scentivaid mycapturer

Kata yang Tidak Tumbuh Menjadi Diri

KATA YANG TIDAK TUMBUH MENJADI DIRI
Agus Wakidi: (Bukittinggi, W. Sumatra, 1928 https://www.sidharta-auctioneer.com

Tulisan saya ini banyak bersinggungan dengan tulisan Afrizal Malna dalam  Jurnal Selarong volume 5 th. 2005, yang berjudul, “Korstrusi Negatif yang Terus Dijalankan Orang-orang Minang dalam Sastra Indonesia”. Dalam cara dan kebutuhan yang lain saya akan lanjutkan uraian Afrizal tersebut. Pada awal tulisannya Afrizal mengemukakan, “Dalam tulisan ini, saya tergoda untuk menggunakan diri saya sebagai pintu masuk. Tentu saja ia menjadi sangat biografis,..”‘

Dalam cara itu pula Afrizal kemudian melirik karya sastra orang-orang Minang dalam kancah sastra nasional. Suatu kancah yang sangat biografis pula, Afrizal menyebut polarisasi penceritaan dalam berbagai karya satera orang Minang tersebut sebagai perjalanan berbalik subjek rantau yang dalam pemahaman saya merupakan suatu kondisi dimana si pengarang seakan-akan menggunakan diri masing-masing sebagai pintu masuk ke rumah budaya Minangkabau. dalam proses perjalanan itu,selalu berakhir menjadi tragik (Malinkundang) dalam konteks situasi yang saling berlainan.

Afrizal menyebut beberapa nama dan karya. Dalam karya Raudal Tanjung Banua, tema tersebut secara tegas mengumpul dalam kalimat Kereta yang Terus Memanjang (2004). Raudal bercerita, siapa saja yang masuk ke dalam kereta akan hilang bersama lenyapnya kereta itu. Kereta dalam cerita Raudal dapat dipahami sebagai personifikasi dunia konsepsi dialektis Minang yang terus memanjang sebagaimana konsepsi adat dan budaya Minang yang diandaikan tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Konsepsi yang terus memanjang itu pada akhirnya melampaui kenyataan individual manusia yang mengelutinya, dan akhirnya hilang dan terlibas olehnya.

Sementara dalam novel Abrar Yusra, Tanah Ombak (2002), tersirat tentang rantau yang telah bertumbuhan di Minang itu sendiri. Rantau terepresentasi lewat sebuah nightclub di kota Padang. Banyak pelacur dalam nightclub tersebut berasal dari wanita-wanita Minang.. Letak dan tempat nightclub disembunyikan. Afrizal, mensinyalir bahwa begitu pula orang-orang minang menyembunyikan rantau yang sedang tumbuh di dalam dirinya sendiri. Sedangkan si ibu pemiliki Nightclub tetap terrepresentasi sebagai ibu tradisional bagi pelacur yang dikelolanya. Ibu itu mengurusi mulai dari urusan makan dan harian sampai urusan mencarikan jodoh buat para pelacur itu.

Tokoh utama dalam Tanah Ombak adalah seorang wartawan yang selalu merasa memasuki tempat yang paling asing, baru, atau rantau setiap kali memasuki nightclub itu. Namun sang wartawan juga telah jatuh pada seorang primadona di nightclub. Namun sang wartawan juga akan selalu merindukan ke rumah tradisi, disambut pelukan hangat dari si istri bertubuh semok dan berwajah innocent serta pandai memasak. Wartawan bingung untuk mendefinisikan hubungan yang sedang terjadi. Upaya mendefinisikan tidak terdapat acuan dalam tradisi, sedangkan di luar tradisi ia hanya mengalami keterasingan, termarjinalkan tanpa sebab yang dipahaminya. Dalam Tanah Ombak, antara rantau dan tradisi saling berjalani membentuk batasan yang batas geografis karena nightclub terdapat di dalam kota Padang yang disebunyikan.        

Berbagai struktur tragik terus bergulir dalam dalam khazanah sastra orang Minang (A.A. Navis, Gus tf Sakai, Harris Effendi Thahar, dsb) dengan aneka pola, gaya dan konteks situasi, namun mengandung unsur yang seragam.

