Oleh: Maulizal Akmal
Di antara Ilmu yang paling dijaga dan paling banyak diinayah oleh para ulama dan pelajar sepanjang masa adalah ilmu fikih. Mengingat karena fikih adalah ilmu yang menyangkut dengan perbuatan umat Islam, baik dalam kehidupan individual maupun kelompok. Sangat wajar jika di setiap generasi pasti banyak lahirnya fukaha. Namun demikian, menjadi pakar dalam bidang ini adalah hal yang sangat sulit (baca tulisan Serambi Salaf sebelumnya, Obral Dalil). Karena itu, kita awam dianjurkan untuk bermazhab, cukup memahami hukum-hukum yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama yang ahli dalam menelaah dalil-dalil hukum.
Mengenai mazhab, dalam dunia fikih Islam terdapat banyak sekali mazhab. Empat di antaranya yang paling mu’tabar dan paling berkembang. Umat Islam harus memilih salah satu dari empat mazhab ini sebagai pegangannya dalam beragama. Mazhab Hanafi, paling banyak dianut di kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan, di Mesir bagian Utara, dll. Mazhab Maliki, sangat berkembang di negara Afrika Barat dan Utara. Mazhab Syafi’i, memiliki pengikut terbanyak, terutama di kawasan Asia Tenggara. Terakhir, Mazhab Hanbali, pengikutnya kebanyakan di daerah Semenanjung Arab. Empat Mazhab fikih inilah yang diakui dalam akidah Ahlussunnah wal Jamaah.
Jika kita menilik kembali dalam sejarah, sebenarnya empat mazhab fikih ini saling terikat dan terhubung satu sama lain, seperti satu keluarga. Para Imam mazhab saling terhubung dalam ilmunya. Bahkan, mereka sepakat dalam dua per tiga masalah fikiyah, sedangkan sisanya bisa dikatakan bukan khilaf hakiki, tapi khilaf karena berbeda metode dalam menelaah dalil. Karena itu, di sini saya tertarik untuk menceritakan keterikatan antar mazhab ini, sebagaimana yang diceritakan Syekh Zahid Kautsary dalam maqalahnya.
Di masa Nabi, Nabi sendirilah yang menjadi rujukan hukum. Semua hal ihwal mengenai agama diatur langsung oleh Nabi sendiri. Di samping itu, Nabi juga mengajari para sahabat bagaimana cara mengistinbath hukum. Ada sekitar enam sahabat Nabi yang mampu berfatwa di masa itu. Setelah wafat Baginda Nabi, enam sahabat tadi menjadi rujukan fikih bagi sahabat lain, dan dari sinilah banyak lahirnya ahli fikih, baik dari golongan sahabat maupun tabi’in. Madinah saat itu adalah kota cahaya, sebagai tempat turunnya wahyu dan tempat menetapnya para sahabat tabi’in yang ahli dalam fikih, hingga berakhirnya masa pemerintahan Khulafa Ar-Rasyidin yang ke tiga, Ustman bin Affan.
Baca Juga: Sistem Mazhab dalam Islam
Karena di masa pemerintahannya Ali bin Abi Thalib, saat ibu kota Islam dipindahkan ke Kuffah, sebagian sahabat yang menetap di Madinah juga ikut hijrah ke sana. Tentunya, Kuffah bukanlah daerah yang awam dengan Ilmu fikih apalagi hadis, karena Kuffah memiliki ashab-ashabnya Ibnu Mas’ud, yang hijrah ke Kuffah di masa kekhalifahan Umar atas perintahnya sendiri. Datangnya Ali sebagai khalifah Islam dan pembesar-pembesar sahabat lain tentu disambut dengan gembira oleh para fukaha Kuffah. Berangkat dari sini, jadilah Kuffah sebuah kota yang tidak ada tandingannya dengan kota-kota lain di kekhalifahan Islam, karena banyaknya para fukaha dan muhadis serta orang orang yang ahli dalam ilmu al-Quran dan bahasa Arab.
Bisa diperkirakan jumlah sahabat yang berdomisli di Kuffah saat itu berjumlah 1.500 orang, Kata al-Ijly. Belum lagi sahabat yang hanya menetap sementara di Kuffah dan kemudian pergi ke daerah-daerah lain di Irak untuk berdakwah. Sehingga, Ibnu Sirin mengatakan saat memasuki kuffah, “aku melihat 4000 orang yang mencari hadis dan ada 400 orang yang belajar fikih.” Dari sinilah lahirnya sosok Abi Hanifah, Nu’man bin Tsabit, imamnya mazhab Hanafi.
Namun demikian, tak sedikit pula sahabat Nabi yang masih berdomisli di Madinah. Dari sahabat ini lahirnya mufti-mufti besar Madinah atau disebut Fukaha Sab’ah. Mereka adalah Ibnu Musayyab, Urwah bin Zubair, Qasim bin Muhammad, Kharijah bin Zaid, Abu Bakr bin Abdurrahman bin Haris, Sulaiman bin Yassar, Ubaidillah bin Abdullah. Sosok Imam Malik bin Anas, imamnya mazhab maliki adalah hasil bikinan murid-muridnya Fukaha Sab’ah.
