Pada tahun 1309 H, kita mulai menjadi penuntut, maka ketika itu kita mulai melayangkan pandangan arah ke seluruh Minangkabau dan kelilingnya, maka kedapatanlah bahwa di Minangkabau dan kelilingnya sudah juga tersiar dan terpakai sekalian perintah-perintah agama, maupun yang berhubungan dengan ashal-ashal (furuk-furuk) seperti iman dan i’tiqad ahlussunnah wal jama’ah, ataupun yang berhubungan dengan furuk (cabang) seperti sembahyang, puasa, dan sebagainya, mulai dari yang sekecil-kecilnya seperti tahnik (menyuapi anak-anak yang umurnya tujuh hari) sampai kepada yang sebesar-besarnya seperti sembahyang, zakat, haji, puasa, dan seumpamanya. Sekalipun diantara penduduk Minangkabau dan kelilingnya ada juga sebagian yang tidak mau bertunduk di bawah perintah agama, tetapi mereka dipandang oleh umum sebagai orang bersalah, sedang mereka sendiri mengakui bahwa mereka bersalah kepada Tuhan seru sekalian alam. Pendeknya, tidak ada lagi perintah-perintah agama yang tidak diketahui dan diamalkan oleh penduduk Minangkabau dan kelilingnya, selain pembagian harta peninggalan mayit dan menutup aurat perempuan sama juga dengan keadaan masa sekarang.
Kemudian kita layangkan pemandangan kita kepada guru-guru, alim ulama yang sebagai suluh benderang, cerminan terus dalam nagari, maka kedapatanlah bahwa mereka tidak banyak berkata-kata, tetapi banyak bekerja, sedangkan bilangan mereka tidak pula begitu banyak, hingga diperoleh di setengah nagari di Minangkabau dan kelilingnya tidak mempunyai guru (alim ulama). Dan kalau mereka ditanya orang dalam satu masalah, apa hukumnya ini tuan? Maka mereka jawab “haram” umpamanya, dengan tidak menyebutkan kitab itu, kitab ini, apalagi akan menerangkan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi dan qiyas yang tempat mengambil hukum tersebut, tetapi penjawaban mereka yang begitu pendek, terus menerus diamalkan oleh yang bertanya hingga tidak dilupa-lupakan lagi, bak pepatah orang di sini “kok malam jadi salimuik, kok siang ka jadi tungkek”.
Kemudian kita layangkan lagi pemandangan kita kepada kitab-kitab agama yang ada pada waktu tersebut, maka kedapatan pulalah bahwa di Minangkabau dan kelilingnya tidak ada kitab-kitab Fiqih selain Minhaj al-Thalibinkarangan yang mulia Imam Nawawi rahimahullah, maka dengan kitab itulah orang Minangkabau dan kelilingnya tahu beribadah kepada Allah dan pandai berjual-beli, pagang-gadai, upah-mengupah, dan sebagainya, yang bersangkut dengan penghidupan secara yang diperintahkan Allah dan Rasul. Dan dengan kitab itu juga orang Minangkabau dan kelilingnya tahu nikah, thalaq-rujuk, dan sebagainya yang secara kehendak Islam. Begitu pula hukum menghukum dakwa dan jawab saksi dan baiyinah, pendeknya segala perintah-perintah agama tidak dapat diketahui orang Minangkabau dan kelilingnya melainkan dalam kitab Minhaj al-Thalibin yang tersebut, sekalipun al-Qur’an dan tafsirnya sudah ada tetapi guru-guru yang berada pada masa ini tidak pernah melihat hukum-hukum ke dalam al-Qur’an, hanya cukup dengan melihat kitab Minhaj al-Thalibin tersebut saja.
Dan kalau tumbuh kejadian dalam nagari, umpamanya perkara thalaq dan sebagainya, maka mereka tidak berpedoman, malah dengan kitab tersebut dan mana-mana yang musykil dilihat saja syarah Minhaj tersebut, seperti Mahalliy, Tuhfah, Nihayah, dan Mughniy. Dan kita tidak dengar ketika itu kitab Subulus Salam, Nailul Autar, I’lam al-Mauqi’in, Bidayatul Mujtahid, dan lain-lain, sehingga kita pergi ke tempat-tempat penuntut (surau yang ramai) tidaklah kita perdapat di situ malah Minhaj al-Thalibin tersebut pada bicara Fiqih dan Jalalain pada bicara Tafsir dan Matan Jurumiyah dan syarh Syaikhalid pada bicara Nahwu, sedang pada kita sendiri sudah kejadian hal semacam itu waktu kita mulai menuntut.
