scentivaid mycapturer thelightindonesia

Kecelakaan Kereta Api dan Rahmah El Yunusiyah

Kecelakaan Kereta Api dan Rahmah El Yunusiyah

Kecelakaan kereta api di Lembah Anai pada 25 Desember 1944 ialah tragedi kecelakaan terparah di Indonesia pada zaman kolonial. Konon kecelakaan itu menempati ke tujuh di dunia, sepanjang sejarah. Kini kisah itu jarang disebut. Kisah pilu itupun terasa semakin tertimbun dalam ingatan, dan terlupakan namun tidak dalam sejarah.

Kisah Kecelakaan kereta api ini menciptakan rintihan serta tangisan yang amat mendalam pada masanya. Kenapa tidak, 200 orang kehilangan nyawa dan ratusan lainnya mengalami luka-luka. Ditambah lagi dalam proses evakuasi yang sulit dan medan yang berat. Proses ini menambah dalam rintihan tangisan itu para korban.

Yudi pernah berkisahm, seorang pemuda asal Pariaman, dia menyatakan bahwa kakeknya merupakan salah satu dari korban selamat pada tragedi itu. Ia bertutur ketika itu kakeknya masih bayi, dan berumur 6 bulan dan selamat pada tragedi itu.

Namun siapa menyangka dibalik kisah pilu itu ada terselip kebaikan dari sang reformator Pendidikan Islam, yakni Rahmah El Yunusiyah. Sang reformator Rahmah El Yunusiyah pada masa itu berkata:

“Bawa dunsanak-dunsanak kami itu ke sini. Diniyah Puteri saya jadikan rumah sakit sekarang, kalian semua, anak-anakku, siapkan tempat tidur, kasih bantal, selimut, jika tak cukup, kembangkan tikar, di mana saja, di ruang kelas ini. Tuhan memanggil kita menolong sesama.”

Setidaknya itu yang dikatakan oleh Rangkayo Rahmah El Yunisiyah, pendiri Diniyah Puteri, Padang Panjang.

Rahmah walau bukan dokter tapi ia belajar ilmu kedokteran dari 3 dokter handal Minangkabau. Dan bahkan Mak Uwonya juga merupakan seorang bidan pada masa itu.

“Bawa mereka ke sekolah Etek Amah!” Perintah Tokoh Padang Panjang pada masa itu.

Tidak lama setelah itu korban-korban Kecelakaan kereta api tersebut pun datang satu persatu, orang-orang pada masa itu berjalan panjang, nyaris tak putus, memanggul korban kecelakaan yang berdarah-darah, patah-patah, pingsan untuk dibawa dan mendapat pertolongan di Diniyah Puteri.

Rumah sakit darurat di Diniyah Puteri yang di inisiasi oleh Rahmah itu akhirnya penuh. Oleh karena hal tersebut ada di antara korban, yang juga dilarikan ke Padang, juga ke Bukittinggi. Hari demi hari, evakuasi tak kunjung selesai. Yang luka parah sudah memenuhi rumah sakit.

Rahmah El Yunusiyah

lalu di antara mereka yang meninggal dimakamkan dalam satu liang di tanah milik seorang ulama bernama Syekh Adam di Padang Panjang. Di kota ini ada pandam pekuburan, semacam pemakaman umum, untuk orang yang bukan penduduk asli disebut Pakuburan Makam Pusaro Dagang. Siapa saja orang rantau yang meninggal makan akan dimakamkan di Pusaro Dagang.

Bahkan Syekh Adam yang sangat dihormati itu, menyampaikan bahwa semua korban yang meninggal dunia, untuk dimakamkan di sana. Masyarakat pun bahu-membahu membawa jenazah ke sana dan pemakamannya disaksikan ribuan orang. Jenazah dikuburkan di satu liang dan kemudian dibuatkan tugunya.

Di samping itu kita bergeser ke perihal dedikasi Rahmah di dunia pendidikan sangatlah luar biasa dan tak terbantahkan, Rahmah El Yunusiyah mempersembahkan semua tenaganya untuk keberlangsungan dan kemajuan bidang pendidikan untuk kaum wanita khususnya di dasarkan pada cita-citanya, bahwa kaum wanita Indonesia harus memperoleh kesempatan penuh dalam menuntut ilmu agar dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bertujuan agar kaum wanita sanggup berdikari untuk menjadi ibu pendidik yang cakap, aktif dan bertanggung jawab kepada kesejahteraan tanah air. Hal itu diwujudkan dengan pendirian sekolah Diniyah Putri

Atas bantuan Persatuan Murid-murid Diniyah School yang didirikan oleh kakaknya, Rahmah mendirikan madrasahnya pada tanggal 1 November 1923. Mulanya terdapat 71 orang murid yang kebanyakan terdiri dari ibu-ibu rumah tangga muda. Pelajaran diberikan setiap hari selama 3 jam di sebuah masjid di Pasar Usang, Padang Panjang. Di samping itu, Rahmah juga mulai mengadakan usaha pemberantasan buta huruf bagi kalangan ibu-ibu yang lebih tua.

Selain itu Rahmah memiliki prinsip dan sikap yang teguh. Ketika Belanda menawarkan bantuan kepada Madrasah Diniyah Putri dengan syarat harus berada di bawah kekuasaannya, ia menolak dengan tegas. Dengan alasan tak ingin sistem pendidikannya dibelokkan oleh Belanda. Selain itu, hal yang menonjol dari Rahmah adalah sikap tanggung jawab. Ia bukan saja memikirkan kemajuan pendidikan murid-muridnya, namun juga keselamatan mereka. Pada saat koloni Jepang masuk ke Indonesia, Rahmah mengungsikan seluruh muridnya dan menanggung semua keperluan dari murid-muridnya.

Perhatian Rahmah El-Yunusiah untuk kaumnya memang tidak pernah padam. Ia bercita-cita untuk mendirikan Perguruan Tinggi Islam khusus untuk kaum wanita lengkap dengan sarana dan prasarananya. Cita-citanya ini sebagian telah tercapai. Hal ini terlihat ketika ia wafat, Diniyah Putri telah memiliki Perguruan Tinggi dengan satu fakultas, yaitu Fakultas Dirasah Islamiyah. Ia juga bercita-cita mendirikan rumah sakit khusus wanita.

Di bawah kepemimpinan Rahmah, Diniyah Putri berkembang pesat. Keberhasilan lembaga ini mendapat perhatian dan pujian dari berbagai tokoh pendidikan, pemimpin nasional, politikus dan tokoh agama, baik dari dalam maupun luar negeri. Hal itu terbukti pada tahun 1957 Rahmah memperoleh gelar Syaikhah dari Senat Guru Besar Universitas Al-Azhar Mesir. Dan gelar ini belum pernah dianugerahkan kepada siapapun sebelumnya.[]

Habibur Rahman
Pecinta ulama dari Ranah Minang