Bila kau bertemu dengannya beberapa kali, kau mungkin tak akan begitu mengingatnya, karena penampilannya akan berbicara banyak padamu dan mengaminkan penilaian itu. Ia berperawakan sedang. Wajahnya biasa-biasa saja. Kelewat biasa, malah. Tidak ada yang istimewa. Ia tidak tampan, tapi tidak terhitung jelek juga. Mulutnya sedikit lebar dan selalu membayangkan senyum. Bermata coklat yang tak menarik, tapi pandangannya sangat bersahabat.
Pondoknya hanya sebuah ruangan panjang yang disekat dengan pelupuh yang dilapisi kertas semen agar rapat dan kelihatan agak sedikit rapi. Otomatis tercipta dua ruangan, sebuah ruangan tamu berukuran tiga kali tiga meter dan kamar tidur.
Kenapa kukatakan ruangan tamu, karena ia memang banyak kedatangan tamu, hampir tiap malam, dari berbagai kalangan usia dan pekerjaan. Kau heran kenapa ia banyak tamu? Oo, tidak perlu heran. Ia bukan dukun lho. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba pondoknya telah menjadi semacam ‘rumah singgah’ untuk para bujang yang telat beristri, atau suami yang sedikit cekcok dengan istrinya dan pergi sambil membanting pintu. Sudah dapat diduga si suami pasti bertandang ke ‘rumah singgah’ itu untuk sekedar main catur atau ngobrol ngalor-ngidul untuk melepaskan ketegangan pertengkaran tadi.
Anak-anak yang berangkat remaja pun rajin berkunjung. Mereka nyaman di pondok itu, karena tidak satu kalipun mereka dimarahi oleh empunya rumah karena agak lesek mengutak-atik barang-barangnya. Kalau kau seorang penjahat atau sampah masyarakat, di sana itu kau akan menemukan kehangatan, kepercayaan dan kesantunan sebuah keluarga.
Kalau kau bertanya, apakah ia sendirian? Ya. Ia memang sendirian alias sebatang kara, karena aku pun terhitung adik sepupu jauhnya. Di usia empat tahun ia sudah ditinggal mati ibunya. Tidak lama setelah itu ayahnya menyusul pergi, tapi bukan ke liang kubur sebagaimana ibunya, melainkan ke pelukan perempuan lain. dua puluh delapan tahun hingga hari ini, ia tak pernah lagi bertemu dengan lelaki yang seharusnya ia panggil ‘bapak’ itu. Setelah ibunya meninggal dan ayahnya minggat, ia tinggal dengan kakek dan neneknya. Sepuluh tahun berselang kakeknya berpulang. Ibunya tidak punya sanak, selain almarhumah ibuku yang menjadi sepupu jauhnya.
Jika satu kali kau mampir ke kampungku, anak kecil yang belum becus buang ingus pun bisa menunjukkan di mana pondoknya. Memang, kampungku kecil saja, hanya didiami beberapa belas kepala keluarga. Sensus tahun lalu mencatat, terdapat sembilan belas kepala keluarga di kampungku.
Eh, ngomong-ngomong aku belum memperkenalkan namanya. Namanya Zainal Arifin. Sebenarnya namanya Zainal saja, tapi aku lebih suka membualkan kepada orang yang pernah menanyakan nama lengkapnya dengan memberi tambahan ‘Arifin’ segala. Tambahan ‘Arifin’ itu sebetulnya tak berlebihan. Agak berbau-bau agama, memang, karena ia dulunya pernah bersekolah di pesantren, walaupun tidak sampai tamat. Bagiku, ia orang yang sangat istimewadan arif. Sesuai dengan tambahan nama yang kubualkan itu.
Saat orang-orang berebut minta dimasukkan sebagai peserta Jamkesmas dan data base KK miskin, ia cuek saja dan tidak ikut-ikutan. Saat orang-orang demo ke kantor Walinagari karena tidak mendapat bantuan kompensasi BBM, ia hanya senyum dan maklum. Saat orang-orang berebut daging kurban dan panitia lupa membagikan daging ke rumahnya, ia malah pergi mancing belut. Ketika kutanya, “buat lauk nanti malam,” jawabnya kalem dan sekenanya. Saat pengurus mesjid membagi-bagikan zakat fitrah, ada yang menyarankan agar ia datang ke mesjid untuk menjemput zakat, “biarlah untuk para tetangga yang lebih membutuhkan dan punya banyak tanggungan,” ujarnya santai.