Maka kita tidak mempunyai kitab Fiqih hanya Minhaj al-Thalibin yang disyarah dengan Jalal al-Din al-Mahalliy yang ditulis dengan tangan di atas kertas tebal yang adalah beratnya satu naskhah dua jilid kira-kira seperempat pikul. Pendeknya, tidaklah Islam Minangkabau dan kelilingnya kalau tidak ada kitab Minhaj al-Thalibin tersebut pada adatnya. Oleh sebab itu, patut kita banyak berterima kasih kepada pengarangnya Imam Nawawi rahimahullah dan mendoakan supaya beliau mendapat rahmat yang tinggi pada akhirat. Amiin.
Sekarang marilah sama-sama kita selidiki apakah sebabnya kitab yang begitu kecil sedang isinya tidak pula diisi dengan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi Saw. tetapi pengaruhnya dapat mengislamkan sebagian penduduk bumi bukan? Maka menurut pikiran kita adalah satu sebab yang menjadikan kitab tersebut sangat berpengaruh ialah karena pengarangnya sampai kepada martabat waliyullah dan mujabat al-da’wah. Perhatikanlah waktu beliau mengarang kitab tersebut, maka pada suatu waktu beliau ketiadaan lampu, tiba-tiba terbit saja api yang menerangi pada telunjuk beliau yang kiri, apa itu tidak ‘ajaib’?
Juga beliau mengarang ini sangatlah ikhlas, tidak mengenal sedikit juga keuntungan dunia. Buktinya tidak beliau larang siapa-siapa yang akan mencetak dan menerbitkan kitab-kitab beliau. Malah beliau doakan saja dengan mendapat pahala yang berganda-ganda, dan juga beliau tidak menyebutkan siapa beliau, keluaran mana, diploma mana, dan lain-lain. Berkata Rasulullah Saw “wa li kulli imri-in ma nawa” artinya dapat oleh manusia apa yang dimaksudnya dengan kerjanya, maka jikalau kita maksud mengarang kitab supaya dapat jadi pertunjuk bagi khalaiq (makhluk) yang banyak, maka dapatlah kitab itu jadi pertunjuk, seperti Minhaj al-Thalibin tersebut. Dan kalau dimaksud yang lain dapat pulalah yang lain daripada itu.
Syekh Sulaiman Arrasuli Tokoh Pendidikan Islam Bercorak Kultural
Maka sekarang marilah sama-sama kita layangkan pemandangan kita arah ke seluruh Minangkabau dan kelilingnya supaya dapat sama-sama kita ketahui bagaimana perbedaan antara masa dahulu dan masa sekarang yang biasa disebut masa kemajuan. Perhatikanlah berapa banyaknya kitab-kitab agama sekarang bukan saja keluaran Makkah dan Madinah dan Mesir, tetapi keluaran Minangkabaupun tidak pula berketinggalan. Dan perhatikan pulalah berapa pula banyaknya guru-guru masa sekarang hingga sebagian mereka tidak dapat mengajar karena sudah kelebihan. Dan perhatikan pulalah berapa banyak penyebaran agama masa sekarang dengan mengadakan tabligh-tabligh lisingan-lisingan pada tiap-tiap tempat dan mengarang majalah-majalah (surat-surat kabar) yang bersangkut dengan agama bukan saja dikarang dengan huruf Arab tetapi banyak yang dikarang dengan huruf latin supaya umum dapat membaca. Dan perhatikan pulalah bagaimana banyaknya madrasah-madrasah (tempat belajar agama) dan kemana kita berjalan jarang yang tidak kelihatan rumah sekolah agama. Dan perhatikan pulalah bagaimana bagusnya karangan-karangan guru-guru masa sekarang hingga tiap-tiap masalah diisi dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi Saw. Sedang pada awalnya tidak pula berketinggalan menerangkan siapa pengarang dan apa pangkatnya dan diploma mana dan lain sebagainya, hingga gembar-gembor beliau yang yang sangat mengemborkan dan menarik, tidak pula berketinggalan dilukiskan pada tiap-tiap awal kitab beliau. Dan perhatikan pulalah bagaimana penerbit guru-guru sekarang memasukkan pelajaran ke dalam hati sanubari umum, bukan saja dengan bahasa Minangkabau, tetapi banyak pula kedengaran bahasa-bahasa asing yang dimasukkan waktu tabligh-tabligh dan dalam majalah-majalah seperti yang tidak tersebunyi lagi bagi umum. Terkadang-kadang ada pula yang sampai mengelirukan paham orang dikampung-kampung yang belum mengetahui bahasa apa itu?
