Kematian suatu kenikmatan, lebih-lebih bagi mereka yang percaya bahwa dengan kematian dia kembali menemui Tuhan. Kematian suatu kenikmatan juga diisyarakan al-Qur’an dan Sunnah seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]: 28.
***
Dalam Islam, kematian adalah salah satu tahapan perjalanan yang pasti dilalui oleh semua manusia. Jika dipahami dan disikapi dengan cara yang benar, sesungguhnya kematian adalah nikmat yang patut disyukuri. Inilah poin penting yang ingin disampaikan Prof. Quraish Shihab, dalam buku yang berjudul Kematian Adalah Nikmat ini.
Lewat penelusuran terhadap pandangan pelbagai kalangan, mulai dari filsuf, ilmuwan, agamawan, dan tentu saja al-Qur’an, Buku Quraish Shihab ini hendak menegaskan bahwa, tak ada manusia yang luput dari kematian. Percuma saja menghindarinya. Cara terbaik menghadapinya adalah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Karena dengan kematian sesungguhnya manusia tengah memasuki babak baru dalam kehidupannya.
Sebenarnya, kalau ditelisik, kata maut dalam berbagai bentuk, merupakan kata yang paling populer dan paling banyak digunakan al-Qur’an; tidak kurang dari 50 kali. Jelas sudah bahwa kata maut dalam berbagai bentuk terulang di dalam al-Qur’an sebanyak 145 kali serupa dengan pengulangan kata “Hayat” (hidup).
Akibat keluarnya nyawa (ruh), maka sosok yang mengalami maut itu telah ditinggalkan oleh nyawanya, dan kembali menemui penciptanya serta ditempatkan di satu tempat yang belum dikenal hakikatnya oleh manusia yang hidup di pentas bumi ini. Yang ditinggalkan oleh nyawanya (dalam pandangan manusia yang masih hidup), telah menjadi satu sosok yang kualitasnya telah amat sangat menurun, kalau enggan berkata “telah tiada”, sehingga ia tidak berfungsi lagi dalam pentas bumi ini. Allah pun telah membebaskannya dari aneka tugas.
Di sisi lain, dapat dilihat dengan jelas betapa kuatnya “nyawa”. Seorang manusia yang beratnya katakanlah 100 kg, dengan mudah digerakkan oleh nyawanya ke kiri dan ke kanan, berlari dan melompat. Tetapi, begitu nyawa meninggalkannya, maka bukan saja ia sudah tidak dapat bergerak, tetapi diperlukan beberapa orang kuat untuk mengusungnya. Ini seharusnya memberi pelajaran setiap orang agar memberi perhatian lebih besar kepada ruh. Sebab, itulah yang lebih berperan, bukan saja di akhirat nanti, tetapi juga di dunia ini.
Kematian terjadi setiap saat
Para ilmuwan menegaskan bahwa kematian dialami manusia setiap saat, sebelum jantung berhenti berdenyut dan sebelum otak mengalami kelumpuhan, kematian sudah berulang kali berkunjung kepada setiap orang. Demikian kata ilmuwan. Ini karena, menurut mereka, setiap saat dalam diri setiap makhluk hidup terjadi kerusakan sel-sel tertentu yang mengakibatkan tidak berfungsinya lagi sel-sel tersebut atau dengan kata lain “kematiannya”.
Kerusakan itu disebabkan karena makhluk hidup pada dasarnya bergerak. Sedangkan pergerakan memerlukan energi, dan energi yang digunakan pastilah berkurang apabila tidak terbarui, bahkan dapat habis atau tidak dapat berfungsi.
Setiap detik dalam perjalanan usia manusia, jutaan sel digunakannya, lalu mati atau punah sehingga ia perlu diperbarui demi kelanjutan hidup, tak ubahnya seperti mesin yang bautnya telah aus. Ia perlu diganti, tetapi pada mesin ketergantiannya tidak secara otomatis. Pada mesin dibutuhkan tangan dan upaya manusia untuk memperbaiki dan menggantinya. Ini berbeda dengan makhluk hidup.
Allah menganugerahi makhluk hidup kemampuan untuk mengganti dan memperbaiki dan memperbarui sel-sel yang telah mati (aus) itu dengan sel-sel baru dan juga dalam hal-hal tertentu menyembuhkannya bila ditimpa penyakit-penyakit tertentu.