Berbagai karya tersebut terus saja memproduksi Malinkundang yang baru secara normatif sama dengan Malinkundang yang dulu, hanya saja mengalami berbagai perubahan dan pencangihan dalam pola tragik yang serangkai. Dalam keterangan Afrizal, tragik kembali berulang tanpa adanya pertubuhan solusi. Seakan-akan solusi adalah kemustahilan hal ini yang disebut Afrizal sebagai “konstruksi negatif”. Begitu juga dari dulu hingga kini menurut Afrizal. persoalan perantau orang Minang beranjak dari itu-itu jua, sebagai si Malinkung dalam kebaruan struktur.

Kemandekan pertumbuhan duni ikonik ini bisa jadi bersebab perhatian yang terlalu obsesif terhadap logika kata. Secara ringkih dapat terlihat dari kebiasaan untuk mengatakan Minangkabau sebagai tanah kelahiran berbagai tokoh bangsa (dll) oleh anak Minang sebagai peneguhan identitas. Sebagai rasa bersyukur tentu baik. Tetapi rasa syukur yang tulus tentu akan melahirkan sikap tertentu yang dapat dihargai secara tinggi. Secara ikonik, kita tidak melihat adanya formasi sikap yang menggadaikan ketinggian kualitas manusia Minangkabau saat ini sebagaimana ikon masa lalu membuktikan itu (HAMKA, Natsir, Hatta, Yamin, Rohana Kudus, dst). Sehingga identitas saat ini kalau mau didasarkan kepada masa lalu tentu akan mencoreng wajah orang-orang besar yang sudah meninggal itu. Hal itu telah menjadi super- ego yang melahirkan aroganisme identitas secara ahistoris dalam kepala dan batin orang-orang Minang saat ini. Tidak mau mengakui bahwa kualitas itu sudah berubah, identitas sudah berubah. Saat ini. tanah Minangkabau lebih dikenal sebagai penghasil pengusaha rumah makan dan kaki lima yang bertebaran di seluruh Indonesia. Hal terakhir ini lebih kentara secara ikonik.

Di sisi lain, pola usung identitas secara demikian tentu lebih bersifat penegasan ketimbang apresiasi. Tercermin dari penggunaan kata yang identifikasi definitif dan terlalu artifisial. Sedangkan model dialog identitas yang berbau penegasan identifikatif (berintensi menekan orang lain demi eksistensi diri) tentu tidak akan dapat diterima dalam pergaulan ikonik, sehingga memang bisa jadi Minangkabau terpinggirkan (marginal) sebagai harimau yang mengaum-ngaum sesama harimau saja.

Sesuatu menjadi ikon karena dapat bersinggungan secara intens terhadap konteks situasi. Ikon tidak menjadi ikon hanya dengan momen pengucapan konseptual. Secara ikon para tokoh bangsa yang telah menjadi ikon Minangkabau dan Indonesia itu akan hancur sebagai ikon manakala penyebutannya hanya dilatarbelakangi oleh sensori primordial belaka dengan mengintrodusir kenyataan sejarah secara rasional sebagai seakan-akan kenyataan niscaya tentu seterusnya. Selanjutnya, Minangkabau itu sendiri akan hancur sebagai ikon ketinggian budaya; demokrasi dan dialektika.

Baca Juga: Sulaiman-Arrasuli Tokoh Pendidikan Islam Bercorak Kultural Bagian III Habis

Kata Tidak Berkuasa, Sudah Berubah, Juga Terbatas

Dalam Gurindam edisi sebelumnya telah disebut betapa kata berkuasa di Minangkabau. Dan ketika kata merupakan transformasi dari/untuk kuasa, maka kepentingan terhadap kata menjadi kepentingan yang mendasar. Semua orang berebut kata. Semua orang memproduksi kata sebanyak mungkin. Siapa yang paling banyak memiliki dan menggunakan kata berkemungkinan menjadi yang serba “paling” (paling cerdas, paling representatif), paling bijak, paling dapat diandalkan, paling legitimed paling sah, paling terhormat, dsb.). Orang Minang paling gemar berkata-kata.