Maka sekarang mari pulalah sama-sama kita selidiki dalam-dalam, apakah yang terbit di Minangkabau dan kelilingnya semenjak banyak kitab-kitab, sekolah-sekolah agama, tabligh-tabligh, lising-lising dan majalah-majalah (surat kabar) yang bersangkut dengan agama? Dan apakah yang terjadi semenjak bagusnya kitab-kitab agama, dan kata-kata yang terpakai untk pemasukkan rasa agama ke dalam hati umum? Adakah orang-orang umum bertambah taat kepada Allah dan Rasul? Dan adakah amalan umum bertambah banyak dari yang dahulu? Tuan-tuan pembaca boleh menimbang sendiri.
Tetapi kalau menurut penyelidikan kita yang amat pendek ini adalah yang terbit di Minangkabau dan kelilingnya semenjak keadaan bertukar dan semenjak bagus-bagusnya kata-kata yang dipakai buat pelalukan agama kepada awam lain tidak hanya berpecah belah, bermusuh-musuhan, putus silaturrahmi antara satu sama lain. Perhatikanlah berapa banyak anak-anak durhaka kepada bapak, murid kepada guru. Dan perhatikan pulalah berapa banyak perbantahan dalam tiap-tiap kampung, tiap-tiap nagari, dan tiap-tiap rumah. Untuk jadi buktinya banyak Jumat yang diduakan orang lantaran perselisihan antara penduduk nagari, dan banyak rumah yang satu sampai di batasi di tengah-tengah sebab perselisihan juga. Sebelah ruah berqunut yang sebelah tidak.
“di sini hari penghujan, bandar kariang, padi manjadi, beras mahal”
Dan kalau kita periksa sekali lagi tak ubahnya Minangkabau dan kelilingnya sekarang bak pepatah orang kita: “di sini hari penghujan, bandar kariang, padi manjadi, beras mahal” maksud kata-kata itu adalah tabligh banyak, lising banyak, kitab banyak, guru banyak, tetapi amalan dan ibadah bertambah kurang. Perhatikanlah pembagian harta peninggalan mayit dan tutup aurat perempuan yang masih terdiam pada masa yang silam, apa sudah terpakai sekarang? Tentu belum juga. Dan perhatikan pulalah berapa banyaknya perintah-perintah agama yang sudah dikerjakan pada masa yang silam, tetapi sekarang sudah pula ditinggalkan hingga tidak disangka-sangka lagi bahwa amalan itu perintah agama juga, seumpama sembahyang istisqa’ (minta hujan). Apabila kekurangan air, maka pada masa dahulu; kalau tumbuh kekurangan air, tidak kurang-kurangnya manusia berhimpun-himpun ke tengah padang sengaja sembahyang istisqa’ (minta hujan). Begitu juga sembahyang jenazah (mayit) maka jikalau tumbuh kematian dalam satu-satu nagari berduyun-duyunlah sekalian orang yang dipandang ahli agama datang sembahyangkan jenazah tersebut. Tetapi kalau kita lihat sekarang jarang sekali orang sembahyang istisqa’ (minta hujan); dan kalau kita lihat pula apabila kematian dalam satu nagari bukan main payahnya ahli mayit mencari orang yang akan menyembahyangkan jenazahnya. Terkadang-kadang diperdapat barang dua atau tiga orang untuk pembayarkan perlu kifayah saja. Apakah sembahyang istisqa’ dan jenazah itu bid’ah pula? Atau kebanyakan guru-guru sekarang tidak pandai sebab waktu habis untuk belajar pak (pelajaran) umum?
Maka kalau kita pikirkan pula apa akan terjadi pada masa belakangan, amat sedih hati kita. Oleh karena itu kita suruhkan saja kepada tuan-tuan pembaca. Hanya kita berdoa kepada Allah Swt, mudah-mudahan janganlah hendaknya terjadi hal yang tidak baik dan kita mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Wassalam
***Karya Syekh Sulaiman Arrasuli/Inyiak Canduang ini pernah diterbitkan di Majlah al-Mizan pada tahun 1938
**Alih bahasakan oleh Zulkifli
Leave a Review