Apakah karena ia kaya? Hoho, tidak! Ia miskin, teramat miskin, malah. Karena miskin yang kumaksud di sini adalah sering kekurangan uang karena kerap ia pinjamkan atau berikan pada yang butuh. Ia sering kekurangan beras karena tak punya sawah. Kalaupun ada yang memberi upah beras, sering ia pinjamkan ke tetangga. Pokoknya ia miskin dari segi ini. Pakaian pun hanya beberapa stel yang ia miliki. Ketika sekali waktu, Ilma, istriku, membelikannya baju baru, lama sekali, bahkan sampai berbulan-bulan kemudian baru dipakainya.
“Tak biasa memakai baju baru, jadi agak kikuk” katanya enteng.
***
Di dunia ini, penyebab kemiskinan hanya dua saja. Yang pertama karena pemalas, yang kedua karena pemurah. Apakah ia pemalas? Kau keliru kalau menganggap begitu. Ia sangat rajin. Tidak berpantang melakukan pekerjaan apa saja, diganjar pamrih atau tidak. Di kampungku orang-orang sering minta bantuan untuk membantu mereka di sawah atau di ladang, dan untuk itu ia sering diberi upah ala kadarnya untuk sekedar beli rokok, sabun mandi, dan minyak tanah. Dan banyak pula yang hanya menghadiahinya ucapan terima kasih.
Pekerjaan tanpa pamrih pun tak kalah banyaknya ia kerjakan. Menyiangi rumput-rumput liar di pekarangan mesjid, membetulkan saluran air bersih warga yang rusak ataupun tersumbat semenjak dari sumbernya nun di gunung sana tanpa dimintai tolong siapapun. Kalau ada yang meninggal, ia pertama kali datang membawa cangkul untuk menggali kubur. Kalau ia lewat di lampok orang mairiak, ia pantang untuk lewat saja tanpa ikut membantu mairiak agak seonggok-dua sebagai basa-basi tanda kesopanan.
Di lain kesempatan, Ia juga tidak segan-segan membantu membetulkan tangga Nek Anjuang tanpa dimintai tolong, ketika suatu hari ia mendapati perempuan tua yang tinggal sendirian itu sakit karena terjatuh dari tangga rumahnya yang sudah lapuk.
Ia tidak memiliki ladang atau kebun, selain pekarangan pondoknya yang sempit yang ia tanami bermacam-macam sayuran. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia bekerja sebagai buruh tani. Orang-orang suka mempekerjakannya di sawah atau ladang mereka, di samping ia pekerja yang cekatan, tidak banyak cincong, juga (ini yang paling masuk akal) ia tidak pernah menargetkan upah yang harus ia terima. Ia bahkan sering mengembalikan sejumlah kelebihan upah yang ia terima, kalau misalnya ia merasa tidak pantas menerima upah sebanyak yang diberikan, karena keterlambatanya datang agak lima belas atau dua puluh menit dari waktu seharusnya ia masuk kerja. Ia betul-betul jujur, bukan? Siapa pekerja yang sejujur itu di zaman semrawut ini? Kalau kau menganggapnya aneh, ia memang sedikit agak aneh.
Ia hanya tersenyum ketika suatu kali kutanyakan,
“Uda ada uang?”, ia masih tersenyum.
“Kebetulan bulan ini aku menerima insentif guru honor agak banyak. Tadi siang kuambil ke bank. Ini, separuhnya untuk uda”, ujarku sambil mengangsurkan amplop ke dekat lututnya.
Sambil mengubah duduknya dari bersimpuh ke bersila karena pegal, ia berkata ringan sambil mengangsurkan amplop itu kembali ke dekatku, masih saja sambil tersenyum.
”Dang simpan saja. Dang lebih membutuhkan dari saya. Lagi pula Ilma kan sedang hamil”.
Setelah bolak-balik beberapa kali dari dekatnya ke dekatku, dengan kesal, akhirnya amplop berisi separuh uang intsentif itu kukantongi lagi. Tanpa merasa berdosa dan terbebani dengan kejengkelanku, ia masih menyempatkan berkelakar.