Kegemaran berkata-kata melengkapi dua sisi kata yang tidak bisa dihindarkan. Pertama aspek logis kata sebagai penanda objektif. Hal ini menyebabkan perlakuan terhadap kata dan bahasa sangat ketat dan kategoris karena mengandaikan sesuatu yang ikonik. Kedua, aspek retorika kata dan bahasa sebagai konsekuensi natural dalam dunia penandaan. Begitu pula sebagai kesenangan permainan yang asasi dalam diri manusia Minang. Dalam penanda objektif, berbagai aspek prosedural kata dan bahasa dapat dibangun dalam iklim yang sehat. Justifikasi objektifitas berada dalam ketegangan dinamis kompetitif sesama warga bahasa. Sedang pada retorika kata dalam khasanah Minang lebih bermakna sebagai suatu jalinan; persentuhan antar berbagai model penandaan. Sifatnya seakan-akan interkoneksi dan elastis terhadap konteks yang mendasarinya. Objek konkret yang ditandakan tidak terlalu penting keberadaannya karena di mana serta bagaimana keberadaan itu, ditentukan oleh rajutan bahasa yang ada (retoris). Ketika inilah berbagai konsep abstrak bertumbuhan secara meriah di berbagai tempat di Minangkabau. Berbagai konsep tersebut tidak hadap hal-hal yang kemudian secara konvensional dikenal sebagai tambo atau mewujud menjadi dasar hukum adat, tetapi juga praktek-praktek tubuh individual (Silek -silat- beserta filosofinya, di Minangkabau pertumbuhan aliran silek tidak terbendung, sehingga terdapat bayak sekali aliran silek, terbanyak di Nusantara).

Ilustrasi pada Gurindam Surau Tuo

Rata-rata orang Minang cukup memahami dan dapat mencermati secara baik berbagai konteks penandaan yang berdasar pada kata. Kata berarti logika dan retorika. Dalam logika terdapat otentisitas,  dalam retorika terdapat kreativitas,  paduan dari dua aspek ini menjadi akar dari kegairahan pertumbuhan dunia intelektual di Minangkabau. Kebutuhan intelektual yang telah dirasakan oleh Parpatiah nan Sabatang dan terus berlanjut menjadi kebutuhan seluruh keturunan Minangkabau hingga hari ini.

Namun kosmologi kata saat ini telah berubah seiring kemunculan dunia global. Ia (kata) tidak lagi mampu menjelaskan ataupun mempermainkan realitas, tetapi juru dipermainkan realitas. Sehingga begitu juga yang berpegang pada kata akan menjadi objek permainan serta kehilangan keasikan terhadap dirinya sendiri yang sedang ter/dipermainkan. Subjek tradisional berubah objek dalam dunia yang berubah ini. Sebagian dari mereka yang telah menjadi objek mencoba membangun kembali dunia tradisinya dalam berbagai cara dan polarisasi keadaan agar dapat menjadi subjek kembali dalam dunia preferensi yang dipahaminya. Misalnya munculnya berbagai perkumpulan kepaguyuban seperti Baringin Tuo/Mudo, IMAMI, Formisi, Forkommi, Surau Tuo, dll (red. nama-nama organisasi masyarakat/mahasiswa Minang di Yogyakarta). Gelombang kemunculan berbagai kepaguyuban itu telah bermula sejak sekitar tahun 195Gan. Rantau yang seharusnya sebagai tanah “mencari” malah dijadikan sebagai duplikat alam agar mendapatkan kembali tanah “bermain subjek”. Semenjak itulah formasi formasi perantau perantau Minang tidak lagi mampu melahirkan tokoh besar seperti sebelumnya. Karena dunia “bermain” yang tercipta sudah kehilangan konteks situasi, isi, dan makna permainan yang orisinal dan progres. “Bermain” menjadi benar bermain-main saja. Dalam permainan yang  prseudo itu, tidak ada lagi keasikan,  yang ada hanya diasik-asikkan, hanyut, kemabukan atau tidak sadarkan diri.

Psikologi subjek yang berubah menjadi objek menumbuhkan mentalitas minder, kolot, kolokan dan kampungan. Semestinya transisi bisa berarti penyesuaian, peleburan, adopsi, redefenisi, reposisi, dsb. Namun karena diri sudah tidak memiliki bangunan preferen yang utuh, transisi justru membingungkan. Ketimpangan terjadi, kata menimbulkan persoalan rujukan yang tak lagi akurat, terombang-ambing dalam medan kompetisi kuasa yang semakin kompleks. Kata tak lagi berkuasa. Orang-orang yang selama ini bergantung pada kuasa kata mengalami post power sindron, ilusi mengigau-igau pada jam kerja di siang bolong: menyebut-nyebut banyak hal yang terakumulasi dalam istilah “mambangkik  batang tarandam”.

