Dalam teori yang sering dibicarakan oleh orang-orang komunikasi atau media, citra suatu objek seperti barang, orang, kelompok, atau lembaga tertentu terbentuk sedikit banyaknya berkat publikasi yang dilakukan oleh media massa. Jika kita melihat ada barang, orang, kelompok atau lembaga tertentu tiba-tiba menarik perhatian orang banyak dan dikenal, barangkali itu merupakan akibat dari penginformasian sebuah media terkait barang, orang, kelompok atau lembaga tersebut. Begitu juga sebaliknya. Pemberitahuan yang kurang ‘mengenakkan’ dari media terhadap barang, orang, kelompok atau lembaga tertentu juga akan menimbulkan citra buruk di masyarakat. Fenomena ini sudah menjadi hukum media, baik dilakukan secara sengaja maupun tidak.
Jika kita ‘membumikan’ hukum ini dengan mengaitkannya kepada kehidupan sehari-hari tentu kita akan melihat begitu banyak peristiwa yang hampir mirip dengan kaidah di atas. Misalnya, ketika ada orang, atau katakanlah teman kita kemarin sore dia berbicara hal yang buruk tentang kita di hadapan teman kita yang lain, maka berkemungkinan besar esoknya pandangan teman kita yang lain tadi jadi berpandangan buruk juga seperti apa yang dikatakan teman yang menjelekkan kita itu. Pun sebaliknya, pandangan ‘enak’ tentang kita yang ditularkan kepada teman kita yang satunya lagi akan menimbulkan citra baik tentang kita dalam dirinya. Ini baru satu contoh dan masih banyak contoh lainnya yang serupa yang terjadi pada kehidupan kita baik disengaja maupun tidak disengaja.
Baca Juga: Pakiah dari Masyarakat untuk Masyarakat
Jika kita mengaitkan ‘hukum’ ini pada kehidupan berkelompok atau berlembaga, maka yang terjadi juga tidak jauh dari hukum yang sudah disebutkan di atas. Kalau boleh penulis memberikan contoh yang mungkin tidak asing lagi bagi kita adalah, andaikan ada suatu lembaga atau organisasi misalnya baik secara melembaga atau melalui anggota kelompok atau organisasinya menjelek-jelekkan kelompok atau lembaga lain kepada orang lain, tentu besar kemungkinan orang itu akan berpandangan jelek kepada kelompok atau lembaga yang menjadi korban penjelek-jelekkan itu. Sebaliknya juga demikian. Hal ini sering terjadi apalagi kalau ada persaingan antar kelompok-kelompok tersebut.
Dalam kaitannya dengan Pakiah dan agenda kunjungannya ke masyarakat yang acapkali terjadi pada hari Kamis dan Jumat yang disebut dengan “Mamakiah”, mau tidak mau, sengaja tidak sengaja, sang Pakiah tersebut telah membawa nama Lembaga; surau atau Pesantren tempat dia mengaji. Maka dalam hal ini, sang Pakiah adalah media atau jembatan antara surau atau Pesantren tempat mengajinya dengan masyarakat atau umat. Secara tidak langsung, sang Pakiah menjadi ‘influencer’, atau menjadi ‘brosur berjalan’ kepada masyarakat. Bawaannya yang dibawa baik sengaja atau tidak –entah itu pakaian, perilaku, tutur kata dan lain sebagainya– menjadi suatu ‘iklan’ bagi masyarakat yang pada akhirnya memberikan citra tertentu kepada surau atau Pesantren tempat ia bernaung. Dengan ini, Pakiah, baik inisiatif sendiri maupun diinisiatifkan, mesti “mempermak” dirinya sedemikian rupa agar pas di pandangan masyarakat. Dampak dari hal itu, mudah-mudahan, ke depannya hal inilah yang membuat ‘dagangan’ tersebut jadi laku. Pada hakikatnya, menurut penulis, surau atau Pesantren sedang ‘berdagang’, dagang ilmu keagamaan.
Hal inilah yang sebenarnya juga pernah penulis dengar dari guru-guru maupun senior. Konon, pada zaman dahulu, sebelum media menjadi aktor utama dalam dunia informasi, surau atau Pesantren telah melakukan publikasi atau ‘memassakan, ‘memasyarakatkan’, dan ‘membumikan’ Pesantrennya. Yakni melalui utusan-utusan yang disebut Pakiah tadi. Alhasil, gara-gara Pakiah berkunjung ke suatu daerah, maka daerah tersebut menjadi tahu akan keberadaan sebuah surau, Pesantren atau tempat mengaji. Andai saja tradisi ini tidak dilakukan oleh leluhur kita maka barangkali tidak banyak orang yang tahu karena satu daerah dengan daerah lainnya belum mudah diketahui dan dijelajah seperti saat sekarang ini. Yang pada akhirnya, akan bermuara kepada tidak banyaknya regenerasi calon-calon pemuka agama. Dengan kata lain, generasi berikutnya bisa terputus.
Oleh karena itu, mencela bahkan membawa dalil agama tentang meminta-minta untuk ‘membaca’ persoalan mamakiah bukanlah hal yang tepat. Persoalan ini tidak bisa dibicarakan dengan cara oposisi biner: hitam dan putih, boleh dan tidak boleh, apalagi halal dan haram. Persoalan ini harus dilihat dari konteks dan pengaruhnya terhadap, dan di dalam masyarakat. Ketiadaan sebuah surau atau Pesantren memakai jasa media pada dahulunya mungkin bisa dijadikan dalil bahwa mamakiah adalah agenda mulia dan perlu dilestarikan, bahkan menjadi kearifan lokal.
Baca Juga: Pakiah dan Gerakan Filantropi Masyarakat
Andaikan satu orang Pakiah saja yang mamakiah ke suatu daerah menemui puluhan rumah yang di dalamnya ada dua atau tiga orang penghuninya, maka satu orang Pakiah telah memberikan ‘nama facebook’ kepada ratusan orang, yang nantinya akan men’stalking’, ‘menambahkan teman’ bahkan me’like’. Kalau kita kalikan dengan jumlah Pakiah yang mencapai ratusan, maka sudah ribuan bahkan puluhan ribu orang sudah tahu tentang keberadaan surau atau Pesantrennya. Jumlah ini agaknya termasuk tinggi pada masa itu.
Jadi, dapat disimpulkan, bahwa pada waktu itu, Pakiah dengan agendanya adalah aktor informasi yang paling berpengaruh bagi sebuah surau atau Pesantren. Pakiah menjadi semacam media mainstream dalam hal hubungan surau atau Pesantren dengan masyarakat. Tanpa mengenyampingkan peran guru-guru yang aktif berdakwah di masyarakat. Meskipun demikian, ketentuan ini hanya dapat berlaku jika Pakiah bisa mempertahankannya dengan baik. Wallahu a’lam
Leave a Review