Nah, seperti itulah ceritanya, mazhab Hanafi pun lahir dan berkembang di Irak, kemudian dikenal sebagai mazhab ahli Irak atau ahli Ra’yi, yang hebat dalam menganalisis suatu masalah, hebat dalam debat dan sangat ahli dalam masalah Qiyas. Sedangkan mazhab Maliki lahir dan berkembang di Madinah dan dikenal sebagai mazhab ahli Hijaz atau ahli hadis, karena banyak dan kuatnya periwayatan dan hafalan mereka terhadap hadis. Sekalipun dua mazhab fikih ini berkembang di tempat yang berbeda dengan cara yang berbeda, terdapat ikatan yang kuat antara sesama Imam besarnya.
Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya “Taqaddumah Ma’rifah al-Jarh wa At Ta’dil” menceritakan bahwa, Abu Hanifah di umurnya yang telah lanjut tidak enggan dan merasa rendah saat membaca kitabnya Imam Malik. Padahal beliau adalah pewaris ilmunya para murid Ibnu Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib. Di samping itu, Abu Hanifah adalah ketuanya Majma’ Fikih terbesar di Baghdad, suatu majelis yang membahas dan menganalisis masalah fikiyah beserta dalilnya dan diisi oleh 40 Fukaha kelas atas dari Ashabnya Imam Hanafi, Kemudian kesimpulan yang dihasilkan akan ditulis dan dijadikan kitab.
Begitu juga Imam Malik ra., beliau juga sempat berkomunikasi dan belajar langsung dengan Abu hanifah sewaktu beliau datang ke Madinah untuk melaksanakan ibadah haji sekaligus berziarah, bahkan Imam Malik juga menelaah kitab Abu Hanifah, hingga beliau mengumpulkan 60.000 masalah dari pembahasan Abi Hanifah. Jadi, wajar saja bila sebagian imam mazhab Maliki berwasiat untuk mengambil pendapat Imam Hanafi, jika tidak ada riwayaf dari Imam Malik sendiri. Dari sinilah Imam Hanafi dan Imam Malik terhubung satu sama lain.
Kemudian dari dua punggawa ini, imam besar Madzhab Syafi’i; Muhammad bin Idris, lahir. Di masa mudanya Imam Syafi’i hijrah dari Makkah ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik. Kemudian tahun di 184 H, Imam Syafi’i datang ke Baghdad untuk bertemu dengan Ashabnya Abu Hanifah. Di sana, beliau belajar dengan Muhammad bin Hasan, beliau juga belajar dari Yusuf bin Khalid as-Samty dan beberapa ashab Imam Malik lainnya. Imam Syafi’i berjaya menggabungkan antara mazhab hadis dan ra’yi, hingga kemudian ia digelari dengan Nashiru Sunnah. Di Irak Imam Syafi’i menulis pendapat qadimnya dalam kitab al-Hujjah, kemudian beliau hijrah ke Mesir dan menulis pendapat jadid dalam kitabnya al-Um.
Yang terakhir adalah Imam Hanbali, Ahmad bin Hanbal, Imam besarnya mazhab Hanafi. Imam Hanafi juga belajar dari ashabnya Imam Malik yaitu Abi Yusuf selama tiga tahun, beliau juga banyak menelaah kitab-kitabnya Muhammad bin Hasan dan Ahmad bin Hanbal sendiri adalah salah satu murid Imam Syafi’i yang terkemuka. Selain itu, Imam Hanbali juga menguasai fikih dari pembesar fukaha lain. sehingga, beliau menjadi rujukan terhadap masalah-masalah fikih dari berbagai imam fikih. Maka tak sedikit yang bertanya padanya tentang masalah fikih imam-imam lain, seperti Ahmad bin al-Farj yang bertanya padanya tentang fikih Imam Malik dan Ahli Madinah atau Ishak al-Kausaj yang bertanya padanya tentang fikih Abu Hanifah, dll.
Namun, Imam Ahmad bin Hanbal tidak menulis pendapat-pendapatnya, agar terhindar dari pengikut. Sehingga ketika ada yang meriwayatkan pendapat darinya beliau tak segan-segan untuk merujuknya. Seperti yang terjadi saat Ishak al-Kausaj meriwayatkan pendapat dari Imam Hanbali di Khurasan, Ahmad bin Hanbal langsung mengumpulkan para ashabnya untuk menyaksikan bahwa ia telah rujuk dari pendapat itu, bukan karena pendapatnya lemah, tapi hanya karena sikap wara’nya yang tidak ingin diikuti. Nah, akibat dari tidak adanya tadwin terhadap pendapat sang Imam adalah banyak terjadinya ikhtilaf terhadap pendapat imam. Bahkan, dalam satu masalah ikhtilafnya bisa mencapai 20 riwayat. Maka, banyak dari ulama mutaakhirin mazhab Hanbali yang mencoba berkelana ke berbagai negara untuk mengumpulkan dan menulis pendapat-pendapat Imam Hanbali. Salah satunya seperti Abu Bakar bin al-Khalal, beliau berhasil mengumpulkan masalah-masalah yang dirumuskan Imam Hanbali dengan riwayat yang berbeda-beda dalam 40 jilid.
Ini adalah cerita singkatnya. Jadi tidak alasan untuk menyalahkan mazhab lain atau membanding-bandingkan mazhab, apalagi tidak bermazhab. Dari sini sudah jelas, empat mazhab saling terikat satu sama lain, seperti satu keluarga.
Wassalam
*Tulisan Ini Juga dimuat di Serambi Salaf
Leave a Review