scentivaid mycapturer thelightindonesia

Kenangan Semasa Kecil: Puasa (dan Lebaran) di Kampung

Kenangan Semasa Kecil: Puasa (dan Lebaran) di Kampung

Kenangan Semasa Kecil: Puasa (dan Lebaran) di Kampung

Muhamad Radjab (1913-1970), wartawan dan pengarang asal Sumpur, Maninjau, yang tulisannya terkenal sarkas, terutama mengenai hal-ihwal Minangkabau, ternyata keok juga mengenang kehidupan kampung halaman yang sudah lama ia tinggalkan. Dalam bukunya, Semasa Kecil di Kampung  (terbit pertama kali tahun 1950 oleh Balai Pustaka, dan terbit ulang November 2019 atas kerjasama Balai Pustaka dengan Gramedia)ia menceritakan hal-hal kecil pada masa ia kecil yang boleh jadi bersifat klangenan, tapi tidak, pengalaman itu justru jejak nyata seorang Radjab. Salah satu kenangannya paling berkesan adalah suasana bulan puasa di kampung, cerita yang menyita banyak halaman dalam buku tersebut– dan sedikitnya saya pinjam buat catatan ini.

Bab “Puasa” ada 32 halaman (halaman 144-175), hanya Bab “Mengaji di Pesantren” yang mungkin bisa menyamai atau mengalahkannya, yakni 34 halaman (84-118). Tapi jika ditambahkan Bab “Lebaran” karena biasanya ini satu “paket” dengan Puasa, maka ada tambahan sebanyak 10 halaman (halaman 176-185) sehingga totalnya menjadi 42 halaman, mengalahkan “Mengaji di Pesantren”.

Dalam Bab Puasa tersebut, M. Radjab menceritakan panjang lebar dan detail kurenah (perangai)-nya bersama kawan-kawannya pada masa kecil. Bagaimana mereka tidur sepanjang hari di surau, mandi ke batang air sambil menyelam minum air, salat tarawih tapi akan menghilang ketika mulai rukuk atau sujud. Radjab terpaksa ikut salat tarawih karena takut kepada ayahnya yang tak lain imam sembahyang di masjid kampungnya. Kebebasan dan kemerdekaan sangat terasa, khas dunia anak, meski dunia pembelajaran dan keharusan menjalankan perintah agama juga sangat kentara dari perintah orang tua.

Bagi seorang muslim, bulan puasa memang membawa kenangan tersendiri yang sangat berkesan di hati. Karena itulah kerinduan pada bulan puasa, dan juga lebaran, di kampung—terutama bagi mereka yang merantau—menjadi romantika sepanjang hidup. Saya pikir bukan hanya menyangkut kultur, namun juga bernilai spritual. Inilah agaknya penyebab gejolak ketika Lebaran tahun ini mudik atau pulang kampung dilarang terkait wabah yang melanda dunia. Meskipun banyak juga yang lolos main kucing-kucingan—pertanda kerinduan puasa dan lebaran di kampung sebenarnyalah tak terbendung.

Bagi sastrawan, ramadan dan juga lebaran merupakan dunia yang tak ada habisnya diteroka menjadi karya sastra. Bukan hanya menjadi semacam klangenan penulis pemula, sastrawan kenamaan pun ambil bagian. Mulai Hamsad Rangkuti yang sangat banyak mengolah tema ini, di antaranya “Kolak Ketan Durian”, “Nyekar”, dan “Malam Takbiran”. Umar Kayam dengan cerpennya “Maryati”, “Lebaran, di Karet, di Karet,” atau “Lebaran Tahun Ini Saya Tidak Pulang”.

A.A. Navis menulis “Tamu yang Datang pada Hari lebaran”, Gus tf Sakai dengan “Gambar Bertulisan Kereta Lebaran” atau “Lebaran, Jangan, Jangan”, Triyanto Triwikoromo menulis “Seperti Gerimis yang Meruncing Merah”, atau “Angin dari Ujung Angin”. Begitu juga cerpenis lain seperti Yanusa Nugroho, Yusi Avianto Pareanom atau Yusrizal KW, pernah menulis cerpen tentang puasa dan/ lebaran. Penerbit Buku Kompas sampai menerbitkan cerpen-cerpen lebaran ini dalam satu buku khusus. Dan secara tidak langsung, edisi cerpen koran yang terbit menjelang lebaran menjadi semacam kompetisi siapa yang akan “terpilih” mewakili cerita hari raya ala cerpenis. Ini tak terhitung pula yang meresponsnya dalam bentuk puisi religius-spritual maupun refleksi sosial dan renungan kultural.

