Imam Syāfi’i karena Allah Swt menjadikan laki-laki sebagai pemimpin untuk perempuan. Selain itu, Allah Swt juga tidak menjadikan perempuan sebagai wali dan lain-lain. Serta perempuan dalam keadaan bagaimanapun tidak boleh menjadi imam salat untuk makmum laki-laki.

Salah satu dalil yang digunakan oleh Imam Syāfi’i dalam hal ini adalah firman Allah Swt dalam Surah al-Nisā ayat ke-34. Ayat tersebut secara tersurat menegaskan bahwa kaum laki-laki merupakan pelindung, pemimpin, dan pengayom bagi perempuan. Dengan demikian, karena imam merupakan pemimpin dalam salat maka secara otomatis ia harus laki-laki, tidak boleh perempuan. Lebih jauh ayat ini diinterpretasikan oleh K.H. Ali Mustafa Ya’qub sebagai ayat yang menegaskan ketidakbolehan perempuan untuk menjadi pemimpin.

Baca Juga: Tarbiyah Islamiyah Sarang Seniman Menerjemahkan Zakar dengan Cinonot

Beliau menegaskan, meskipun ayat ini berbicara tentang kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, namun perlu digarisbawahi bahwa urusan rumah tangga merupakan komunitas terkecil yang ada dalam kehidupan manusia, lebih kecil dari urusan salat jamaah, apalagi masalah masyarakat ataupun bahkan kenegaraan. Sehingga kalau dalam hal yang kecil saja seorang perempuan tidak diperbolehkan untuk menjadi pemimpin, maka dalam persoalan yang lebih besar seperti kemasyarakatan dan kenegaraan tentu perempuan lebih tidak diperbolehkan lagi untuk menjadi pemimpin.

Selain itu Kyai Ali juga memahami bahwa kendati ayat tersebut secara tegas tidak menyebutkan larangan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin -karena ayat tersebut berbentuk kalimat berita (khabr), bukan larangan (insya’)-, namun sejatinya ia adalah kalimat perintah/insya’, yaitu perintah untuk kaum laki-laki untuk menjadi pemimpin, pelindung, dan pengayom bagi perempuan sekaligus larangan terhadap perempuan untuk menjadi pemimpin bagi kaum laki-laki. Demikian menurut salah satu kaedah dalam Ilmu Usul Fikih.

Selain ayat di atas sebenarnya ada dalil lain yang digunakan oleh sekelompok ulama untuk melarang perempuan menjadi imam bagi laki-laki, yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Mājah yang artinya, “ingatlah, jangan sekali-kali ada wanita menjadi imam salat untuk laki-laki”. Namun sayang, Imam Busyairi dalam kitabnya Zawāid Ibn Mājah ‘ālā al-Kutub al-Khamsah menyebutkan bahwa hadis di atas bernilai dha’if (lemah), karena di dalam sanadnya terdapat dua orang perawi yang lemah periwayatannya, yaitu Ali ibn Zaid ibn Ju’dan dan Abdullāh ibn Muhammad al-‘Adawi.

Secara teoritis hadis tersebut tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk melarang perempuan menjadi imam bagi laki-laki, akan tetapi karena makna dari hadis ini diterima dan diamalkan oleh mayoritas ulama dari masa ke-masa –semenjak masa Rasulullah sendiri hingga sekarang- maka hadis tersebut tetap bisa dijadikan sebagai acuan pelarangan di atas. Hal inilah yang disebut dalam Ilmu Hadis sebagai Khabr al-Ahad al-Maqbūl al-Muhtaffi bi al-Qarāin (hadis yang diterima karena faktor-faktor eksternal).

Baca Juga: Salat Jumat dengan Tiga Orang, Bolehkah?

Syekh Ismāil al-Anshāri pernah menyebutkan bahwa hadis yang substansinya telah diterima dan diamalkan oleh para ulama, tidak perlu diteliti lagi sanadnya. Dalam arti kata hadis tersebut dhā’if secara lafadz namun sahih secara makna. Hadis yang seperti ini juga sering dikutip oleh Imam al-Tirmidzī dalam kitab Sunan-nya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sayyid Muhammad dalam bukunya Tahqīq al-Āmāl fī Mā Yanfa’u al-Mayyit min al-A’māl. Alasan inilah yang kemudian mendorong Imam Ibn Qudāmah tetap mencantumkan hadis di atas sebagai salah satu dalil yang melarang perempuan menjadi imam salat dalam kitabnya al-Mughnī.

Sementara itu Imam al-Syāfi’i tidak menggunakan hadis tersebut dalam al-‘Umm-nya disebabkan semata-mata hanya karena status hadis itu yang bernilai dhā’if, meskipun sebenarnya beliau setuju dan menerima maknanyaBeliau pernah menyebutkan bahwa idzā shahha al-hadīs fa huwa madzhabī (apabila sebuah hadis itu sahih maka itu adalah mazhabku). Itulah beberapa alasan ulama dari berbagai mazhab yang ada, konsisten dengan pendapat terlarangnya perempuan menjadi imam salat untuk laki-laki. Walaupun sebagian aktifis gender kontemporer ada yang mengkritik dan menyebutnya sebagai hadis yang berbau misoginis.