Zaman global saat ini menjanjikan apa-apa. Hanya manusia banyak berharap juga padanya. Dalam kebudayaan Minang post power sindron itu, modernisme menjadi momen berarti bagi pertumbuhan formalisme beserta feodalisme baru. Sang “Tuan “Minang” merasa mendapatkan kesempatan lagi untuk meraih justifikasi kuasa dengan adanya bantuan justifikatif dari luar dirinya. Sedangkan justifikasi tersebut bergerak dalam kerangka nalar dan moral yang membedakan antara “betul” dan “benar”: ada yang bersifat “mungkin” seperti pengetahuan harian atau pengalaman (ke“betul”an) dan ada kara yang bersifat mesti” seperti ilmu pengetahuan, agama, negara (ke”benar”an) dll. Praktek bahasa menjadi hierarkis. Selanjutnya dalam praktek penandaan secara umum berkembang feodalisme baru ketika keterbelahan bahasa malah menjadi celah stratifikasi tanda beserta penandanya, untuk melanjutkan hasrat kuasa. Pola strereotyping berkembang dalam bahasa yang menyingkirkan pola analitika.

Selanjutnya dalam budaya feodalisme Minangkabau ini, mekanisme kuasa juga dengan mensublimasi kewajaran menjadi mistis. Berbagai hal diintrodusir menjadi mitis agar status quo dapat berlanjut. Termasuk narasi Malinkundang menjadi mitis justru setelah alam modern merambah Minangkabau. Sebelumnya Malinkundang adalah narasi sejarah dalam mengungkapkan sisi-sisi radikal kemanusiaan dan tidak penting apakah benar-benar terjadi atau tidak sebagai sejarah, ia hanyalah cermin.  Begitulah orang Minang memahami sejarah. Dalam anulir sebagai ilusi dan paradigma mitis yang menghilangkan esensi dari bahasa, mitos-mitos tersebut terus berkembang di alam  modem Minangkabau sebagai mitos sekolah tinggi, mitos rantau, mitos uang, mitos pangkat tinggi, mitos jabatan, mitos urang kayo, mitos curang pulang pakai mobil pribadi, mitos dialektika, mitos asal usul, mitos sepuh adat, basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, mitos luhak nan tigo, mitos dam dan rantau, dsb. Apa yang sebelumnya hanyalah satu konsekuensi logis dari dialektika kata kini menjadi prestise, cara menunjukkan diri dalam aras pergaulan dan kuasa sosial.

Feodalisme menjadi berkembang masif seiring kebangkrutan kata di Minangkabau. Mistifikasi dalam nalar dan nilai ditanamkan agar kata tetap memiliki gengsi dan wibawa. Keterjebakan ini dapat dikatakan sebagai kegagalan kata untuk membangun pendasaran baru kepada model yang lebih ikonik dan simbolis yang memiliki daya tampung dan daya jelajah jauh lebih luas (interteks) dan elastis (interpretatif).

Realitas kata yang sebelumnya dinamis berubah segmentatif: ada yang sakral, eksklusif, elitis, terpelajar, ada pula yang harian, kantau, balai. Seakan-akan kara bertingkat seperti dalam kebudayaan Jawa. Di Jawa, tingkatan tersebut diterapkan untuk menjaga tatanan feodal yang ada dengan keberadaan seorang Raja sebagai representasi ultimatum tertinggi. Feodalisme baru di Minang sedikit lebih samar karena tidak membutuhkan kehadiran representatif seorang Raja sebagai ultimatum tertinggi justru karena lebih samar, endapan feodalisme Minangkabau menjadi lebih sulit untuk dibongkar.

Raja di Minang hanya bersifat simbolis-konvensional yang tidak berpengaruh  apa-apa terhadap legitimasi berbagai narasi yang ada dalam masyarakat yang dalam perkembangannya, tumbuh raja raja baru yang juga simbolis namun non konvensional tetapi memiliki pengaruh ekonomi-sosial-kultural yang jauh lebih jelas ketimbang raja konvensional. Jika kita menelisik khasanah sastra orang-orang Minang pada era Pujangga Baru dan  sekitarnya kita akan melihat  cukup jelas polarisasi_ feodalisme beserta raja-raja barunya di Minangkabau.

