Kehalusan Budi Bahasa Kehalusan Budi Bahasa Kehalusan Budi Bahasa Kehalusan Budi Bahasa Kehalusan Budi Bahasa
(Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan Memukul Ular di dalam Persemaian: Prinsip Pertalian Adat dan Syarak)
Oleh: Inyiak Ridwan Muzir
Bagaimana sekolah Tarbiyah Islamiyah yang didirikan oleh Perti di Bengkulu tadi menjalani pertalian adat dan syarak masih harus ditelusuri dan ditulis. Apakah sekolah Tarbiyah Islamiyah itu berhasil memukul mati ular tanpa merusak benih padi dan tanah persemaian? Ataukah terjadi dinamika-dinamika lain di luar prediksi ibarat dari Inyiak Canduang ini? misalnya: ular memang mati, namun benih sedikit rusak; atau benih tetap hijau subur, namun si ular ternyata menyuruk ke dalam pematang. Masih hidup. Wallahu a’lam untuk sementara.
Namun yang jelas, Inyiak Canduang semasa hidup telah mewariskan apa yang menurut penilaian kita merupakan strategi mempertalikan adat dan syarak. Dengan sedikit bombastis dan sok ilmiah, dapatlah dikatakan warisan tersebut sebagai strategi kultural. Strategi itu cukup sederhana dan gampang dilaksanakan. Itulah mengapa di sini diberanikan diri untuk menyebutnya strategi, sebab kalau rumit dan sulit dilaksanakan, itu namanya bukan strategi, tapi teori. Dalam bahasa yang lebih sederhana, itu namanya omong kosong! Sebab teori tanpa kemungkinan praktik, adalah sia-sia.
Dalam kitab lain yang juga beraksara Arab berjudul Pedoman Hidup di Alam Minangkabau: Nasihat Siti Budiman Menurut Garisan Adat dan Syara’ atau yang lebih populer disebut Kitab Kisah si Muhammad Arif, Inyiak Canduang beberapa kali mengutip pantun yang sudah sangat terkenal di Minangkabau.
كؤ نن ميره ايو ساڬو * كؤ نن كورئ ايو كوندى.
كؤ نن انده ايو باسو * كؤ نن بايك ايو بودى
. ببيلؤ٢ ببيلين٢ * دجامفو تومبوهله فادى.
رومن ايلؤ اورڠ تأ ايڠين * ايلؤ باسو اورڠ جارى
Kok nan merah iyo sago # kok nan kuriak iyo kundi
Kok nan indah yo baso # kon nan baiak iyo budi.
Babelok-belok bapilin-pilin # Di campo tumbuah lah padi
Roman elok urang tak ingin # Elok baso urang cari
(yang merah adalah saga # yang belang adalah kundi
yang indah adalah bahasa # yang baik adalah budi
Berkelok-kelok berpilin-pilin # Di Campo tumbuhlah padi
Roman elok orang tak ingin # Elok bahasa orang cari)
Kita berpendapat bahwa beberapa kali pantun ini dipakai oleh Inyiak Canduang baik di kitab Kisah si Muhammad Arif maupun Pertalian Adat dan Syara’ menunjukkan arti penting dua hal: bahasa dan budi.
Entah kebetulan entah tidak, kedua pengertian kata ini dalam bahasa Minang, yakni baso dan budi, terkandung sekaligus dalam kata adab dalam bahasa Arab. Kata adab memang sudah diserap ke Bahasa Indonesia, namun hanya setengah pengertiannya dalam bahasa Arab yang dibawa masuk, yakni soal kehalusan budi pekerti. Sedangkan pengertiannya yang terkait dengan kehalusan bahasa (fushah) belum tercakup.
Akan halnya dalam bahasa Minangkabau, memang sejauh yang kita tahu tidak ada padanan kata adab dalam Bahasa Arab tadi. Akan tetapi dalam konseptualisasi (alam pikiran) dan praktik (kegiatan berbahasa), baso dan budi sebagai mana dalam pantun tadi selalu bersama-sama: yang satu mengandaikan yang lain.
