Kajian ini bersumber dari dua kitab yang masing-masingnya ditulis oleh:
1. Sayyid Utsman ibn Abdullah bin ‘Uqail bin Yahya (1822-1913 M); dan
2. Syekh Sulaiman Arrasuli (1871-1970 M)
Akidah atau tauhid merupakan pondasi atau dasar utama di dalam ber‘ubudiyah ( menghinakan diri shina-hinanya di hadapan Allah Swt. serta membesarkan Allah Swt. sebesar-besarnya) di setiap hembusan nafas naik-turun bagi jin dan manusia. Kehidupan jin dan manusia di hadapan dan atau bagi Allah Swt. dapat diilustrasikan bagaikan sisa nasi yang dibuang ke dalam tong sampah sebagai penggambaran bagi jin dan manusia yang melupakan Allah Swt. di setiap tarikan nafasnya. Begitu juga gambaran jin dan manusia bagaikan sebongkah emas yang jatuh di pinggaran jalan raya yang diperebutkan oleh banyak orang bagi jin dan manusia yang senantiasa mengingat Allah Swt. di setiap tarikan nafasnya.
Ilustrasi di atas penting untuk mengingatkan diri ini dan kita semua betapa hinanya kita di hadapan Allah Swt., seperti posisi kepala tidak lebih tinggi daripada tumit kita di saat melakukan sujud. Oleh sebab itu, urgensi tauhid ini bagi jin dan manusia sangat ditegaskan oleh Habib Tahir bin Husain di dalam kitab Khutbah: Ketahuilah wahai saudara-saudara semua! Sesungguhnya dasar dan asas dalam beragama adalah makrifat al-ma’bud qabl al-‘ibadah (mengenali Zat Yang Disembah sebelum beribadah). Inilah makna hakikat dari Syahadatain.
Mana yang Prioritas; Menjaga Akidah atau Keutuhan Masyarakat?
Sebelum mengkaji bahasan akidah atau tauhid lebih lanjut, keberadaan tasawuf merupakan atsar (implikasi) dari akidah atau tauhid itu sendiri. Dalam konteks ini, akidah ataupun dengan nama lain “Iman” bermakna “membenarkan dengan hati terhadap segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah Saw. yang berasal dari agama (termasuk sanad atau silsilah ilmu) secara mudah”. Jika dikaji lebih rinci bahwa kata “membenarkan atau tashdiq” memiliki arti “wushul atau sampainya diri kepada makna-makna yang dituju dengan rasa yang di dalam hati terhadap segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah Saw. yang berasal dari agama (termasuk sanad atau silsilah ilmu) secara mudah. Dalam konteks inilah kajian tasawuf menjadi atsar agar seseorang mampu wushul kepada Zat Yang Disembah itu. Atas dasar itu, antara tauhid dan tasawuf bagaikan nyawa dan badan bagi manusia.
Di sisi lain, kehadiran Fikih menjadi lapisan luar yang mempola sebuah tatanan kehidupan nyawa (tauhid) dan badan (tasawuf) manusia, sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam perjalanan nyawa dan badan itu sendiri. Kendati demikian, kebersatuan nyawa dan badan yang wushul kepada Zat Yang Disembah berpotensi menenggelamkan manusia di lautan tauhidnya, sehingga Fikih pun larut di dalam kebersatuannya itu. Gambaran sederhana untuk menjelaskan hal ini dapat ditarik ke dalam ranah sepasang pengantin baru yang sedang asyik berduaan, sehingga mereka lupa dengan segala sesuatu yang ada di sekeliling mereka. Petikan kesimpulannya bahwa ketika seseorang wushul kepada Zat Yang Disembah, dia tidak akan merasakan lagi segala sesuatu yang mengatur dan mengikat mereka. Oleh sebab itu, ketika rasa yang mengitari qalbu sudah hilang serta yang Wujud hanya Dia Zat Yang Disembah, Fikih-pun tidak lagi menjadi aturan yang mesti mengikatnya (kondisi wushul itu tidak bersifat permanen kecuali bagi Rasulullah Saw.)
Bagian akhir ini (Fikih) seolah-olah menjadi bagian utama yang senantiasa menjadi rebutan banyak orang. Bukan saja soal Fikih Politik, Fikih Aturan, dan Fikih-Fikih lainnya. Sementara kita lupa untuk melihat ke dalam diri, ternyata qalbu ini sudah berjamur yang entah sampai kapan kita sadar untuk membersihkannya. Bukan saja soal kesombongan, rebutan jabatan, ataupun lain sebagainya. Padahal setiap kali salat kita tidak pernah alfa untuk membaca “maliki yaum al-din (Allah adalah Zat Penguasa Hari Akhir”. Dalam tafsir isyari dijelaskan bahwa setiap makhluk dan diri yang terzhalimi oleh kita pada saat diri itu berupaya untuk berubudiyah kepada Allah Swt. akan mengajukan keadilan kepada-Nya, di saat itu Allah Swt. akan menjadi Hakim Agung yang akan memutus perkara tersebut sekalipun sebesar biji zarrah akan dipertanggungjawabkan di Padang Kiamat. Atas dasar itu, penting kiranya kita untuk saling mengingatkan pesan Rasulullah Saw. yang artinya: “Peliharalah warisan keilmuan atau peninggalan orang tuamu. Jangan engkau hilangkan atau tinggalkan. Jika engkau hilangkan atau tinggalkan, niscaya Allah Swt. akan mencabut nur (cahaya) engkau”. Akibatnya, kehidupan kita bagaikan mayat yang berkeliaran di atas muka bumi.
Berdasarkan uraian di atas, keberadaan Tauhid, Tasawuf-Thariqah, dan Fikih menjadi dasar terbentuknya karakter manusia yang sesungguhnya. Dalam konteks ini, sulit mempercayai konsep-konsep pendidikan karakter yang tidak beranjak dari guru-guru dan para murid yang tidak mengkaji Tauhid, Tasawuf-Thariqah, dan Fikih secara matang. Kepincangan salah satu kajian sangat berpotensi mengantarkan seseorang kepada ranah tidak berkarakter atau bahkan menjadi Zindiq ataupun Fasiq. Inilah makna dari ungkapan kata Imam Malik dan Imam al-Ghazali: siapa saja yang faqih tetapi tidak bertasawuf (baca: Implikasi Tauhid), dia adalah orang fasiq; siapa yang bertasawuf tetapi tidak faqih, dia adalah orang zindiq; siapa saja yang mampu menyatukannya (faqih dan bertasawuf) di dalam dirinya, dia adalah orang tahqiq dalam beragama. Atas dasar itu, penting kiranya untuk mengulang dan menguraikan kembali kajian tauhid dan tasawuf minus thariqah (karena thariqah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari diri seorang mursyid yang bersanad) dengan maksud bukan untuk mengurui apalagi untuk mengajari, tetapi hanya sekadar untuk berbagi tentang kajian tauhid dan atsar (implikasi) dalam bentuk tasawuf yang pernah dicurai oleh Pendiri Tarbiyah-PERTI.
Wallahu’alam!
Akal bukan untuk merasa, Hati bukan untuk berpikir. Ketika keduanya bersatu …… Bersambung!!!
Leave a Review