Kritikan mereka bukan berarti tanpa alasan, sebagian mereka mengajukan sebuah riwayat yang disebut-sebut bisa menjadi antitesis dari pendapat ulama yang telah penulis sebutkan di atas. Riwayat yang dimaksud adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah ahli hadis seperti Imam Ahmad ibn Hambal dalam Musnad-nya, Abū Dāūd dalam Sunan-nya, Ibn Khuzaimah dalam Shahīh-nya, al-Thabrāni dalam al-Mu’jam al-Kabīr-nya, al-Dāruquthnī dalam Sunan-nya, Ibn Jarud dalam al-Muntaqa-nya, al-Hākim dalam al-Mustadrak-nya, dan al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Shaghir-nya dengan total sebelas jalur sanad.

Baca Juga: Bisakah Kaedah Fiqih Menjadi Dalil Hukum

Hadis ini populer melalui riwayat Imam Abū Dāūd. Dalam riwayat tersebut diceritakan bahwa Ummu Waraqah binti Naufal berkata kepada Nabi pada saat beliau akan berangkat menuju Badar (Perang Badar), “Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk ikut berperang bersama Anda! Saya akan merawat orang-orang yang luka dari prajurit-prajurit Anda. Mudah-mudahan Allah Swt menganugerahi saya mati sebagai syahid.” Nabi Saw menjawab, “Kamu di rumah saja, karena Allah Swt akan memberi kamu pahala sebagai syahid”.

Abd al-Rahmān al-Khallād, perawi hadis ini, menyebutkan, “Ummu Waraqah akhirnya akrab dengan panggilan Syahidah. Ia juga membaca (hafal) al-Qur’an. Ia meminta izin kepada Nabi untuk mengangkat seorang muazzin di rumahnya. Nabi Saw pun mengizinkannya.” Ia melanjutkan, “Ummu Waraqah berjanji untuk memerdekakan seorang budak laki-laki dan perempuan miliknya sesudah ia meninggal dunia. Namun pada suatu malam, (pada masa kekhalifahan Umar) keduanya bangun dan menghampiri Ummu Waraqah, kemudian menyumpalnya dengan kain sampai meninggal, lalu keduanya melarikan diri.

Keesokan harinya di hadapan masyarakat banyak, Umar ibn al-Khatthāb mengumumkan : Siapa yang mengetahui keberadaan dua orang hamba sahaya pembunuh Ummu Waraqah tersebut, hendaklah ia melapor dan membawa keduanya ke hadapan kami. Lalu Umar memerintahkan supaya menyalib kedua hamba tadi, keduanya adalah orang pertama yang disalib di Madinah.

Dalam riwayat lain dengan jalur (sanad) yang berbeda, Imam Abū Dāūd menyebutkan bahwa Abd al-Rahmān al-Khallād berkata, “Rasulullah sering mengunjungi Ummu Waraqah di rumahnya dan menunjuk seorang muazzin untuk berazan. Rasulullah juga menyuruhnya untuk mengimami salat jamaah bagi penghuni rumahnya”. Abd al-Rahmān al-Khallād juga mengatakan bahwa tukang azannya adalah seorang laki-laki tua. Berdasarkan ungkapan al-Khallād ini sebagian ulama seperti Imam Abū Tsaur, al-Muzani, dan al-Thabari membolehkan perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Hal ini sebagaimana dikutip oleh Ibn Qudāmah, Ibn Rusyd dan al-Syaukāni dalam karya-karya mereka.

Baca Juga: Berkurban untuk Orang Meninggal Dunia

Namun dalam riwayat-riwayat lain selain Abū Dāūd tidak disebutkan bahwa Ummu Waraqah mengimani makmum campuran antara laki-laki dengan perempuan. Bahkan dalam riwayat al-Dāruquthnī dijelaskan bahwa Ummu Waraqah hanya mengimami kaum perempuan yang ada di rumahnya. Dengan demikian para ulama yang menjadikan hadis ini sebagai dalil kebolehan perempuan menjadi imam bagi laki-laki hanya berdalil dari hal yang tersirat (mafhum) dari hadis tersebut, bukan dengan apa-apa yang tersurat (manthuq).

Ada beberapa catatan terkait hadis tersebut, hal ini sebagaimana juga dijelaskan secara panjang lebar oleh Kyai Ali Mustafa Ya’qub dalam bukunya Imam Perempuan. Pertama, hadis ini disampaikan oleh seorang yang bernama Abd al-Rahmān al-Khallād, seorang perawi kontroversial yang dianggap tsiqah (kredibel) oleh Ibn Hibbān, namun majhūl al-hāl (tidak diketahui identitasnya) oleh Ibn al-Qatthan. Perawi yang majhūl al-hāl menurut mayoritas ulama hadis –sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Hajr- adalah dhā’if (lemah).