Di sini kita ingin mengatakan satu hal penting yang jadi warisan Inyiak Canduang. Warisan yang menurut kita harus kita teroeskan sebagai ajaran beliau, yang harus juga kita perjuangkan selain gelar pahlawan buat beliau. Warisan itu berupa tali pengikat adat dan syara’ itu sendiri. Ya! Menurut kita, Inyiak Canduang telah mewariskan tali yang dapat dipakai mengikat keduanya. Tali itu adalah adab dalam konseptualisasi Bahasa Arab atau pengertian baso dan budi dalam bahasa Minang.
Bentuk konkret dari adab atau baso jo budi ini adalah kefasihan berbahasa. Di sini kefasihan berbahasa bukan hanya dimaknai sebagai kelihaian bersilat lidah, keterampilan berbahasa yang indah enak didengar nyaman dirasakan, namun lebih dari itu. Kefasihan berbahasa yang jadi tali pengikat adat dan syara’ adalah kefasihan berbahasa yang tercermin dalam tingkah laku. Ini berarti, tak masuk ke golongan Inyiak Canduang orang yang begitu pintar berbahasa dan menyiarkan ajaran agama atau nilai adat, namun kelakuannya mencari keruh saja, perangainya mencikaraui orang ramai, mencari heboh dalam negeri.
Tadi disampaikan bahwa tali yang diwariskan Inyiak Canduang ini adalah strategi kultural yang sederhana. Sekarang pertanyaannya, jika dia terasa sulit dan rumit untuk dijalankan, apa sebabnya? Menurut hemat kita, penyebabnya dapat dicari ke pangkal. Kalau keruh air di muara, marilah di tengok ke hulu, mana tahu ada tebing yang runtuh. Pangkal kerumitan penerapan adab (budi jo baso) adalah ketidaksesuain antara perkataan dan ucapan. Misalnya saja, sekali lagi ini sebuah misal. Sebuah sekolah agama mempromosikan diri untuk menggembleng anak didik untuk bahagia di dunia dan akhirat. Namun, dengan masuk ke sekolah itu, anak murid beserta keluarganya jadi kurang bahagia di dunia sebab pitis (duit) orang tuanya terkuras untuk biaya sekolah. Dari segi kebahasaan, promosi sekolah ini sudah canggih, bisa membuat orang tergiur, namun dari segi budi belum tentu. Sebab tak bersua apa yang dijanjikannya. Dia berjanji akan mendidik murid agar bahagia dunia-akhirat justru dengan cara mengurangi kebahagiaan duniawi si murid dan keluarganya.
Jika dibaca-baca dua karya Inyiak Canduang tadi, terasalah buat kita bahwa hakikat dari tali pengikat adat dan syara’ tadi adalah raso. Sekuat apapun zahirnya tali pengebat adat dan syara’, namun kalau tidak ada rasa, tali itu lama kelamaan akan longgar dan putus juga.
Nampaknya kita harus hati-hati di sini. Pukauan konseptual dan nafsu untuk berbuat baik kadang membuat orang tidak sabar dan kurang tekun. Ingin sekali jadi sekaligus. Karena ingin memperbaiki moral anak didik atau mempertebal akhlak anak siak, diadakan acara pembacaan atau lomba pantun-pantun dan pepatah-petitih, misalnya. Bukan seperti itu mainnya. Sebab inti dari tali pengikat tadi adalah raso dan raso itu hanya bisa ditanam dan dirawat sebelum orang mendapat buahnya. Proses penanaman dan perawatan butuh waktu, memerlukan kesabaran dan mensyaratkan perjuangan. Tak bisa kerambil yang baru dicucukkan ke dalam tanah langsung berbuah, apalagi menghasilkan santan. Singkat kata: rasa yang akan tumbuh, tak bisa dipaksakan. Kalau ngotot memaksa tumbuh, yang muncul hanya lomba-lomba dan festival-festival, bukan budaya!