***

Sama seperti Radjab, dan banyak Radjab yang lain, saya juga memiliki kenangan cukup mendalam dengan bulan puasa (dan kemudian Lebaran) di kampung. Sejumlah cerpen pernah saya tulis tentang ini, seperti “Lebaran di Laut, di Laut”, “Dan Fajar pun Terbit”, “Kue-Kue Lebaran, Kue-Kue dalam Kaleng”, “Aroma Doa Bilal Jawad” dan lain-lain. Cerita-cerita tersebut berpusar atau diilhami kenangan saat bulan puasa di kampung.

Bulan puasa di kampung saya, sebagaimana lazimnya kampung Minangkabau, diawali dengan balimau—mencuci muka dengan keharuman air limau sambil mendaras doa dan nawaitu—itu meninggalkan aroma mendalam dalam kalbu. Ia seolah menguatkan hari-hari berikutnya, meski bagi kami anak-anak, puasa tetap saja hari-hari panjang menahan lapar dan haus. Kami harus meringkuk menunggu bedug ditabuh, namun semua itu terasa mengasyikkan karena kami bisa berkumpul seharian di masjid (dulu selama ramadan sekolah diliburkan) dan pada saat tertentu kami pergi ke bandar gadang untuk berendam dan mandi-mandi.

Sore hari, kampung akan diramaikan oleh anak-anak penjual pabukoan yang ditarok di atas talam atau baskom kemudian mereka sunggi di atas kepala. Pedagangnya adalah anak-anak seusia atau sedikit di atas kami, dari kampung “dalam” (artinya, kampung masuk ke dalam, tidak terletak di tepi jalan raya, Jalan Lintas Barat Sumatera) seperti Lubuk Batu dan Lampanjang. Kami kagum kepada mereka yang ulet, dan ayah-ibu kami pun kerap mencontohkan mereka soal kerja keras jika kami dianggap malas. Tak ada bully kepada mereka seperti dialami pedagang jalangkote di Pangkep baru-baru ini.

Saya tidak tahu mengapa segmen pabukoan ini diramaikan oleh mereka, tapi saya duga karena kampung-kampung tersebut menghasilkan singkong, ubi jalar (telo) dan pisang. Bahan-bahan itulah yang diolah oleh ibu-ibu di kampung tersebut menjadi lapek bugih, limpiang, kue talam atau onde-onde, dan kebetulan anak-anak mereka juga rajin dan mau menjajakannya sampai jauh ke kampung kami. Dari Lubukbatu atau Lampanjang ke Taratak Lansano mereka harus menempuh jalan memutar ke arah jembatan, sebab belum ada jalan tembus seperti sekarang. Karena itu, selepas asar mereka sudah jalan berpencar dan sejam sebelum berbuka mereka sudah lenyap kembali masuk ke kampung “dalam”.  

Menjelang bedug ditabuh, kami pun siap di rumah masing-masing untuk berbuka bersama keluarga. Selain bedug penandanya adalah azan di RRI Padang yang selalu bergema tepat waktu dari radio dua band yang dinyalakan dengan baterai. Semua akan makan bercepak-cempong penuh syukur. Urat-urat telah basah dan haus hilang sudah.

Baca Juga: Bilangan Rakaat Tarawih Menurut Kajian Hadis Kiai Ali Mustafa Yaqub

***

Setelah berbuka, dan lanjut salat magrib, kami berselonjor dengan perut kenyang mencari angin di teras luar. Tak lama, satu persatu mulai bersiap-siap ke masjid. Biasanya, kami anak-anak, akan beranjak lebih dulu dengan sarung terlilit di bahu atau pinggang. Kami akan bermain di halaman masjid sebelum orang mulai sembahyang. Kami bermain kejar-kejaran, sembunyi-sembunyian, melompat ke sana kemari dengan riang, apalagi jika terang bulan.