Kedatangan Islam Padri di Minangkabau merupakan momentum penting dari semua ini, yang menyingkirkan secara paksa berbagai aspek alamiah-(dunia ke”betul”an) yang tumbuh di masyarakat. Pemaksaan tersebut melenyapkan gelanggang alami pertumbuhan kata menjadi bentuk yang semakin adaptif dalam menyikapi pergerakan zaman.  Walaupun Islam tidak menyingkirkan dasar-dasar yang menjamin pertumbuhan kata tersebut “(Tambo Alam Minangkabau, dsb) tetapi dalam prakteknya Islam memberikan rekanan. Secara gerakan, Islam membangun aliansi di berbagai daerah utama Minangkabau (Padang Panjang, Parabek, Ampek Angkeh Padang Japang, dll). Aliansi tersebut merupakan benih dari kelahiran dua sekolah Islam yang paling berpengaruh dalam pergerakan modernisasi di Minangkabau dan Indonesia, yaitu Perguruan Thawalib Padang Panjang dan Sumatera Thawalib Bukittinggi. Aliansi ini menjadi wadah mekanisme ideologi dalam melakukan penetrasi pemahaman keagamaan yang mengarah pada pengukuhan lebih lanjut peran agama sebagai satu-satunya penafsir realitas yang paling layak. Dalam kedua sekolah ini, kebutuhan mendesak yang dirasakan adalah bagaimana menciptakan  negara merdeka. Sampai di sini, perdebatan antara adat dan agama terkatung-katung, digantikan oleh perhatian untuk kemerdekaan negara Indonesia. Modernisasi menjadi sangat permukaan dan praksis belaka, tidak berhasil menyentuh ranah kedalaman kata di Minangkabau.

Islam Padri membawa pandangan pembaruan dan modernitas dalam konstelasi yang sangat artifisial, kemajuan secara pragmatis. Kegemaran berkata-kata dalam masyarakat Minang dianggap sebagai buang-buang energi, mubazir. Begitu pula sikap pragmatis itu dibarengi berkembangnya hegemoni fiqh yang sangar artifisial pula. Setelah adanya sekolah modern Islam di beberapa daerah Minangkabau, sekolah-sekolah tersebut membentuk forum bersama yang kerap hanya membicarakan urusan fiqh. Termasuk bagaimana fiqh bisa membentuk negara merdeka. Namun forum tersebut susah sekali untuk dapat berkembang ke pembicaraan mengenai hal budaya sebagai wadah pertumbuhan dinamis, kreatif, dan informal. Nalar dan nilai membentuk kosmologinya secara instan melalui doktrin agama yang kental dengan urusan keseharian (pragmatis). Segala sesuatu yang abstrak menjadi terlalu cepat mentah. Sehingga proses sublimasi kata yang baru agar dapat mengendap tumbuh menjadi diri yang baru tidak terjadi, sementara kata yang lama sudah terlanjur dinegatifkan. Hukum adat diislamkan dengan meneruskan kampanye “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Setiap orang Minang mesti Islam, jika tidak, berarti keluar dari Minang. Hal yang terakhir ini merupakan penetrasi paling, substantif dari formalisme Islam Paderi di Minangkabau. Suatu tujuan ideologis dalam kerangka agama yang mensabotase pemaknaan kata dan bahasa dalam makna tunggal.