Berikut ini kita akan lihat bagaimana Inyiak Canduang menggunakan gagasan tentang raso dalam karya beliau. Pertama kita kutip dari kitab Siti Budiman.
Beberap tahun setelah kematian ayahnya, si Muhammad Arif akan dimasukkan ke sekolah oleh ibunya, Siti Budiman. Untuk rencana ini, bermusyawarahlah Siti Budiman dengan Datuak Rajo Adil, mamak Muhammad Arif. Sebagai mamak, Datuak Rajo Adil menyarankan agar Siti Budiman mulai mendidik Muhammad Arif agak intensif sebagai antisipasi dari tabiat dan perangai buruk teman sebaya yang akan menularinya di sekolah nanti.
Menanggapi hal ini, Siti Budiman tidak membantah pendapat Datuak Rajo Adil. Tak ada pula yang patut dibantah sebab dia mengusulkan sesuatu yang baik demi kemanakannya. Hanya saja Siti Budiman sebagai ibu yang paham betul anaknya melengkapi pendapat ini dengan pendapatnya sendiri. Siti Budiman berkata:
بكات سيتى بديمن: توان داتوء راج عديل، دالم فڬيران هاتى همب اله تكان نن بائت، تتافى ماس كينى نڠكو، كوء دتونجوء داجارى، فهم بلوم عقل فون بلوم، اندق كلاكئ تو رساج، سباڬى اوجن جاتوه ككاسيئي، بأ كمفير دايسى ناسى، ماسؤ اموه راس تأ دافت، كالو له ماسقج سيكولا اله بفهم اڬأ سكيتى، اله برعقل اڬاء سميڠ، له فهم دكات٢ سينن دتنجوء داجارى. إن شاء الله كؤلى ملاكيئ، بائيت فندافئ هاتى دين.
Bakato Siti Budiman: ‘Tuan Dt. Rajo Adil, dalam pikiran hati ambo alah takana nan baitu, tapi maso kini nangko, kok ditunjuak diajai, paham balum akal pun balum, indak kalakek tu rasonyo,sabagai ujan jatuah ka kasiak,bak kampia diisi nasi, masuak amuah raso tak dapek,kalau lah masuak nyo ka sikola, alah bapaham agak saketek,alah baraka agak samiang,alah paham di kato-kato, sinan ditunjuak diajai, insyaAllah kok lai malakek, baitu pandapek hati den.
(Berkata Siti Budiman: Tuan Dt. Rajo Adil, dalam pikiran saya sudah teringat yang demikian. Tapi masa sekarang ini, jika ditunjuk diajari, paham belum akal pun belum, tidak akan menempel rasanya dia [Muhammad Arif], bagai hujan jatuh ke pasir, bagai kampia diisi nasi, masuk bisa rasa tak dapat. Jika sudah masuk dia sekolah, sudah berpaham agak sedikit, sudah berakal agak samiang (secuil), sudah paham dengan kata-kata, di situ ditunjuk diajari, insya Allah mungkin akan menempel ajaran kita, begitu pendapat saya).
Agar dua kutipan beriring, kita kutip pula dari kitab Pertalian Adat dan Syarak.
Ketika menguraikan kisah masuknya agama Islam ke Minangkabau, Inyiak Canduang menceritakan seorang Arab yang mula-mulai menyebarkan agama Islam di pesisir Minangkabau. Beliau tidak menjelaskan siapa nama orang Arab ini, hanya menyebutnya bergelar sayyid dan bermazhab syafi’i. Lalu Inyiak Canduang menuliskan demikian:
مك لام بكلماءن دافتله توان عرب ايت مماسؤكن راس اڬام كدالم هاتى جنتوڠ فندودق منڠكابو اين. اكن تتافى بلوم بڬيتو ماسؤ دان بلوم بڬيتو كمبڠ كارن توان عرب ايت بلوم بڬيتو فندى دالم بهاس منڠكابو اين. كمدين در ايت الحمد لله كيت اوجفكن كمباليله كمنڠكابو اين سؤرڠ انق منڠكابو يڠ سوده عالم بلاجر سام توان الشيخ عبد الرؤف اجيه يائيت توان الشيخ برهان الدين اولاكن. مك ستله بليو ايت دودق داولاكن بردوين٢ له مانسى در سڬنف فيهق سڠاج هندق بلاجر اڬام كفد بليو ايت.
