Biduk Tarbiyah Islamiyah
Setiap tahun warga Tarbiyah Islamiyah selalu mengulang-ulang ingatan. Bercakap-cakap dan memperbincangkan langkah heroik, dan menapak tilas perjuangan ulama-ulama tuo Pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Ada dua makna, yang dapat disimpulkan dari ritual ini. Pertama, merayakan identitas yang kian lama-lama kian rapuh. Berharap, identitas itu dapat dipelihara melalui prosesi mengingat sejarah dan kisah. Kedua, berusaha membangkitkan kesadaran bertarbiyah—sadar jo nilai; dan sadar jo kaji. Kesadaran itumeski kian sirna dan meredup, kesadaran bertarbiyah Islamiyah masih punya daya untuk bertahan melintasi zaman, dan menempati dada warganya. Namun, belakangan ini ada yang berbeda jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ada beberapa arus yang tumbuh sebagai sebuah kesadaran terkait perlakuan, dan sikap kita terhadap Tarbiyah Islamiyah. Dua arus ini, jika tidak berlebihan disebut dengan arus kultural dan arus struktural. Bagaimana dua arus ini menumbuh? Bagaimana keduanya bersikap terhadap Tarbiyah Islamiyah, ini yang perlu diurai berdasarkan pengamatan dan pemahaman sebagai ‘urang dalam’ atau bagian dari Tarbiyah Islamiyah itu sendiri.
‘Urang dalam’ secara sederhana dimaknai sebagai orang yang bersentuhan dengan dua arus yang tadi disebutkan. Berbagi pengalaman, dan menimba hal yang bersifat asal jo usul (baca: epistemik) dari keduanya. Gerakan kultural atau lebih tepat dalam konteks tulisan ini, meminjam istilah yang dikemukakan oleh Ngatawi Al-Zastrow, disebut dengan arus kultural adalah gerakan yang menggunakan pendekatan kultural untuk melakukan perubahan kultural dengan memanfaatkan atau mengeksplorasi potensi kultural seperti adat, tradisi, sistem nilai, pengetahuan dan seni yang ada dalam satu komunitas. Hal ini dapat dirasakan. Denyut kehadiran Tarbiyah Islamiyah kultural, dirasakan dengan nyata dalam realitas virtual. Media yang mengeksplorasi khazanah, turats, dan memori-imajiner terkait tokoh ulama mulai muncul, dan salah satunya adalah www.tarbiyahislamiyah.id [dan kanal Kaji Surau]. Tidak hanya itu, ada jejaring yang menopang hal ini. Kendati tidak seluas jaringan kultural yang ada pada organisasi mainstream seperti Nahdatul Ulama ataupun Muhammadiyah. Tapi jaringan kultural Tarbiyah Islamiyah ini justru tumbuh secara unik, dan berbeda. Dua kategori diungkapkan dengan alasan bahwa jejaring itu tumbuh justru dari angkatan baru, yang masih segar, dan terbilang baru mengkhatamkan kaji di pesantren Tarbiyah Islamiyah. Mereka menyebut diri sebagai ‘si bungsu’. Mereka tidak peduli dengan hingar bingar hal-hal struktural. Mereka hanya tahu, kalau tengah haus akan kaji dan bagaimana mengejawantahkan secara luas.