Ayah-ibu dan anggota keluarga lain menyusul ke masjid sambil bercakap dan saling sapa. Mereka akan melaksanakan salat isya berjemaah, tarawih dan witir. Cahaya senter melesat-lesat di tangan ayah, sebagian ibu-ibu membawa suluh yang terbuat dari pelepah kelapa kering, sebagian lagi menggunakan obor. Listrik belum masuk kampung tahun 80-an itu, warung dan masjid menggunakan lampu stromking yang harus dipompa, suaranya khas menguar dan aroma spritusnya terasa sampai sekarang. Hanya rumah orang tertentu saja menggunakan stromking, jika tidak warung, ya rumah orang berada, dan masjid punya dua atau tiga lampu ajaib itu. Sedangkan rumah-rumah lain cukup pakai lampu togok atau lampu “becak” yang merupakan lampu badai untuk orang kemping. Dinamakan lampu becak karena mulanya dibawa orang kampungku yang merantau ke Dumai di mana mereka banyak bekerja sebagai penarik becak atau pekerja pelabuhan.

Tapi kalau puasa sudah memasuki bilangan tengah, kami biasa membeli lilin yang dilengketkan pada tempurung lalu kami bawa berjalan keliling kampung. Saat ramadan memasuki angka lima belasan ke atas, kami biasa memasang lilin-lilin itu di atas pagar halaman sehingga cahayanya akan sambung-menyambung dari pagar satu ke pagar lain. Bayangkan, kampung berpagar cahaya, kiri dan kanan, sepanjang mata memandang, terasa keindahan semata membentang. Jika satu dua api lilin padam karena angin dari kendaraan lewat, kami akan segera menyalakannya kembali.

Kami seolah merawatnya penuh kasih. Konon cahaya lilin itu ibarat menerangi jalan kita ke surga kelak atau menerangi jalan bagi malaikat yang turun ke bumi. Bertahun-tahun kemudian saya tahu, ternyata itu tradisi menyambut turunnya al-Qur’an serta harapan datangnya malam Lailatul Qadar. Kalau tak silap, ini menjadi tradisi khusus di Gorontalo yang disebut tumbilotohe atau monuntul di Bolaang Mongondow dan tradisi lampu colok di Bengkalis. Tapi entah pada usia berapa dari masa kecilku, tradisi itu lenyap, atau dilenyapkan, oleh pandangan bahwa lilin-lilin itu tradisi orang Nasrani dalam merayakan Natal. Maka kami kehilangan satu tradisi yang selama ini kami rayakan penuh keriangan.

Di masjid, kami yang anak-anak lebih sebagai penghias suasana, membuat ramai dan semarak saja. Ketika salat tarawih dimulai, tak ada di antara kami yang betul-betul sampai mengikutinya sampai selesai. Tarawih 21 rakaat itu banyak sekali dan gerakannya relatif cepat. Sebagian surau atau masjid di kampungku menggunakan 8 rakaat atau 11 dengan witir, bahkan pernah satu masa antara jamaah rakaat 8 bergantian dengan jamaah yang salat rakaat 21; selang-seling siapa lebih dulu. Jika hari ini jamaah rakaat 8 lebih dulu, besok malam gantian jamaah rakaat 21. Persis seperti bangku sekolah dua shift, masuk pagi dan masuk siang. Tak ada persoalan dan tak ada yang mempersoalkan.

Kampung saya sendiri memang punya jejak keagamaan yang agak kompleks jika dirunut, tapi tak ada yang benar-benar pernah merunutnya. Setahu saya, untuk memulai bulan puasa atau masuknya hari raya sebagian besar kami berpedoman pada seruan Muhamadiyah alih-alih pemerintah. Dalam angka statistik memang warga kampungku dimasukkan sebagai jamaah Muhammadiyah. Namun tak sedikit yang punya patokan berbeda seperti jamaah Satariyah yang puasa lebih awal dan Naqsabandiyah yang merayakan lebaran selalu sehari setelah yang lain-lain berhari raya.

