Rasulullah Saw besar. Pada saat yang sama, ia membesarkan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang disebut dengan al-‘azhamah al-kasyifah (العظمة الكاشفة) : kebesaran yang menyinari. Beliau menjadi keagungan yang menyinari untuk orang di sekitarnya. Keagungan yang menyinari, tidak memadamkan.
Bayangkan Anda bertemu dengan tokoh yang sangat Anda idolakan. Kira-kira seperti apa diri Anda terlihat disampingnya? Anda akan merasa grogi, kikuk, tidak tahu mesti bersikap bagaimana, bermohon ia menyadari kehadiran Anda, syukur-syukur ia mau menjawab satu atau dua pertanyaan Anda. Kalau ia sampai bersedia menanyakan kabar Anda sambil tersenyum barangkali Anda akan sangat histeris, atau mungkin pingsan di tempat.
Intinya, cahaya diri Anda redup di samping cahaya kharisma dirinya. Anda seperti tidak bernilai apa-apa di dekatnya. Inilah yang disebut dengan al-‘azhamah al-kasifah (العظمة الكاسفة) : kebesaran yang memadamkan.
Hampir semua tokoh besar dalam sejarah manusia seperti itu. Kebesarannya individual dan tak menerima rival. Siapapun yang dekat dengannya akan tertelan dalam pusaran wibawanya.
Karena itu kita tak pernah tahu orang-orang dekat Julius Caesar, Napoleon Bonaparte, Albert Einstein, Franklin D. Roosevelt yang ikut menjadi besar bersama mereka.
Ini berbeda dengan Muhammad Saw. Ia besar, dan orang-orang di sekitarnya ikut menjadi besar bersamanya.
Apakah kita akan mengenal sosok Abu Bakar kalau ia tak pernah bersama Rasulullah Saw di gua tsur? Apakah kita akan mengenal sosok Umar bin Khattab kalau ia tak pernah ditempa dalam madrasah Rasulullah? Apakah kita akan mengenal Bilal bin Rabah kalau ia tak pernah diminta Nabi mengumandangkan azan?
Rasulullah Saw besar. Pada saat yang sama, ia membesarkan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang disebut dengan al-‘azhamah al-kasyifah (العظمة الكاشفة) : kebesaran yang menyinari. Beliau menjadi keagungan yang menyinari untuk orang di sekitarnya.
Yang menarik, Rasulullah Saw menjadi semakin besar justeru ketika beliau selalu menghindar untuk dibesar-besarkan.
Ketika puteranya Ibrahim meninggal dunia, terjadi gerhana matahari. Banyak orang mengaitkan peristiwa alam yang langka ini dengan wafatnya putera seorang Nabi.
Bukankah ini kesempatan emas untuk dipandang lebih ‘keramat’ dan berbeda dari tokoh-tokoh lain? Apalagi anggapan itu datangnya dari masyarakat, bukan dari beliau sendiri. Beliau bisa saja diam dan tidak berkomentar apa-apa mendengarkan komentar masyarakat itu, atau dengan sedikit anggukan ringan yang mengandung arti: “Mmm… boleh jadi…” (Boleh jadi memang gerhana terjadi karena puteraku wafat…).
Tapi itu semua tidak beliau lakukan. Beliau bahkan mengingatkan para sahabatnya bahwa gerhana matahari, gerhana bulan dan sebagainya adalah fenomena alam biasa. Ia tidak terjadi karena si fulan atau fulanah meninggal dunia.
Bayangkan kalau peristiwa yang sama terjadi pada orang-orang yang hari ini mengaku menjadi wali Allah, memiliki karamah dan punya hubungan khusus dengan Imam Mahdi? Tentu ini akan menjadi ajang penaikan rating yang datang secara cuma-cuma.
Ketika seorang utusan datang menemui Nabi Saw. Ia sudah lama mendengar nama Muhammad yang membuat nyalinya ciut. Ketika sudah berada di hadapan Nabi, ia gemetar.
Melihat hal itu Nabi Saw bersabda:
هَوِّنْ عَلَيْكَ ، إِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ كَانَتْ تَأْكُلُ الْقَدِيْدَ
“Tenang… saya hanyalah anak seorang wanita dari Quraisy yang biasa makan daging kering.”
Andaikan peristiwa yang sama terjadi pada tokoh-tokoh hari ini, tentu ia akan sangat bebangga, lalu dengan pongah berkata: “Manggeretek lutuiknyo basobok jo ambo…”.
Di saat yang lain, seorang Arab badui datang ke Madinah untuk bertemu Rasulullah Saw. Ia pun masuk ke masjid. Di dalam masjid, Rasulullah Saw dengan para sahabat sedang duduk-duduk. Arab badui ini tidak bisa membedakan mana Rasulullah Saw dari sekian sahabatnya. Pakaian mereka sama. Duduk mereka sama rendah. Mereka berbaur seperti tidak ada sekat sama sekali. Tak tampak mana tokoh utama dan mana pengikut. Tak jelas mana pemimpin dan mana yang dipimpin. Semua menyatu dalam suasana ukhuwah yang begitu damai dan menyejukkan.
Akhirnya ia bertanya:
أَيُّكُمْ مُحَمَّدٌ؟
“Yang mana Muhammad?”
Itulah secuil tentang kerendahan hati Rasulullah Saw. Kerendahan hati itu yang membuat beliau semakin dicintai dan diagungkan. Begitulah sunnatullah. Ketika seseorang merendah, Allah akan meninggikannya. Sebaliknya, ketika seseorang meninggi, Allah akan merendahkannya.
Saya tulis ini untuk memperingati Maulid Nabi Saw. Anda yang telah membaca tulisan ini sampai akhir berarti telah ikut memperingati maulid bersama saya. Kalau saya telah melakukan hal yang bid’ah karena ini berarti Anda juga…
[Yendri Junaidi]
Leave a Review