scentivaid mycapturer

Ke Malalo ke Negeri Para Malin Ternama di Minangkabau

Ke Malalo ke Negeri Para Malin Ternama di Minangkabau
Ilustrasi/Dok. Penulis

Siapa tidak kenal dengan al-‘Arif billah Syekh Zakaria Labai Sati Malalo (w. 1961). Asalkan ia anaksiak (kaum santri) tentu akan mengenal sosok yang satu ini berikut dengan kisah-kisah kealiman yang terekam dalam memori abadi buya-buya di Tanah Minangkabau ini. Pertama kali yang tersohor dari sosok Syekh Zakaria Labai Sati ialah Fiqih, Ushul Fiqih dan Mantiq, dua tonggak ilmu di madrasah-madrasah/surau itu. Dalam dua ilmu ini beliau dapat dikatakan sebagai “master” untuk zamannya, dan kecakapan beliau dalam bidang ini sudah mutawatir riwayatnya di kalangan ulama-ulama kita. Dua kitab ‘umdah dalam fan ini dikuasai secara matang, yaitu (1) Kanzurraghibin karya Imam Mahalli, salah satu komentar terbaik terhadap Minhajutthalibin-nya Nashirussunnah Imam Nawawi, dan (2) Syarah Jam’ul Jawami’ karya Imam Subki, kitab fikih pelik dan mu’tabar lagi mu’tamad di kalangan fuqaha dan ushuli. Dua kitab ini dikuasai penuh berikut dengan hasyiyahnya. Kalau tuhfaturraghibin fi-hasyiyahi oleh Syekh Qaliyubi dan Syekh Umairah. Bila Jam’ul Jawami’ dihasyiyahi oleh al-‘Allamah al-Banani. Sedangkan pada Mantiq, beliau betul-betul dapat menerapkan ilmu Mantiq dalam berargumen, seolah-olah “ruh” kitab Sullam al-Akhdhari menyatu dalam hujjah ketika berdalil dan beristidlal. Kalau boleh kita menginterpretasikan sosok beliau, maka Syekh Zakaria Labai Sati Malalo ialah “pendekar” fikih dan ushul fiqih ulama-ulama Minangkabau abad 20, khususnya di kalangan generasi ke-II ulama-ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).

Lihatlah kisah beliau ketika bermudzakarah dengan Syekh Mudo Wali al-Khalidi di Jaho perkara Hari Raya di Hari Jum’at. Tengok pula bagaimana beliau bertukar pikiran masalah hukum dasi dengan Syekh Mudo Wali selama perjalanan dari Bukittinggi ke Batubesurat Kampar, memakan waktu berjam-jam. Perhatikan juga kabar ketika beliau mensurah kaji, yang membuat pendengar tidak beranjak duduk karena nikmat dan terang penjelasannya. Maka kalau kisah-kisah itu kita uraikan, maka akan menjadi sebuah buku khusus, karena banyaknya.

Selain ahli dalam bidang-bidang yang telah disebutkan di atas, Syekh Zakaria Labai Sati juga seorang sufi ternama di tepian Danau Singkarak itu. Syekh Zakaria sendiri pernah menyatakan kepada salah seorang murid utama beliau, Buya Ongku Laskar, bahwa beliau memperoleh ijazah Irsyad dalam lima macam tarekat. Namun yang paling menonjol, dan menjadi amal dan pengamalan ialah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, yang diterimanya dari Masyaikh di Kampar: (1) Syekh Abdul Ghani Batubasurek, dan (2) Syekh Ja’far al-Khalidi Pulau Gadang.

Dalam masalah tarekat beliau tidak main-main. Haji Rasul, pionir Kaum Muda Minangkabau itu, pernah menulis kitab membantah rabithah dalam tarekat Naqsyabandiyah, yang menjadi pembicaraan di Minangkabau. Mendengar hal itu, berangkatlah Syekh Zakaria Labai Sati Malalo bersama dengan sahabat karib beliau Syekh Mudo Wali al-Khalidi Aceh (yang ketika itu sedang berada di Minangkabau) menemui Haji Rasul di Sungai Batang. Menurut shahibur riwayah, sesampai di Sungai Batang, Syekh Zakaria berujar kepada Haji Rasul: “Inyiak (Haji Rasul memang lebih tua dari Syekh Zakaria), tolong Inyiak akui kekhilafan apabilo ambo dapek menemukai dalil rabithah dari al-Qur’an” (riwayah bil ma’na). Konon Syekh Zakaria hanya membawakan sepotong ayat dan beristidlal dengan ayat itu di hadapan Haji Rasul. Kita dapati kenyataan bahwa Haji Rasul menyerang rabithah hanya di awal-awal kepulangannya dari Makah yang kedua, setelah itu tidak ada keterangan yang membuktikan bahwa Haji Rasul masih mengkritik rabithah setelahnya.