Meski tercatat sebagai jamaah Muhammadiyah, orang kampungku punya kebiasaan berbeda, misalnya ritual pasca kematian. Tahlilan menjadi keharusan, mulai meniga hari, menujuh hari, tujuh belas hari, empat puluh hari dan seterusnya. Mereka tentu tahlil dengan hidangan makan minum, dan kadang terdengar komentar bahwa tahlilan itu tak perlu sebab membebani keluarga mendiang. Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga.

Namun jawab orang kampungku,”semua bahan terkumpul dari jamaah sendiri”. Bila ada kematian tetangga atau pelayat memang membawa beras, gula atau uang, dan itu yang digunakan untuk tahlilan. Jadi tidaklah terlalu memberatkan. Usut punya usut, apa yang benar-benar murni amalan Muhammadiyah tampaknya lebih banyak di wilayah agak ke “kota”, dalam hal ini Pasar Surantih—yang kelak menjadi ibukota kecamatan—sementara di kampung-kampung orang tetap menjalankan sunnah sebagaimana tradisi NU. Termasuk ziarah dan berkaul ke makam-makam keramat para aulia yang disebut “tampat”, mungkin asal katanya “tampatan”, tempat yang dituju dan diniatkan.

Namun begitu, orang atau tokoh Muhammadiyah tidak pernah sekalipun memaksakan cara Muhammadiyah, paling jauh hanya membuat perumpamaan “sudah jatuh tertimpa tangga”, itu saja yang kudengar. Atau, ada satu lagi, “bagi orang berhelat janganlah membuat tanda silang dengan kapur di atas pintu,” sebab menurut suara Muhammadiyah itu tradisi salib yang dipraktikkan orang Belanda di Aceh dan dibawa ke Minangkabau, serta himbauan sejenis. Namun tak ada tekanan, bahkan terkesan tokoh Muhammadiyah yang tinggal di kampung, “mengalah” dengan mengaji atau Jumtan ke pusat Pasar Surantih.

Dan terkait tradisi ala NU itu, saya mulai menyadari satu hal: Perti. Ya, orang kampungku agaknya punya persentuhan di masa lalu dengan Perti sebagai penggerak Aswaja di Minangkabau, tapi apa dan bagaimana bentuk pengaruh itu, lalu bagaimana setelah pengaruh Perti tak ada lagi, saya tak tahu persis. Yang jelas sejak itu, jamaah di Minangkabau—setidaknya di kampung saya—terlegitimasi dalam Muhammadiyah meski amalannya NU, atau sebaliknya, amalannya NU tapi kiblatnya Muhammadiyah. Tulisan Nuzul Iskandar tentang Jalan Sunyi Perti di Bumi Kerinci (TI, Maret 2020) entah kenapa sedikit banyak terasa di kampung saya, meski tinggalan Perti semacam madrasah/tarbiyah tidak sebanyak di daerah lain, tapi ada, seperti di Timbulun ke arah hulu batang Surantih. Walahualam.    

***

Kembali ke masjid. Jadi ketika salat Isya selesai dan orang berzikir lalu beratib, istirahat sebentar, kemudian lanjut salat tarawih, kami anak-anak mulai ambil posisi. Tentu saja posisinya di belakang, selain memang dianjurkan demikian oleh bapak-bapak kami, itu juga cara aman untuk surut langkah dari barisan.

Begitulah, ketika dua atau empat rakaat tarawih berlalu, kami menarik diri ke luar, satu persatu supaya tak kentara betul—bagaimanapun orang tua kami tahu bahwa kami sudah tidak bersama mereka, toh rasa segan tetap ada. Kami pergi ke jalan, berpencar, satu kelompok ke baruah (selatan) satu lagi ke ateh (utara). Ke mana? Kami akan mendatangi rumah-rumah yang ditinggal pemiliknya ke masjid. Buat apa? Mencuri bunga!

Ya, pada masa itu bertanam bunga di halaman dan penutu rumah sedang senang-senangnya dilakukan orang kampungku. Orang menanam aneka bunga dalam pot, mulai asoka, lili, dahlia, dan nama-nama bunga yang sudah saya lupa, tapi aromanya masih tertinggal hingga kini. Bunga-bunga itu dijejer diteras, sebagian digantung, dan kami akan mencabutnya dari pot, dimasukkan ke dalam sarung dan yang terbanyak dapat akan merasa sangat beruntung dan dielukan.