Maka lamo bakalamoan dapatlah tuan Arab itu memasukkan raso agama ka dalam hati jantuang penduduk Minangkabau ini. Akan tetapi belum begitu masuk dan belum begitu kambang karena tuan Arab itu belum begitu pandai dalam bahaso Minangkabau ini. Kemudian dari itu alhamdulillah kito ucapkan kembalilah ke Minangkabau ini seorang anak Minangkabau yang sudah alim belajar sama tuan Syeikh Abdur Rauf Aceh yaitu Tuan Syeikh Burhanuddin Ulakan. Maka setelah beliau itu duduk di Ulakan, berduyun-duyun lah manusia dari segenap pihak sengaja hendak belajar agama kepada beliau itu.
Baca juga: Tarbiyah-Perti Rejang Lebong Seminarkan Moderasi Adat dan Syarak
Penyudahi
Tarbiyah Islamiyah ingin mendidik ummat. Di antara cara yang ditempuh adalah mendirikan madrasah-madrasah. Madrasah itu bisa didirikan di tengah masyarakat mana pun tanpa harus mengganggu adat istiadat setempat selama tidak bertentangan dengan kaji surau yang diajarkan dan dipelajari di madrasah. Hubungan masyarakat dan madrasah adalah salah satu bentuk konkret hubungan adat dan syarak.
Menurut Inyiak Canduang hubungan itu diikat oleh tali yang wujud bathinnya adalah raso dan wujud zahirnya adalah budi dan bahasa. Memang ada yang berpendapat bahwa keduanya bertentangan. Ada pula yang berpendapat pertentangan keduanya telah selesai namun dengan penyelesaian semu. Menurut kita, pandangan-pandangan ini hanya mungkin lahir karena berangkat dari cara pandang ilmu sosial, mengandalkan konsep dominasi, dan berpayung perspektif konflik.
Bagi Inyiak Canduang dan murid-muridnya, kaji telah putus. Adat dan syarak bagaikan aur dengan tebing. Sandar menyandar berkasih sayang! Ibarat pantun yang beliau tuliskan di kitab Nasihat Siti Budiman
انق بالم جاتوه ترمبو . بسورق اورڠ دفنتى. ريوهله اورڠ كسمواج *
ككواتن عالم منڠ كابو. شرع مڠات عادة مماكى . سام بجالن كدوا
سباڬى لاڬى انق كندوڠ، نأ دوا فنتون سائيريڠ:
سيمنجق جاتوه ترمبو . لوك بدنج كانى لمبيڠ. تفنجر داره دفهاج *
عادة جو شرع دمنڠكابو. امفام اورڠ جو تابيڠ . سندر مجندر كدواج.
Anak balam jatuah tarambau; Basorak urang di pantai; Riuah lah urang ka samuanyo
Kakuatan alam Minangkabau; Syara’ mangato adat mamakai; Samo bajalan kaduonyo
Sabagai lagi anak kanduang, nak duo pantun sairiang
Si Muncak jatuah tarambau; Luko badannyo kanai lambiang; Tapanca darah di pahonyo
Adat jo syara’ di Minangkabau; Umpamo aua jo tabiang; Sanda manyanda kaduonyo.[]
Kehalusan Budi-Bahasa Kehalusan Budi-Bahasa Kehalusan Budi-Bahasa Kehalusan Budi-Bahasa Kehalusan Budi-Bahasa Kehalusan Budi-Bahasa
Wallahu a’lamu bi shawab
Leave a Review