Kedua, meskipun Imam Abū Dāūd tidak mengomentari hadis tersebut –sebagai pertanda bahwa hadis tersebut tidak bermasalah, karena Imam Abū Dāūd dalam sebuah suratnya kepada warga Kota Mekah pernah mengatakan bahwa setiap hadis yang tidak beliau komentari dalam kitabnya berarti hadis tersebut sahih/tidak bermasalah bahkan lebih sahih dari hadis lain-, namun setelah diteliti lebih lanjut ternyata tidak demikian. Perawi yang menjadi madar sanad (titik sentral) hadis di atas adalah seorang rawi yang kontroversial (bermasalah).

Baca Juga: Menilai Ketepatan Berbahasa Arena dan Kuasa Simbolis

Ia bernama al-Walīd ibn al-Juma’i. Seorang perawi yang dianggap kredibel oleh Yahya ibn Ma’in, al-‘Ijlī, dan Abū Zur’ah. Sementara itu Imam Ahmad menyebutnya dengan istilah la ba’tsa bih yang menandakan bahwa ia adalah seorang perawi yang tidak bermasalah namun kemampuan daya ingatnya diragukan. Sedangkan Abū Hātim menilainya lebih rendah dengan ungkapan shālih al-hadīs (hadisnya baik). Bahkan Ibn Hibbān menggolongkannya sebagai salah satu perawi yang dhā’if dalam kitabnya al-Dhu’afa.

Parahnya lagi, Ibn Hibbān menyebutkan bahwa periwayatan al-Walīd tidak pernah diiringi oleh perawi-perawi lain yang kredibel. Imam Hākim juga menyayangkan sikap Imam Muslim yang menjadikan al-Walīd ibn al-Juma’i sebagai salah seorang rijal-nya. Dengan demikian, berdasarkan kaedah jarh ta’dīl yang berlaku dalam Ilmu Hadis, yaitu jika ungkapan jarh dan ta’dīl berlawanan pada seorang perawi, maka yang diunggulkan adalah ungkapan yang men­jarh, sekalipun jumlah mereka yang menta’dil lebih banyak dari mereka yang menjarh.

Ketiga, terdapat kerancuan dalam memaknai hadis tersebut. Para ulama yang menjadikan hadis itu sebagai dalil kebolehan perempuan mengimami laki-laki kurang arif dalam mengambil kesimpulan. Sebagaimana yang diketahui bahwa hadis riwayat Abū Dāūd mempunyai makna yang lebih umum, karena di sana tidak dijelaskan apakah Ummu Waraqah mengimami jamaah yang terdiri dari laki-laki dan perempuan atau hanya perempuan saja. Sedangkan riwayat al-Dāraquthni menyajikan informasi yang lebih rinci, yaitu Ummu Waraqah hanya mengimami kaum perempuan yang ada di rumahnya saja, bukan bersama-sama dengan laki-laki.

Oleh sebab itu, keumuman makna yang terdapat pada riwayat Abū Dāūd harus ditakhshis dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Dāraquthni. Demikian kata sebuah kaedah dalam Ilmu Usul Fikih. Selain itu, kita tidak bisa memahami sebuah hadis secara mandiri tanpa mengkompromikannya dengan hadis lain karena kaedah al-hadīs yufassiru ba’dhuhu ba’dhan (hadis sebagiannya menjelaskan sebagian yang lain) sebagaimana halnya al-Qur’an yang sebagian ayatnya juga menjelaskan ayat yang lain. Keempat, seandainya hadis ini bernilai sahih pun, maka ia hanya dikhususkan untuk Ummu Waraqah semata, karena tidak satu pun riwayat sahih lainnya yang mendukung dan menyebutkan adanya perempuan yang menjadi imam untuk laki-laki, kecuali hanya untuk perempuan saja.

Baca Juga: Hukum Mengqadha Salat

Meskipun hadis di atas dinilai lebih berpihak kepada laki-laki (sebut bias gender), namun bukan berarti dalam hal ini Islam menganggap rendah perempuan. Akan tetapi dalam Islam, terdapat syariat yang hanya bisa dilakukan oleh kaum laki-laki dan ada syariat yang hanya bisa dilakukan oleh kaum perempuan serta ada juga yang bisa dilaksanakan oleh kedua-duanya secara bersamaan. Klasifikasi seperti ini juga diakui oleh Nasarudin Umar (pakar gender UIN Jakarta). Ia mengatakan tidak semua perkara agama bisa didekati dengan sudut pandang gender.

Sebagiannya ada yang bersifat konstan dan ada juga yang fleksibel. Sebagai kesimpulan dari tulisan ini, penulis cendrung mengatakan bahwa persoalan imāmah al-shalāh adalah salah satu di antara perkara agama yang dibebankan kepada laki-laki. Asumsi ini diperkuat oleh beberapa dalil dan pendapat dari sebagian besar ulama dari masa ke masa. Perempuan boleh menjadi imam, akan tetapi hanya dalam komunitas mereka saja, dengan catatan di tempat tersebut tidak ada seorang laki-laki yang memenuhi syarat untuk menjadi imam salat.[]

Yunal Isra
Alumni MTI Canduang, Pengajar di Darus-Sunnah, dan Peneliti di El-Bukhari Institute