Baca Juga: Katidiang Masalah Generasi Bungsu Tarbiyah Islamiyah
Jejaring tersebut tidak tumbuh pada kalangan akademisi kampus, yang bergelut dalam wacana akademik yang distortif. Penuh dengan bias pandangan dunia, atau world view. Bahkan sarat akan kepentingan. Karena memang nyaris, kalangan intelektual Tarbiyah Islamiyah sudah “bersitungkus lumus”; terwarnai dengan hal-hal yang berada di luar tradisi Tarbiyah Islamiyah itu sendiri. Alhasil, apapun gerakan wacana pengetahuan yang keluar pada generasi intelektual kampus dari kalangan Tarbiyah Islamiyah dan membicarakan Tarbiyah Islamiyah diragukan sebagai sebuah ‘kaji’ dan kepercayaan—untuk menyebutnya dengan basa-basi. Berbeda dengan arus baru ini. Secara intuitif, arus baru ini tumbuh dari kesadaran dan kegelisahan kultural. Bukan kegelisahan secara politis. Kegelisahan kultural bermakna, kegalauan yang tumbuh melihat khazanah pengetahuan dibiarkan terserak, dan tidak dikemasi untuk kemudian khazanah itu di-katangah-kan kembali sebagai ‘kaji’ melalui teknologi informasi. Maka lahirnya Channel Kaji Surau di Youtube, dan website tarbiyahislamiyah.id [dan kanal Kaji Surau] sebagai ruang kreativitas, dapat dimaknai dalam ranah ini. Namun, siapa yang dapat menyangka? Tirakat yang dilakoni oleh jejaring kultural ini justru mengejutkan warga Tarbiyah Islamiyah, yang tadinya tak lagi melirik Tarbiyah Islamiyah, bahkan tak jarang banyak yang mencari sumber pencerahan di luar tradisi Tarbiyah Islamiyah itu sendiri, kini mulai menimbang-nimbang kembali tradisi. Bahkan secara personal, kebanggaan pun muncul. Anak siak mulai menuliskan pengalaman berharga mereka terhadap ritus sebagai santri, dulu yang mereka lakoni. Kebangaan pun mulai tumbuh, meski dalam skala yang relatif kecil. Mengetengahkan kaji seperti yang dilakukan arus kultural ini adalah usaha babaliak ka madrasah [dalam arti kultural] dan ini adalah ejawantah dan kontekstualisasi usaha yang dilakukan oleh ulama tuo, tempo doeloe, mengetengahkan kaji. Hanya saja ruang, dan media yang jauh lebih luas daya jangkaunya.
Siapa kira nantinya, justru usaha-usaha kultural yang dilakukan oleh arus pertama tadi dapat menjadi ‘mata air’ bagi model beragama bagi Jamaah Tarbiyah Islamiyah. Model sesungguhnya. Model yang digali secara serius dengan semangat ‘mangaji’ dari turast milik otentik Tarbiyah Islamiyah. Maka, warga Tarbiyah Islamiyah yang tadinya mulai melirik bahkan mengamalkan tradisi di luar Tarbiyah Islamiyah [mungkin menjadi wahabi]. Barangkali, dapat berbalik ke kaji yang sudah terkembang, dan diteguk sebelumnya, doelo waktu menjadi anak siak di Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Agaknya inilah makna yang dapat diberikan pada kerja kultural mempertalikan adat dan syara’ seperti tagline portal tarbiyahislamiyah.id [dan kanal Kaji Surau]. Ciri lain dari arus ini [mungkin] sikap yang defensif terhadap hal yang berasal dari organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Sikap ini dapat dibenarkan secara historis. Karena Persatuan Tarbiyah Islamiyah selama ini nyaris kehabisan energi untuk mengurusi hal-hal selain kultural. Alih-alih menyambung tradisi, dan menjaga tradisi, Persatuan Tarbiyah Islamiyah justru terpuruk pada hal yang bersifat konfliktual. Inilah wajah kedua dari arus Tarbiyah Islamiyah, yakni wajah struktural dari warga Tarbiyah Islamiyah.