Baca Juga: Ranah Pertalian Adat-dan Syarak di Minangkabau

Biografi Kata di Sekitar Saya- Biografis

Keterbelahan kata menyebabkan dua aspek dalam kata menjadi samar untuk ditegaskan. Dunia yang serba samar menghasilkan keragu-raguan menentukan sikap serta pilihan. Kelemahan ini menjadi titik hipokrisi sikap budaya bagi kebanyakan orang Minang. Hipokrisi yang semakin mengendap di kedalaman hati dan pengandaian kepala pada akhirnya akan melahirkan pandangan yang tidak cukup hanya pragmatis tetapi harus oportunis agar sikap dapat segera ditentukan dalam konstelasi yang paling aman dari risiko. HaI demikian sudah menjadi psikologi hipokrit yang lahir dari keragu-raguan, kecemasan, ketakutan tersingkir, dan juga terlalu loba menggenggam dunia. “Gelanggang” yang dulu diasumsikan tanpa bias kini menjadi tidak netral lagi. Sebelum masuk gelang gang berbagai kategori sudah bersebaran bermain-main di sana-sini menghegemoni persepsi (jadi membaco bayang). Basilek lidah dekaden menjadi area apologi dan retorik kata tanpa ketinggian budi. Silek dulu mengandaikan suatu sikap dan pandangan moral filosofis, kini bisa saja berarti keterampilan tanpa harus ada kearifan.

Perlambangan kebudayaan macet karena tatanan kata disusupi paradigma yang memecah belah kesadaran, kreativitas dikoptasi. Kreativitas sebelumnya berasal dan hidup dalam dunia ke”betul”an yang informal. Kemudian kreativitas berada dalam jajaran kategoris: “apa yang berguna praktis”. Yang dibudayakan hanyalah yang berguna, yang disiplin, yang formal, ke”benar”an. Korban paling besar yang harus tersingkir adalah segala hal yang hidup dengan modalitas ke”betul”an. Misalnya terdesaknya posisi permainan anak nagari (kesenian tradisi) dalam semua ruang sosial di Minangkabau menjadi hal yang tidak lebih penting ketimbang buang kentut belaka (padahal untuk kentut saja kita masih saja menghitung harga diri, keterlaluan!).

Arus global kini tidak sebatas memiliki konsekuensi yang diskursif dan formal saja, tetapi juga membawa segenap akibat bagi cara merasa di dalam hati. Sedangkan kata tidak akan tumbuh menjadi diri sendiri hanya dengan kejelasan defenisi dan kategori, ia perlu pula untuk dijelaskan, dirasakan dan dihayati keindahannya dialami, sebagai hal yang ikon. Namun, bagaimana bisa mengakses keindahan jika selalu menutup pintu keluasan cakrawala hidup (ideologis) dan mengkategorisasikan (memanipulasi) pengalaman dengan berbagai cara secara pragmatis belaka.

Segala keindahan adalah pengalaman dan pengalaman mestinya biografis.  Sungguh keadaan ini merupakan akhir dari biografis keindahan kata di Minangkabau. Awal dari segala keindahan Minangkabau adalah ketika Datuak Katumangguangan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang saling memperdebatkan segenap dunia pengalaman masing-masing (biografis) yang mewujud menjadi Minangkabau itu.

Juga dunia global telah melenyapkan dialektika alam dan rantau. Garis batas antara keduanya menjadi rancu untuk dijelaskan. Di alam tumbuh rantau bahkan rantau mendatangi kita di kamar tidur melalui televisi (Afrizal). Di area yang sebelumnya dipahami sebagai rantau, alam malah merepro dirinya dalam berbagai struktur yang baru.

Sedangkan otentisitas identitas saat ini lebih sebagai konotasi yang terbangun di benak orang lain ketimbang denotasi yang dikoar-koarkan oleh diri sendiri. Dan sebagai konotasi, tidak ada lagi yang substantif disitu kecuali sebagai metode apresiasi (gelanggang baru) terhadap kesaling-bebasan berideologi bagi setiap pihak. Dalam “konotasi”, yang lebih ditonjolkan adalah cara, metode, teknik; bentuk bahasa, bukan formalitas subjek-objek bahasa.

Begitulah mitos dalam dunia kini merupakan cara mengungkapkan diri secara apresiatif dalam keanekaragaman ideologi yang saling berkompetisi berebut ruang realitas. Dalam Minangkabau, mitos bermunculan justru setelah persinggungannya dengan modernitas. Mitos tersebut berkembang dengan kenyataan yang sama di tempat asalnya modernitas; mengalienasi manusia dari dirinya sendiri. Adat yang dulu merupakan pengejawantahan alamiah dari kata dan merupakan konsekuensi alamiah dari sinergisitas kehidupan, kini malah menjadi formal dan ideologis. Orang Minang gagap memahami dirinya sendiri, antara sesuatu yang formal dan sesuatu yang sudah nyata dialami dan bertumbuh di dalam diri sendiri.