Begitu pula kepada murid-muridnya, Syekh Zakaria Labai Sati sampai menetapkan talqin thariqat bagi mereka. Bahkan seolah-olah separuh wajib. Artinya, ijazah ilmu baru diberikan kepada murid yang cakap apabila telah “mengambil” tarekat dan mengamalkannya. Pernah satu ketika seorang murid beliau yang berasal dari Aceh yang bernama Tengku Ibrahim yang telah matang dalam segala ilmu agama, mulai nahwu, sharaf, balaghah, mantiq, ushul, dan lain-lain, meminta kepada Syekh Zakaria untuk menzhahirkan ijazah, Syekh Zakaria berujar: “Seketek lai tuangku!”. Ternyata ungkapan ini muncul karena Tengku Ibrahim tersebut belum mengambil tarekat, dan ijazah tidak diberikan sebelum tarekat dipelajari meskipun telah alim dalam berupa-rupa ilmu. Kisah ini diceritakan oleh Abuya Syekh H. Zamzami Yunus (pendiri dan pimpinan Ponpes Ashabul Yamin Lasi), murid Syekh Zakaria Labai yang ketika kejadian sedang menuntut ilmu di Malalo.

Begitulah Syekh Zakaria Labai Sati, ‘alim ‘allamah di tepian Singkarak. Atsar bekas ilmu beliau mengalir abadi lewat murid-murid yang ‘alim, dan betul-betul ulama, di antaranya (1) alm. Syekh Ali Imran Hasan Ringan Ringan, (2) alm. Syekh H. Basir Malin Dubalang al-Khalidi Naqsyabandi Lintau, (3) Syekh H. Zamzami Yunus Lasi, dan banyak lagi yang lain.

Saya pernah menikmati ilmu Syekh Zakaria Labai Sati, yang terbekas pada muridnya yaitu alm. Buya Drs. H. Abdul Jalal, dosen fikih IAIN Padang. Sekitar tahun 2010 beberapa kali bertukar pikiran dengan beliau di Padang. Satu ketika kami membahas persoalan harta pusaka di Minangkabau dengan menganalisa kitab al-Da’il Masmu’ Syekh Ahmad Khatib. Buya Abdul Jalal dengan santai, sambil menggulung-ulung ujung sarungnya, menguliti kekeliruan dhawabith yang digunakan Syekh Ahmad Khatib dalam menetapkan masalah pusaka dalam kitabnya itu. Luar biasa, dan kisah itu tidak dapat saya tulis lengkap.

Baca Juga: Syekh Zakaria Labai Sati Malalo Ahli Ushul dan Mantiq Pemuka Tarekat Naqsyabandiyah

*******

Kemarin, Hari Minggu, saya datang ke Malalo dalam rangka memberikan materi pelatihan “Membumikan Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah bagi santri Milleneal”. Seusai materi saya dapat bersilaturahmi dengan Buya Ongku Laskar. Beliau berkisah banyak hal, mulai dari Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Syattariyah, tentang gurunya Syekh Zakaria Labai Sati, tentang gurunya Syekh Yahya al-Khalidi Malalo, kisah Sykh Muhammad Sa’id Bonjol ketika belajar tarekat kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, dan banyak lagi. Sebuah keberkahan bagi saya.

Selain itu saya berjumpa dengan Kakanda Andri Caniago, dan dapat menghadiahi kitab notulen “bahtsul Masa’il” ulama PERTI Syekh Mukhtar Ongku Lokuang (w. 1978).

Dan berjumpa pula dengan bapak Buya H. Fast (Ayah Dina Hanif). Lama berkenalan di dunia maya, berjumpa dalam keharuan dan ketakjuban.

Walhamdulillah Sebelum pulang ke Payakumbuh, saya sampaikan kepada beberapa generasi muda anaksiak: “mari kita tulis kisah ulama-ulama kita ini. Meski ilmu mereka belum dapat kita capai, setidaknya ingatan kita pada mereka dapat kita kekalkan. Sehingga tumbuh himmah untuk mengejar apa-apa yang pernah mereka gapai tersebut.”[]

Apria Putra
Alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Pengampu Studi Naskah Pendidikan/Filologi Islam, IAIN Bukittinggi dan Pengajar pada beberapa pesantren di Lima Puluh Kota