Tapi ada yang lebih dielukan lagi: jika yang kau dapat adalah bunga yang dianggap langka atau mahal, kalau tidak salah sekelas dahlia, bunga lidah kucing atau daun perak. Maka kaulah yang terhebat di antara anggota komplotan pencuri bunga. Afriwal, yang belakang hari dikenal sebagai “anak siak” selalu mendapatkan pujian terbanyak.  

Kenangan mencuri bunga merupakan kenangan “terindah” saya selama bulan puasa pada masa kanak di kampung. Dosa dilangsungkan di atas aroma dan keindahan bunga-bunga, analog dengan pikiran kami yang sebetulnya tak terlalu mudeng apa itu dosa. Maafkanlah. Bertahun-tahun kemudian saya bertemu “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” Kuntowijoyo yang membuat saya tersenyum sendiri mengenang masa lalu saya dari lain sisi.

***

Selesai salat tarawih-witir, jamaah pulang, tapi masjid tak serta-merta kosong. Kakak-kakak kami akan meramaikannya dengan mengaji (tadarus), dan pada masa itu mike/mikrofon merupakan barang baru yang sangat dikagumi. Tak semua orang bisa memegangnya apalagi memasukkan suaranya yang kemudian bergema di atap masjid lewat perangkat lengkapnya, toa. Kakak-kakak kami yang pandai mengaji jadi orang beruntung yang dapat menggunakan alat itu. Beberapa kali terjadi rebutan di antara mereka. Pernah sampai ada perkelahian segala antara Uni Emi dengan Uni Iyen, yang berhasil didamaikan Buya Idir dengan memberi jatah mengaji sama panjangnya.

Tapi yang menarik, suara pertengkaran mereka, termasuk tangisan dan umpatan, tersiar ke bagian kampung yang terjangkau melalui mike yang dibiarkan menyala. Itu terasa sedikit aib sebenarnya. Alat yang seharusnya hanya digunakan untuk suara-suara suci, semacam mengaji, khotbah atau pengumuman penting, malam itu diisi kata-kata tak berguna. Sejak itu, ketakjuban sekaligus ketakutan melihat mike bersarang di dada kami, persis kami memperlakukan juzz Ama yang dijunjung tinggi.  

Tadarus di masjid kami—dulu bernama Surau Minang, kemudian bernama Masjid Dahrul Ihsan Air Terjun Lansano—tidak berlangsung sampai tengah malam. Beberapa orang setelah dapat giliran, akan bubar dan masjid mulai sepi. Tadarus yang tahan sampai larut malam, bahkan sampai menjelang sahur, justru di masjid (atau waktu itu masih berupa surau) yang ada di kampung “dalam”, seperti Sariak dan Lampanjang. Seolah-olah dari dulu sudah ada sinyal bahwa kampung yang dilintasi jalan besar dan karena itu kerap dianggap lebih modern, akan lebih dulu dipadamkan: segala ihwal menyangkut tradisi atau ritual. Sementara kampung “dalam” yang hanya dilintasi jalan tanah, yang agak pedalaman, akan lebih kuat bertahan dengan tradisinya.

Sungguhpun begitu, tradisi di kampung “dalam” juga tak sepenuhnya sterill dari modernitas, setidaknya jika kita sepakat bahwa mike/toa, dalam wujudnya yang sederhana, sebenarnyalah membawa modernitas ke pelataran surau/masjid. Selama ini mereka mengandalkan bedug dan mengaji cukup dalam halaqah, tapi mike mengubah formasi mereka dengan menguarkan suara lewat udara. Meski, tentu, alat modern itu pun membutuhkan ketahanan sistem dan orang yang menjalankannya, seperti yang dengan setia dijalankan “anak siak” kampung Lampanjang dan sekitarnya. Jika tidak, alat tersebut akan digunakan sekadarnya. Ia jadi bahan rebutan, alat eksistensi jika bukan kontestasi, dan masa-masa berikutnya mulai digantikan dengan pengajian atau ceramah menggunakan kaset, ya, sebagaimana di kampungku, Lansano, yang tiap hari diramaikan gemuruh suara oto.