Satu kesempatan berdiskusi dengan Afrizal, ia lebih suka menyebut dirinya Alien: lahir di tengah-tengah kehidupan urban kosmopolit di Jakarta, yang akhirnya kehilangan jalan pulung ke rumah, tumbuh besar dalam suasana yang global, baginya menjadi tidak menarik lagi membicarakan identitas yang dalam pengandaian saya menyebabkan ketertutupan dan manipulasi terhadap bayak hal. Baginya identitas (i kecil) lebih sebagai biografi yang dialami saja, seperti ingatannya tentang suara dendang  yang dilagukan ayahnya ketika ia masih kecil di sebuah dapur rumah makan miliknya. Dan ia menanyakan pada saya mengapa saya dipanggil saluang, sebuah kata yang identik. Sembari berefleksi dengan keadaan alam dan diri, saya pahami juga, bahwa kata itu tak menjelaskan apa-apa kecuali sebagai satu hal yang sangat dekat secara biografis pula dalam keseharian saya.

Akhirnya kembali mengutip penjelasan Afrizal Malna pada akhir tulisannya, setelah menguraikan lebih jauh, Afrizal menyebut bahwa dalam karya  sastra orang-orang Minang tersebut secara sangat tendensius diperlihatkan kondisi Minangkabau sebagai realitas yang sedang berubah. Perubahan tersebut teridentifikasi sebagai berikut:

1. Minangkabau adalah sebuah perubahan yang disembunyikan.
2. Telah tumbuh ranah rantau sebagai perubahan asing, dalam dunia Minang itu sendiri.
3.Minangkabau dengan tradisi rantau adalah kereta panjang yang setiap orang yang masuk ke dalam kereta ini akan lenyap.
4.Minangkabau adalah personifikasi kemerdekaan yang sedang membusuk dalam moralitas yang terbelah.
5.Orang Minang lebih sibuk mempercanggih diri dari pada menyelesaikan masalah.

Terakhir menyinggung semangat Gurindam ini, yang merasa mewakili visi dari transformasi budaya Minang saat ini, di samping banyak lagi yang lainnya, yang berkehendak untuk melaksanakan kata-kata akhirnya tidak terlalu penting lagi bagi saya karena tidak mungkin melaksanakan kata-kata jika kata itu tidak tumbuh menjadi diri sendiri. Dengan pendekatan yang lebih biografis, kita dapat lebih terang membaca alam, begitu pula, kita melihat lebih jelas berbagai upaya  yang kita lakukan dalam pergulatan identitas dan kuasa: keindahan, ketulusan, kemerdekaan, serta keterjebakan, kepicikan dan kemunafikan masing-masing.

Gurindam Surau Tuo edisi 2007

Bahan Pertimbangan

Afrizal Malna, “Konstruksi Negatif yang Terus Dijalankan Orang-orang Minang dalam Sastra Indonesia”, Jurnal Selarong Yogyakarta, Vol. 5 – Oktober. 2005

Edwar Djamaris, 2002. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Faruk. HT.1999. Hilangnya Pesona Dunia: Siti Nurbaya, Budaya Minang, Struktur Sosial Kolonial. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia

Francisco Budi Hardiman. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius

Karl Marx. 2004. Kemiskinan Filsafat. Jakarta: Hasta Mitra

“Kuasa Di Negeri Kata-Kata”. Jurnal Kebudayaan Gurindam Surau Tuo, No. IV, Thn. 2004

Martin Heiddeger. 1975. Poetry, Language, Thougth. Toronto: Harper Colopen Book

M. Amien Rais (Ed.). 1984. Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembanguan di Dunia Ketiga. Yogyakarta: PLP2M

N.G. Chernyshevky. 2005. Hubungan Estetik Seni dengan Realitas. Bandung: Ultimus

Umberto Eco. 1979. A Theory of Semiotics. Blongminton: Indiana University Press

Wisran Hadi. 2003. Novel Negeri Perempuan. Jakarta: Pustaka Firdaus

* Tulisan ini pernah dimuait dalam Jurnal Kebudayaan Gurindam Surau Tuo, Yogyakarta 2007 dan dimuat web ini untuk pendidikan

Awong Surya Saluang
Dulu Pekerja seni pada Komunitas Rumah Arus Jogjakarta dan Urang Sakaum Surau Tuo