Sebenarnya arus kedua ini [juga] sudah mengakar, dan bahkan menua. Ciri dari arus ini cenderung [suka] memahami realitas Tarbiyah Islamiyah dalam perspektif organisasi. Bahkan dalam satu Zoominaris yang diadakan oleh Ikatan Pemuda Tarbiyah Islamiyah Sumatera Barat, Prof. Dr. Sufyarma Marsidin dengan lugas menyatakan posisinya dalam arus ini, dan mengemukakan bahwa “organisasi adalah alat perjuangan untuk Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Bukan justru sebaliknya.” Hal yang sama juga diungkapkan oleh Dr. Murkilim, M.Ag dalam acara Zoominaris halal bi halal Pengurus Daerah Tarbiyah-Perti Provinsi Bengkulu, bahwa organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah, mestilah dipimpin oleh individu yang lahir dari rahim Tarbiyah Islamiyah. Sehingga, organisasi tidak hanya [ditumpangi] oleh orang yang naik di tengah jalan. Bagaimana dua pernyataan ini dimaknai? Secara psikologis, kalimat ini tentu merefleksikan kegalauan yang setara dengan kegalauan yang tumbuh pada arus kultural. Galau terhadap hal ‘terbengkalai’, dan ‘kehilangan pegangan’. Hanya saja, arus struktural yang digawangi oleh intelektual, dan ulama yang menjadi pengurus Persatuan Tarbiyah Islamiyah masih mencari arah, kemana biduk Persatuan Tarbiyah-Perti yang baru saja bangkit dari konflik yang panjang ini, akan dibawa? Ada dua formula muncul yang muncul sebagai ide dikalangan Pengurus Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Pertama, ‘babalik ka madrasah’ dalam makna struktural. Dalam hal ini organisasi Tarbiyah-Perti [mesti] menjadi pelayan bagi Madrasah Tarbiyah Islamiyah, pelayan dalam makna luas tentunya. Kedua, kesadaran ukhawiyah. Persatuan Tarbiyah Islamiyah, tidak akan dapat berbuat banyak, jika komponennya tercerai berai. Berjalan secara individual, dan saling melepaskan diri. Tidak ada satu kesatuan yang koheren. Ini pula agaknya, yang mendorong Pengurus Daerah Tarbiyah-Perti [berusaha] membangun silahturahmi dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah—rahim dimana Persatuan Tarbiyah Islamiyah lahir. Namun, belum ada rumusan konkrit dari i’tikad itu secara organisasi pula.
Pertanyaan lain yang layak diajukan dalam tulisan ini adalah: keunggulan dan kekurangan seperti apa yang ada pada dua arus ini ketika berusaha mengembangkan layar Tarbiyah Islamiyah? Membentangkan ‘jawaban’ dari pertanyaan adalah hal yang sulit, dan tentu saja sangat subjektif sebagai ‘orang dalam’. Karena, belum tentu keunggulan yang diajukan disini berupa pengalaman otentik pelakon dari dua arus [yang sepertinya berseberangan]. Hanya sekadar opini, mungkin. Namun perlu juga agaknya diketengahkan. Kerja-kerja kultural yang dilakukan oleh warga Tarbiyah Islamiyah yang berada di luar pengurus organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah sudah tepat, dan akan mendapatkan sambutan yang layak dari jamaah Tarbiyah Islamiyah. Karena sesuai dengan momentum dan kebutuhan warga Tarbiyah Islamiyah, yang rindu akan kaji yang selama ini tertutup kerak-kerak tradisi lain di luar Tarbiyah Islamiyah.
Sudah barang tentu, produk [misal bacaan ringan terkait amaliah fikih; tradisi tasawuf; ajaran moral dan lain sebagainya] akan dibutuhkan umat. Artinya, arus kultural ini akan bertahan karena hadir sebagai ‘panjawek’ dari ‘tanyo’ warga Tarbiyah Islamiyah terhadap tradisi [dalam makna luas] Tarbiyah Islamiyah. Hanya saja tantangan, yang barangkali dihadapi adalah tak banyak pelakon yang akan bersitungkus lumus dengan kerja-kerja kultural semacam ini. Sementara itu, dari dulu keunggulan gerakan struktural adalah jejaring yang dimiliki lebih luas, dan bahkan lebih menjanjikan—seperti warga Tarbiyah Islamiyah yang punya bakat politik, tentu akan memilih bergabung dengan arus kedua ini. Begitu intelektual kampus, yang membutuhkan dukungan struktural, pun akan cenderung menjadi lakon pada gerakan struktural. Kendati secara organisasi, Persatuan Tarbiyah Islamiyah juga tidak memiliki bergaining yang kuat terhadap kekuasaan. Tidak seperti organisasi se-zamannya [NU; Muhammadiyah] yang menjadi palon utama di pentas politik nasional. Demikian, sekadar dan pembacaan ala kadarnya sebagai bagian dari warga Tarbiyah Islamiyah.