Melalui toa surau, suara orang mengaji akan terdengar di langit kampung kami yang sudah hening, dan kadang terdengar sayup. Satu-satunya yang menyamai suasana nglangut begitu hanyalah pagelaran rabab (waktu itu belum ada organ tunggal) yang juga menggunakan mike sampai menjelang subuh.

Jadi begitulah, tadarus di Lampanjang atau desa Rawang, lebih terjaga ketenangannya. Setidaknya itu yang saya rasakan dari menyimak suara orang mengaji di kejauhan. Seperti selalu ada orang yang siap mengisi, tanpa perlu rebutan dan ribut-ribut. Waktu itu Lampanjang terasa alangkah jauh. Ia terletak di balik hutan rimbo panjang, rawa bergoyang dan hamparan sawah yang luas. Belum ada jalan tembus dari Tabek ke Air Terjun seperti sekarang.

Untuk ke Lampanjang kita harus jalan memutar ke arah jembatan Batang Surantih, masuk ke Sarik, lalu menyusur jalan tanah ke arah utara. Ada juga jalan pintas menembus rawa dan rimbo panjang, tapi hanya akrab di kalangan anak gembala, para pencari rumput, pemikat burung atau pemburu babi. Sesekali apabila musim cupak (sejenis buah serupa duku), kami berombongan mencoba pula menembus rawa bergoyang yang penuh lintah itu, demi mencari cupak ke rumah sepupu saya yang punya batang cupak di belakang rumahnya.

Suara toa sungguh tidak mengganggu, malahan jadi penanda yang jelas antara malam-malam hari biasa dengan malam-malam bulan puasa. Bukan saja karena suara itu terasa khas, namun juga terdengar tenang dan ikhlas. Juga akrab. Suara itu kami tunggu-tunggu, merasuk ke dalam tidur, kadang bersatu dengan suara ombak yang berdentung, dan diselangi suara kendaraan yang melintas di jalan besar di depan rumah.

Baca Juga: Lebaran Harus Megah

***

Memasuki sepekan atau lebih menjelang Hari Raya Idul Fitri, suasana di rumah jadi berubah karena tradisi membuat kue lebaran yang dikerjakan sendiri oleh ibu dan saudara perempuan kami. Mereka akan merendang beras, menggiling sendiri tepung dengan alat penggiling batu (mesin penggiling tepung masih terbatas waktu itu), mengukur kelapa semalaman dan yang punya garejo (kukuran kelapa yang matanya berputar) bisa mengerjakannya dengan lebih cepat. Mereka menggunakan kompor minyak tanah, sebagian tungku atau kayu api. Alat-alat pembuat kue, seperti loyang, penjepit kue semprong (sehingga disebut kue sapit), cetakan kue bolu atau “mesin” yang bisa mengeluarkan mentega, biasa saling pinjam antar tetangga.

Begitulah kue-kue dibuat: kue loyang, kue bolu, kue sapit, kue bawang, sagun bakar dan kue sangko, itu deretan kue wajib, dan jika punya dana lebih bisa mengerjakan kue yang agak mahal seperti kue roti atau kue semprit (nastar). Kesibukan berlangsung siang-malam, sehingga pada waktu ini ibu-ibu banyak berhalangan ke masjid, dan buya penceramah tak kurangnya berkata melereng,” Sudah mendekati malam akhir rupanya, itu shaf ibu-ibu pada kosong!” Kadang ibu-ibu menjawab dalam bisik,”Kita buat kue menyambut lebaran, buat bapak-bapak juga, semoga dicatat sebagai ibadah!”

Apapun, kami senang ibu-ibu kami membuat kue. Kami diminta mencicipi kue yang sudah jadi, dan puncaknya nanti adalah membuat lamang, makanan khas dari beras ketan yang dimasak dengan bambu. Semula saya kira itu hanya ada di kampungku, tapi ternyata itu khas Nusantara, mulai dari Bengkulu sampai Minahasa dan Maluku, masakan itu ada. Hanya namanya yang berbeda-beda. Lucunya, entah dari mana datangnya ada “paham” buka puasa masak lamang di kampungku. Artinya, begitu lamang masak (sekitar tengah hari) maka kita boleh berbuka dengan memakan lamang penuh berkah itu. Saya pernah termakan dua kali, pertama memang sudah tak tahan letihnya berpuasa, kedua benar-benar tergoda ketika Ikak memakan lamang pulut putih dengan menggunakan gula aren.

