scentivaid mycapturer thelightindonesia

Kartini dan Perjuangan Hak bagi Kaumnya

Karti dan Perjuangan Hak bagi Kaumnya
Ilustrasi/Dok. Poto you tube

Ialah perempuan Jawa bernama lengkap Raden Adjeng Kartini. Sebenarnya ia lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini. Ia disebut-sebut sebagai tokoh yang lahir dari didikan Belanda. Inilah sebab gelar kepahlawanannya sempat dikritik.

Saat itu, mereka beranggapan bahwa ada tokoh perempuan yang lebih pantas untuk diberikan gelar kepahlawanan. Rohana Kudus dan Dewi Sartika jauh lebih berhak menerima gelar itu. Karena mereka adalah perempuan-perempuan yang telah berjuang dan meraih mimpinya di bidang pendidikan sedangkan tokoh perempuan yang diberi gelar kepahlawanan ini dicap gagal menggapai impiannya.

Ya, dialah Kartini. Kartini yang kita peringati hari lahirnya di tanggal 21 April itu.

Ya, dialah Kartini yang gagal menggapai impiannya. Ia gagal membuat sekolah perempuan untuk kaumnya. Ia gagal memperjuangkan hak-haknya untuk bersekolah lebih tinggi.

Baca Juga: Merindukan Sosok Pahlawan

Ia gagal memperjuangkan hak-hak kaum perempuan Jawa yang dianggap jauh lebih rendah daripada laki-laki. Bahkan ia juga gagal memperjuangkan gagasannya yang dulunya menolak kawin paksa dan poligami.

Sebagaimana telah lazim diketahui bahwa Kartini akhirnya menerima pinangan seorang bupati yang sudah memiliki tiga istri sebelumnya.

Namun, di balik kegagalan yang terlihat, ada begitu banyak hal yang ia wariskan pada bangsa ini. Ia memang hanya hidup seperempat abad, namun semua hidupnya diabdikan untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan.

Hidup yang sebentar tapi penuh makna. Ia mewariskan pola pikir, semangat perjuangan dan yang lebih jelas lagi, ia mewariskan tulisan. Surat-suratnya kepada sahabat penanya, Stella, juga kepada Ovink-Zeir dan Abendanon yang kemudian dijadikan buku berjudul “Habis gelap terbitlah terang” merupakan warisan yang tak terbantahkan bahwa betapa ia berhak mendapatkan gelar itu.

Ia memang anak seorang priyayi, anak bupati. Namun masa kecil dan remajanya tetaplah melalui penderitaan tak berkesudahan. Dibalut tradisi Jawa yang feodal, ia yang sedang asyik-asyiknya belajar harus berhenti di tengah jalan karena telah tiba masanya ia dipingit.

12 tahun usianya saat itu. Ia harus dikurung di dalam kamar, tidak boleh keluar sampai datang seseorang untuk meminangnya. Sungguh begitu sakit hati Kartini menanggungkan ini semua. Hasrat belajarnya yang begitu menggebu-gebu langsung dipaksa mati. Layaknya seorang yang sedang jatuh cinta, lalu dipisahkan dari kekasihnya.

Kartini merana. Tapi ayahnya lebih merana lagi. Ayahnya adalah seorang yang progresif. Ia sangat senang melihat Kartini belajar. Tapi lingkungan dan adat tidak mengizinkan. Ayahnya akan menjadi cibiran bila Kartini dibiarkan keluar.

Namun, sebagai balasan, ayahnya mengizinkan Kartini membaca buku-buku feminisme. Ayahnya juga mengabulkan permintaan Kartini untuk berlangganan majalah perempuan. Juga majalah-majalah yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Di kamar pingitan itulah, ia terus membaca dan membaca, menulis dan menulis. Ia menuangkan segala gagasan, fikiran serta curahan hati melalui surat-surat.

Dua tahun setelahnya, adik-adiknya Roekmini dan Kardinah juga ikut dipingit. Hal ini membuat Kartini senang. Ia menjadi punya banyak hal untuk dilakukan bersama adik-adiknya. Isi fikirannya pun ditanamkan kepada adik-adiknya. Sekarang, ia punya banyak kegiatan. Tidak hanya membaca, bersama adik-adiknya juga menggambar, bermain musik, merenda dan menjahit.

Empat tahun kemudian, ayahnya sudah tidak tahan lagi dengan pingitan itu, ia melepaskan anak-anaknya dari pingitan. Kartini dan adik-adiknya tentu bahagia. Ia mengutarakan keinginannya untuk bersekolah ke Belanda. Semua hal diurus. Kartini mendapat beasiswa. Namun akhirnya tidak diizinkan untuk pergi. Ada banyak alasan yang dikemukakan. Hal ini membuat ia terguncang. Ia bahkan sakit selama dua minggu karenanya.

Tak lama kemudian, sebuah lamaran datang. Dari seorang bupati yang sudah memiliki tiga istri. 24 tahun usianya kala itu. Ayahnya ingin melihatnya menikah. Gejala psikosomatik menghampirinya. Kartini tidak sanggup melihatnya. Pemikirannya tentang poligami, kawin paksa, dan segala macam hal yang ia perjuangkan selama ini mendadak menjadi tidak berarti. Ia memilih menikah. Mengabaikan segala pemikiran dan gagasananya selama ini.

Baca Juga: HJ. Syamsiyah Abbas Tokoh Perti dan Pendidikan Perempuan Minangabau 1

Ya, Kartini gagal menggapai mimpinya. Tapi ia berhasil mewariskan pemikirannya, semangatnya dan tentu surat-suratnya.

Ya, Kartini hasil didikan Belanda. Tapi ia menggunakan didikan itu untuk kaumnya. Ia memang mengimitasi dan mengadaptasi beberapa didikan Belanda. Tapi kita juga harus mengakui bahwa ia juga mengkreasikan didikan Belanda dan menyesuaikannya dengan budayanya.

Ya, Kartini memang memakai kebaya dan sanggul. Tapi seluruh waktunya tidak habis untuk memakai kebaya dan sanggul. Sama sekali tidak. Ia menghabiskan waktunya untuk membaca, menulis, dan mendidik kaumnya agar bisa setara dengan laki-laki. Setara dalam hal pendidikan.

Kartini tidak pernah menyesal terlahir sebagai perempuan meskipun ia mendapati banyak ketidakadilan ketika menjadi perempuan. Dalam salah satu suratnya, ia pernah menulis “Seandainya aku diberi kesempatan untuk terlahir kembali, maka aku ingin kembali terlahir sebagai perempuan.”

Selamat Hari Kartini, Gaess. Tetaplah bangga jadi perempuan. Apapun profesi kita. Di manapun kita berada, kita berhak memperjuangkan hak dan kemanusiaan kita sebagaimana laki-laki.[]


Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima sumbangan tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com

Humairatul Khairiyah
Alumni MTI Canduang dan Alumni Megister Sastra Inggris UNP