“kalau untuk membeli rokok agak sebungkus-dua, kuterima pemberian Adang, tapi kalau sebanyak itu, bingung saya mau dipakai buat apa, hehehe” kekehnya tidak lucu!
Selang beberapa hari kemudian aku mampir ke kedai Uwo Sabu untuk beli rokok. Setelah basa-basi sejenak, ia titip pesan buat Dang Zainal untuk bekerja padanya lagi besok.
“Tadi pagi ia datang ke sini. gajinya bebarapa hari ini belum sempat kuberikan. Sewaktu kuberikan upahnya, ia minta ditukar dengan beras saja”, kata Uwo Sabu.
“Kok ia minta ditukar dengan beras, Uwo?” tanyaku sedikit heran. Tidak biasanya begitu.
“beberapa hari yang lalu ia kehabisan beras. Karena belum gajian, ia meminjam beberapa liter ke Nenek umi. Katanya, di samping ia tidak punya beras, juga untuk membayar beras Nenek Umi”, sahut Uwo Sabu. Mukaku terasa panas dan pedas!
***
Penyebab kemiskinan yang kedua di dunia ini adalah karena pemurah! Pemurah itu pangkal sengsara! Kau percaya? Tentu tidak. Tapi aku punya bukti yang kuat untukmu:
Beberapa hari ini ia tidak kelihatan. Pondoknya tertutup saja. Beberapa bujang yang bertandang ke pondoknya, kupergok balik kanan sambil mendesah kecewa.
“Adang ke mana, Da?”, tanya salah seorang bujang yang baru beranjak remaja yang datang bersama beberapa temannya senja itu.
Oh ya, aku hampir lupa memperkenalkan. Da Zainal sering dipanggil para bujang itu dengan panggilan akrab ‘Adang’, atau ‘Dang’ saja. Ibuku dulu mengajarkan untuk memanggilnya ‘Da Adang’, singkatan dari ‘Uda Gadang’ atau ‘Uda Besar’, uda yang paling tua. Untuk menyingkat panggilan, ia kupanggil ‘uda’, atau ‘Dang’ saja. Anehnya, iapun latah memanggil ‘Dang’ pula padaku.
Orang-orang dewasa di kampungku memberikan gelar Kayo untuknya, walaupun ia belum beristri. Memang biasanya, kecil bernama, besar bergelar. Besar di sini tentunya ketika telah memakai adat, telah beristri. Entah bagaimana ceritanya, kapan dan dari mana asal-usul gelar Kayo itu, aku juga tidak tahu. Tapi aku lebih suka membayangkan begini: ia dipanggil Kayo, karena Kayo berarti kaya, banyak harta. Memang, menurutku ia kaya, sangat kaya. Lebih kaya dari siapapun yang pernah kukenal.
Kau pasti heran lagi! Bukankah sebelumnya kukatakan ‘Penyebab kemiskinan yang kedua di dunia ini adalah karena pemurah!’. Semoga kau tidak heran kalau aku memberi sedikit penjelasan berbeda. Apa tidak kaya namanya kalau sering memberi dan berbuat banyak untuk orang lain? Kalau kau tidak punya, apa yang bisa kau berikan, coba!? Orang tak punya itu istilahnya miskin. Kalau ia sering memberi, ia kaya apa tidak? Naah, ia kaya, Bukan!?
“Aku juga tidak tahu, Nal. Kukira sudah empat hari ini Adang tak pulang, barangkali ia bekerja di tempat yang agak jauh, mungkin karena repot bolak-balik, Adang menginap di tempatnya bekerja”“Adang kira-kira kerja di mana ya?”
Setelah basa-basi sejenak, aku dan para bujang itu berpisah.
Malam turun dengan sempurna. Beberapa saat setelah para bujang itu berlalu, tiba-tiba dari arah tikungan yang gelap, samar kulihat sesosok tubuh berjalan tertatih pincang dibantu tongkat. Setelah sosok itu mendekat, aku terkesiap!
“Daang! Adang kenapa!?”
Tersamarkan kegelepan, kulihat seberkas senyumnya: cerah dan sumringah! Hanya Adang satu-satunya pemilik senyum tanpa beban seperti itu!
“Tenang, Dang, tenang. Saya punya penjelasan. Bagaimana kalau di rumah Dang saja saya jelaskan, sambil sekalian minta kopi. Rasanya sudah lama saya tidak dibuatkan kopi oleh Ilma” jawabnya masih senyum dan setengah berkelakar. Alamak!