Sel-sel yang sudah saatnya diganti itu tidak dapat digunakan lagi. Dengan kata lain, sel-sel tersebut telah mengalami kematian. Bukankah kematian adalah tidak berfungsinya lagi sesuatu sesuai yang diharapkan darinya? Kematian sel-sel itu terjadi setiap detik. Namun, kematiannya pada sosok makhluk hidup, termasuk manusia, adalah demi kelangsungan hidupnya. Kematian manusia meninggalkan pentas bumi ini dapat dipersamakan dari segi tujuannya dengan kematian sel-sel itu, yakni demi hidup yang berkesinambungan di akhirat nanti.
Proses yang terjadi pada diri setiap insan, yakni menggunakan potensi yang terdapat dalam tubuhnya guna mempertahan kehidupan, digarisbawahi oleh sementara ulama ketika mereka berbicara tentang bolehnya memakan makanan yang haram dalam keadaan darurat. Mereka mengingatkan bahwa, sebelum melangkah kepada makanan yang haram itu, seseorang hendaknya jangan terlalu khawatir tentang kelangsungan hidupnya begitu ia merasa lapar, karena Allah telah memberi makhluk hidup, termasuk manusia, potensi perut kosong dari makanan, masih ada yang lain dalam mempertahankan hidupnya melalui jasmaninya.
Kalau tubuh manusia yang dapat melanjutkan hidupnya, ia memiliki lemak, daging, bahkan kalau ini pun telah habis, tubuhnya akan mengambil dari tulangnya, bahkan dia akan tetap dapat hidup walau jantungnya tidak berdenyut lagi, selama otaknya masih berfungsi. Itu sebabnya, ada orang yang telah berhenti denyut jantungnya, lalu diresusitasi (ditekan-tekan dadanya dengan keras dan di entak-entakkan), lalu tidak lama kemudian jantungnya dapat kembali berdenyut. Dia pun dapat bertahan hidup hingga masa yang ditetapkan Allah bagi kepulangannya kepada-Nya.
Kematian suatu kenikmatan
Yang jelas, jika tak ada kematian bumi akan penuh oleh penghuninya dan manusia akan kehabisan lahan tempat tinggal. Sementara orang berkata: “Siapa yang telah mencapai usia sembilan puluh, maka pastilah ia bosan hidup.” Karena itu, kematian suatu kenikmatan, lebih-lebih bagi mereka yang percaya bahwa dengan kematian dia kembali menemui Tuhan.
Apakah engkau takut mati? Tanya seseorang kepada penduduk gunung. Yang ditanya balik bertanya: Kepada siapa aku menuju jika aku mati? Kepada Tuhan. Jika demikian, aku tak takut, karena aku yakin bahwa Tuhan Maha Baik sehingga kuharap Dia menyambutku dengan baik.
Sikap serupa dikemukakan oleh filsuf dan sastrawan Mesir kenamaan dan yang dikenal jenaka Taufiq al-Hakim (1898-1987 M). Ketika ia sakit, yang mengakibatkan kematiannya, ia dikunjungi oleh beberapa koleganya dan ia menyampaikan kepada mereka optimismenya menyangkut kematian dan perjumpaan dengan Allah.
Dia berkata: “Aku, insyaallah, akan masuk ke surga. Allah telah memberiku akal yang kecil, umur yang pendek, alam raya yang amat hebat, maka bagaimana aku dapat memahami alam raya yang hebat ini dengan akalku yang sedikit dan umurku yang pendek. Aku pasti melakukan kesalahan. Kesalahan itu disebabkan oleh ketidakmampuanku paham dan aku percaya bahwa itu sudah cukup mengantarku ke surga, karena Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.”
Al-Qur’an dan Sunnah juga mengisyaratkan bahwa kematian suatu kenikmatan. QS. Al-Baqarah [2]: 28. Menariknya, Muhammad Iqbal, filsuf Pakistan kenamaan, juga berpendapat demikian. Filsuf ini menunjukkan firman Allah dalam QS. Maryam (19): 93-95.
