Kebahagiaan Sejati Kebahagiaan Sejati Kebahagiaan Sejati Kebahagiaan Sejati
Bahagia menurut Elsa cukuplah sederhana. Kasih sayang dari keluarga membuatnya merasa menjadi makhluk yang paling bahagia seantero dunia. Terkadang ia merasa takut akan kehilangan kebahagiaan itu. Membayangkannya saja ia tak sanggup apalagi jika itu benar terjadi.
Sudah hampir setahun Elsa tinggal di kota untuk menyelesaikan belajarnya. Tinggal jauh dari orangtua sudah cukup menyayat kalbunya. Perbedaan tempat membuat ia selalu merindukan orang tua. Setiap hari ia meluangkan waktu untuk video call dengan orang tuanya.
Kebahagiaan yang dibanggakan Elsa sudah pupus, kini hanya penderitaan yang tersisa. Ia mendapat kabar tak sedap, orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Perceraian terjadi karena adanya orang ketiga. Kekhawatirannya selama ini menjadi nyata.
“Kalian jahat, mengapa kalian melukai perasaanku?” ucap Elsa dengan deraian air mata saat menerima telepon dari sang ayah.
“Maafkan ayah. Ayah harap kamu bisa menerima kenyataan, Sa.” balas sang ayah.
Elsa langsung menutup teleponnya. Ia sangat putus asa. Dunia terlalu menyedihkan baginya. Bahkan, ia mengeluh bahwa Tuhan tidak adil padanya.
Semenjak perceraian itu, Elsa selalu menghabiskan waktunya di perpustakaan. Ia menghibur hatinya dengan membaca novel. Di sana ia bertemu dengan sosok lelaki populer di kampusnya, Izal. Mereka memiliki hobi yang sama, yaitu membaca tetapi dengan bacaan yang berbeda. Ia suka novel sedangkan Izal suka buku pelajaran.
Awal pertemuan memang tidak ada yang spesial, mereka layaknya orang asing yang tak saling sapa. Kedekatan keduanya dimulai sejak Izal memberikan tisu pada Elsa yang menitiskan air mata ketika membaca novel. Mereka mulai saling berbagi cerita. Elsa tak menyangka bisa seakrab itu dengan si bintang kampus. Setiap hari mereka bertemu di perpustakaan itu.
“Kamu tahu? Detak jantungku sekarang mungkin dapat merobohkan perpustakan ini.” ucap Izal dengan perasaan gugup.
“Kamu mencoba menggodaku?” balas Elsa.
“Hahaha, nggak lah. Aku ingin bersamamu lebih dari sekadar sahabat.” ungkap Izal.
Pernyataan Izal membuat merah pipi Elsa. Selama ini memang hanya Izal yang bisa mengerti perasaannya. Ia merasa nyaman saat berbagi cerita dengan Izal. Mungkin Izal adalah kebahagiaan yang Tuhan kirim untuknya sesudah penderitaan yang ia rasakan.
Baca Juga: Dua Puisi Adilla Destiani
Setiap pertemuan akan ada perpisahan, setelah wisuda Elsa dan Izal pulang ke kampung halaman masing-masing. Elsa tinggal di desa bersama ayahnya. Mereka akhirnya jarang bertemu. Suatu saat Elsa menghubungi Izal, ia meminta Izal untuk menikahinya. Namun, jawaban Izal bukanlah jawaban yang Elsa harapkan.
“Aku nggak bisa, aku nggak siap.” ungkap Izal.
“Apakah nggak ada alasan lain? Setiap kali aku meminta pernikahan kamu selalu bilang nggak siap. Kamu tahu? Umurku sudah cukup untuk menikah, aku nggak sanggup lagi menahan pedasnya oral tetangga.” ucap Elsa.
“Bagaimana bisa aku menikah dengan anak dari seseorang yang tak setia pada pasangannya? Bodoh! Bukankah pepatah bilang buah jatuh tak jauh dari pohonnya?” ucap Izal dengan nada meninggi.
Elsa hanya bisa menangis, mungkin seorang anak broken home tidak bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Ia kecewa, tidak ada laki-laki yang bisa ia percaya di dunia ini. Katanya, seorang ayah adalah cinta pertama bagi anaknya. Namun, bagi Elsa seorang ayah adalah patah hati pertamanya.
Sekian lama Elsa tidak bertemu dengan ibunya, ia sangat merindukannya. Ibunya pergi ke luar daerah semenjak perceraian itu. Elsa mengobati rasa rindunya dengan membuka media sosial sang ibu karena kontak ibunya tidak pernah bisa dihubungi. Ini adalah kali pertama ia scroll halaman media sosial ibunya sampai ke bawah, ia menemukan hal aneh. Ada komentar dari laki-laki pada empat tahun silam, komentar yang sangat romantis.
“Ayah, tolong jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi selama ini? Apa ayah menutupi kesalahan ibu?” tanya Elsa sembari menyodorkan teleponnya.
“Semenjak perceraian itu kamu tidak pernah mau mendengarkan ayah. Telepon ayah pun tidak pernah kamu angkat.” jawab sang ayah.
“Ayah, aku mengira selama ini ayah yang salah. Waktu itu ayah minta maaf padaku jadi aku pikir ayah yang sudah mengundang orang ketiga.” ucap Elsa.
“Ayah minta maaf padamu karena ayah tidak bisa menjaga ibumu untuk tidak berpaling, Sa.” jawab sang ayah.
“Aku sayang ayah. Ternyata selama ini aku salah, maafkan aku yang sudah membenci ayah dan melanggar janjiku. Harusnya aku sadar bahwa ayah tidak mungkin melakukan itu, aku sudah dibutakan oleh kebencianku sendiri.” balas Elsa dengan mata yang berembun.
Kesalahpahaman yang telah terjadi selama bertahun-tahun itu pun berakhir. Suasana rumah yang sempat mati kini telah hidup kembali. Sikap yang dingin berubah menjadi hangat. Elsa menyesal, ia merasa sangat bersalah telah menyia-nyiakan serbuk berlian dalam hidupnya.
Hari-hari Elsa lalui dengan penuh semangat. Ia teringat akan perkataan ayahnya waktu ia masih kecil, ayahnya ingin ia menjadi seseorang yang bermanfaat bagi orang banyak. Ia sadar, selama ini hanya merepotkan ayahnya dan belum bisa menjadi yang terbaik. Mulai saat itu ia bertekad untuk membahagiakan ayahnya dan hidup seperti apa yang ayahnya inginkan. Ketika ia memperbaiki dirinya maka saat itu pula ia dipertemukan dengan orang-orang baik. Setiap hari hal-hal positif menghampirinya.
Baca Juga: Kenangan yang Hilang
Terbesit dibenak Elsa ingin mendirikan tempat belajar ngaji gratis untuk anak-anak di desanya. Ia mengajak teman-temannya untuk membersamainya menggapai keinginannya itu. Ia terkejut saat hari pertama pendaftaran, sangat banyak anak-anak yang berminat. Mereka datang dengan senyum dan penuh semangat. Sungguh ia tidak pernah menyangka itu bisa terjadi. Ternyata ini bahagia yang sesungguhnya. Walaupun Elsa tidak memiliki keluarga yang utuh tetapi ia tetap bisa bahagia. Teman dan anak-anak di tempat ngaji sudah ia anggap seperti keluarga sendiri. Kali ini ia benar-benar merasa bahagia.[]
Leave a Review