Sosoknya kuteliti dengan seksama. Cahaya redup lampu teras rumah Sati, tetanggaku, masih bisa membantuku mengawasinya dengan cukup jelas. Baju dan celana yang dikenakannya masih itu-itu juga. Bedanya, sekarang sudah dekil dan bau keringat. Wajahnya kuyu dan kelelahan. Tapi senyumnya, tetap sesumringah seperti biasa! Ia berdiri sedikit jinjit. Agak doyong ke kiri, bertelekan sebatang ranting yang ia jadikan tongkat. Rupanya pergelangan kakinya terkilir. Samar kulihat pergelangan dan punggung kakinya agak membengkak. Setelah mendesah beberapa saat, dengan berbagai macam perasaan berkecamuk, sigap kupapah ia menuju rumahku yang hanya berjarak beberapa rumah dari ‘rumah singgah’nya.Ilma kaget sekaget-kegetnya melihatku pulang memapah Adang. Sebelum Adang sempat menyapa, Ilma sudah menyerbu Adang dengan banyak pertanyaan.
“Kenapa Uda!? Kok dipapah? kemana saja selama beberapa hari ini?”.
Kalau tidak buru-buru kusuruh menyiapkan kopi dan makan malam, ia mungkin akan terus berkaok-kaok. Setelah meletakkan tongkatnya dan menghempaskan pantat di kursi tamu, sambil mencoba bersandar enak, Adang memulai ceritanya:
“Seminggu yang lalu saya saya dibawa bekerja oleh Ni Ema untuk memuat dan membongkar barang-barang dari rukonya yang lama ke ruko yang baru di pasar. Dang kenal Ni Ema itu, bukan?”. Aku mengangguk.
Rupanya, selama seminggu ini Adang bekerja pada Uni pedagang grosir terbesar itu. Hari sudah beranjak sore ketika Adang memilkul barang terakhir untuk menaikkannya ke mobil pick up milik perempuan itu yang diparkir di seberang jalan. Tiba-tiba dari arah belakang, sebuah sepeda motor yang dikendarai seorang tukang ojek melaju kencang. Pengendara sepeda motor itu kaget sekaget-kagetnya. Sambil berteriak tertahan ia membelokkan sepeda motornya, tapi setang motor masih sempat menyerempet adang. ia terhumbalang. Barang yang dibawanya terpental. Tukang ojek itu terlempar ke tepi jalan dalam keadaan babak belur. Orang-orang berkerumun. Si tukang ojek mengaduh-aduh dengan wajah berlumuran darah. Orang-orang berceloteh ramai. Banyak yang mengomeli dan menyalahkan tukang ojek malang itu.
Beberapa orang menghardik-hardik si tukang ojek yang merintih-rintih kesakitan, sementara yang lain ramai-ramai menolong Adang. Tanpa menghiraukan kakinya yang berdenyut sakit, Adang malah berjalan-terpincang ke tempat tukang ojek itu jatuh. Buru-buru ia memapahnya bangun, sambil berkali-kali minta maaf dengan wajah teramat menyesal dan merasa bersalah. Orang-orang melongo. Rupanya Adang bertingkah aneh lagi. Sudah jelas-jelas ia yang ditabrak dari belakang. Ia malah merasa bersalah dan minta maaf.
“Akhirnya Uda tukang ojek itu saya antarkan berobat ke puskesmas. Saya lebih menyesal lagi setelah mengetahui bahwa Uda itu terburu-buru karena mau menjemput dukun beranak. Istrinya mau melahirkan. Saya ikut ke rumahnya. Rumahnya mengenaskan. Anaknya banyak, masih kecil-kecil. Saya tambah merasa bersalah. Saya bergegas menemui Ni Ema dan meminta seluruh gaji saya selama seminggu ini, lalu semuanya saya berikan kepada Uda itu”, celotehnya.
Aku betul-betul sesak nafas. Mau senyum susah, mau menangis tak bisa. Malam terus merangkak. Ilma datang menghidangkan kopi dan makan malam.
“Ada apa, Da? Kenapa uda tegang dan shock begitu?” Aku diam dan masih tetap diam mengawasi Adang yang duduk canggung sambil meringis kikuk karena kuawasi terus sambil mengurut-urut kakinya yang semakin membengkak.[]
Leave a Review