Menurut Muhammad Iqbal “Manusia yang terbatas akan mendapat kehormatan menghadap Allah yang tidak terbatas. Mereka menghadap untuk menyaksikan buah amal perbuatan mereka. Apa pun kesudahan manusia, sama sekali tidaklah berarti hilangnya kepribadiannya.”
Al-Quran, lanjutnya, “tidak menganggap keterbebasan sempurna dari keterbatasan sebagai puncak kebahagiaan manusia, tetapi ganjaran sempurna adalah pada penahapan penguasaan dirinya, keunikan dan kekuatan kegiatannya dalam kedudukannya sebagai ruh, sampai-sampai kehancuran alam raya yang mendahului perhitungan ilahi sama sekali tidak memengaruhi jiwa yang telah sempurna perkembangannya.”
Benar apa yang dikemukakan Iqbal di atas, karena surga dengan segala isinya sungguh kecil dibandingkan dengan ridha Allah (dan memandang wajah-Nya). QS. at-Taubah [9]: 72. Mereka yang taat itu akan merasa aman dari rasa takut yang mencekam ketika itu (Baca antara lain QS. an-Naml [27]: 89 dan al-Anbiya’ [21]: 1-3). Sekali lagi, betapa kematian tidak merupakan nikmat, padahal bagi yang taat kematian merupakan jalan menuju kebahagiaan abadi.
Selanjutnya, penting ditambahkan dalam konteks memahami nikmat yang diakibatkan oleh kematian. sabda Nabi saw. yang beliau sampaikan ketika di hadapan beliau diusung satu jenazah. Beliau bersabda: (مستريح او مستراح منه) “Mustarih au Mustarah minhu”?
Ketika ditanya apa yang beliau maksud dengan kalimat itu, beliau menjawab:
العبد المُؤمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَب الدُّنْيَا وَأَذَاهَا إلَى رَحمَةِ اللَّهِ والعبد الفاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلادُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَاب
“Seorang hamba Allah yang Mukmin (yang wafat) mustarih karena dia telah terbebaskan dari kesulitan dan kepayahan hidup duniawi menuju ke rahmat Allah, sedang hamba pendurhaka Mustarâh minhu yakni manusia, binatang, dan tumbuhan-tumbuhan telah terbebaskan dari aneka gangguannya”. (HR. Bukhari , Muslim, dan lain-lain).
Demikian, mati menjadi nikmat. Itu juga sebabnya Nabi saw. menganjurkan agar bersegera menguburkan mayat yang diusung agar almarhum segera mendapatkan kenikmatan yang dijanjikan dan menyegerakan juga mendiang yang durhaka, “karena tidak baik kalian mengusung berlama-lama siapa yang durhaka,” demikian Nabi saw.
Kontribusi buku
Buku yang ditulis Prof. Quraish Shihab ini memberikan pemahaman bagi kita bahwa, kematian itu pasti akan datang. Memang, banyak manusia tidak menyadari persoalan hidup dan mati, bahkan seperti ucap Sayyidina Ali ra: “Banyak yang melihat kematian, tetapi menduganya hanya menimpa selainnya dan lupa bahwa suatu ketika dia pun akan mati. Ketika mengantar jenazah kita menduga kita mengantar musafir yang sebentar lagi akan kembali, tetapi tidak demikian itu halnya.”
Lebih dari itu, buku ini juga seakan memberi pengantar, bahwa hidup dan mati silih berganti. Pergantian itu menyangkut individu dalam masyarakat makhluk hidup, termasuk masyarakat manusia. Bahkan pergantiannya terjadi dalam diri setiap orang. Artinya, dalam diri setiap orang dan pada setiap saat silih berganti terjadi kematian dan kehidupan. Sekali lagi, hidup dan mati silih berganti. Itu adalah sunnattullah dalam ciptaan-Nya. Wallahu a’lam bisshawab.
Data Buku:
Judul Buku: Kematian Adalah Nikmat
Penulis: M. Quraish Shihab
Penerbit: Lentera Hati
Cetakan: Pertama, April 2018. Kedua, Maret 2022.
Tebal: 302 hlm: 13 x 19 cm
ISBN: 978-602-7720-81-7
Pengulas: Salman Akif Faylasuf
)* Oleh: Salman Akif Faylasuf: Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
Leave a Review