***
SEBAGAI KHATIMAH: membaca zaman agaknya penting dilakukan untuk mencari arah, kemana Tarbiyah Islamiyah mesti berlayar. Ada beberapa pra-kondisi untuk merumuskan argumentasi, dan menjadi ‘dalil’ atas tawaran arah yang layak dilakoni oleh warga Tarbiyah Islamiyah. Pertama, perkembangan arus informasi dan teknologi yang menyertainya, mendorong warga Tarbiyah Islamiyah harus pandai berdamai dan menjadikan perkembangan teknologi sebagai alat untuk menyampaikan ‘kaji’. Jika tidak, kekhawatiran, kaji dialih faqih singgah, justru akan terus menjadi kebenaran dan pada akhirnya diterima sebagai bagian dari kebenaran itu sendiri. Maka pada saat itulah, surau dalam arti tradisional akan mengalami keruntuhan. Faqih harus mengambil peran sebagai penyampai kaji ke masyarakat luas, tentu melalui kekuatan sosial media; dan teknologi informasi lainnya. Agar kaji yang disampaikan, dapat menjangkau semua lapisan masyarakat. Maka, kerak tradisi beragama dan ber-Islam bukan dari rahim i’tikad ahlussunah wal jamaah, dapat dikikis secara perlahan. Terutama untuk kalangan warga Tarbiyah Islamiyah, atau tarbiyin yang sudah terlanjur beramaliah dengan tradisi dan manhaj di luar Tarbiyah Islamiyah.
Baca Juga: Manyilau Tarbiyah dalam Kolak Sarabi Cerita Geladir dari Sutan Pamenan
Sedangkan untuk arus Struktural, agaknya ada banyak yang dapat dibenahi. Pertama, bermula dari niat. Perbaharui niat dalam menakhodai organisasi. Sebab, menakhodai Organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah, bukan untuk ranah ‘mengadangkan diri’. Tapi menjadi ranah perjuangan untuk membesarkan madrasah, dan mengayomi sekolah. Meskipun Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang diayomi, bukan milik organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Jalan ketiga, yang barangkali perlu ditimbang-timbang adalah jalan bagi aktivis sosial, yang akan melakoni kerja-kerja sosial-enterpreneuship. Mereka lah yang akan merajut Tarbiyah Islamiyah Kapital, dan mengumpulkan sumber-sumber filantropi untuk kemudian disalurkan sepenuhnya kepada Tarbiyah Islamiyah secara luas. Jalan ketiga inilah yang akan membangun; mengelola; dan mendistribusikan Tarbiyah Islamiyah Kapital, misalnya zakat; infak; dan sedekah. Jalani ini dapat dilakukan dengan gerakan filantropis untuk sepenuhnya pada upaya menopang Madrasah Tarbiyah Islamiyah dan warganya. Tidak dapat dipungkiri. Ada dua tipologi tenaga pengajar di Madrasah Tarbiyah Islamiyah, yakni: tenaga pengajar dari Kementerian Agama Republik Indonesia, dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil. Maka, dapat disimpulkan seluruh persoalan hidup tenaga pengajar dalam tipologi ini [sudah selesai] dengan tanggungan negara. Bagaimana dengan para tenaga pengajar yang berada di bawah Yayasan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Terlepas, adanya semangat mengabdi dan muklishin. Namun sebagai jejaring sosial, maka organisasi dan warga Tarbiyah Islamiyah tidak selayaknya berdalih ‘mereka ikhlas mengajar’, maka tidak perlu diperhatikan. Mana lagi ladang amal kita sebagai warga Tarbiyah Islamiyah, jika bukan memberikan kapital kepada sang pemberi ilmu. Allahu A’lamu Bis-shawab.[]
Biduk Tarbiyah Islamiyah Biduk Tarbiyah Islamiyah Biduk Tarbiyah Islamiyah Biduk Tarbiyah Islamiyah
Leave a Review