Pekan terakhir berpuasa suasana seperti dikomando untuk menyiapkan perayaan. Entah siapa yang mengomando. Padahal tahun 80-an itu, kampung masih tertutup (belum ada listrik dan pemancar televisi), tapi semangat (atau hasrat?) perayaan sangat kentara. Bukankah kalau begitu, perayaan belakangan yang konsumtif itu sudah punya akarnya jauh-jauh hari? Artinya, kapitalisme (jika ini biangnya), sudah ada di kampung saya puluhan tahun lalu, dan tak aneh kalau sekarang pola konsumtifnya sudah sedemikian mengeras.

Atau bisa jadi, dengan sedikit mengendorkan urat syaraf, situasi mutakhir terlihat juga sudah kendor sebetulnya; pola-pola konsumtif Hari Raya (mungkin hari raya agama apa saja) jangan-jangan tak sekencang dulu. Sudah kuno. Dalam arti, orang-orang sudah terbiasa. Semangat berpacu sudah berkurang, sebagian orang malah merasa aneh dan lucu jika hari-hari sekarang masih berburu baju baru—sama seperti generasi setelah kami yang malu menjalankan tradisi maanta lamang.

Tapi kenapa pasar (dan di kota mall dan tempat belanja) tetap semarak menjelang hari raya—tak terkecuali saat wabah sekarang ini? Mungkin persoalannya pada modifikasi. Dari kebutuhan berubah menjadi gaya hidup. Ini seiring modifikasi citra dan benda-benda itu sendiri yang ditawarkan lintas batas, termasuk melalui dunia online.

Lebaran, selain salat Id di masjid atau tanah lapang, kemeriahannya adalah setelah itu. Kami, adik-beradik akan pergi maanta lamang (mengantar lamang) ke rumah saudara dan kerabat, mulai dari yang “kontan” seperti mamak atau paman, sampai kepada pak gaek, dan keluarga lain. Kami akan naik sepeda dayung, bersama adik perempuan duduk di belakang, memegang onjok (rantang) yang sudah diisi kue-kue lebaran + lamang, dan diantarkan dengan mengucap salam,”Kami antar lamang untuk mamak dan mintuo,” dan pulangnya rantang kami akan diisi uang oleh mereka, semacam angpo. Kami kadang tak sabar dengan mengguncang-guncangnya, bila berbunyi nyaring berarti itu uang logam yang nilainya kecil, namun jika tak berbunyi kemungkinan uang kertas yang nilainya lebih besar. Ah, sejak dulu kami pun sudah terkena syindrom angpo besar-angpo kecil!

Apapun, uang itu kami kumpulkan untuk belanja hari raya dengan makan-makan enak di tempat permainan rakyat (biasanya kawasan masjid menjadi pusat keramaian), membeli kembang api, pistol air, naik buayan kaliang atau raun-raun naik becak hias. Untunglah kami disadarkan orang tua bahwa sejatinya uang yang didapat itu tak perlu benar, yang penting kita mengingat saudara kerabat. Apalagi nanti juga akan datang anak saudara ke rumah, dan ibu akan mengisi pula rantang mereka.

Tapi tradisi maanta lamang ini lama-kelamaan berubah, dan banyak di antara anak-anak setelah kami tak mau lagi mengantar lamang karena malu, entah kenapa. Setali tiga uang, ibu dan saudara perempuan kami juga tak lagi membuat kue-kue sendiri. Paling pesan atau beli di pasar kue-kue dalam kaleng atau nastar dalam toples. Bahkan malamang pun tak lagi dilakukan setiap keluarga, hanya mereka yang masih “tradisional” saja yang membuat lamang yang sebentar lagi mungkin juga akan hilang.

Seiring dengan itu tradisi permainan dan pasar rakyat yang biasanya dikelola pemuda kampung dan pengurus masjid, juga sudah lama surut lalu tak ada lagi. Pusat perayaan Lebaran berpindah dari kawasan masjid ke tempat wisata seperti Gunung Rajo atau Pantai Putih Kambang dengan melibatkan swasta. Suasana puasa (dan Lebaran) di kampung semasa kecil pun kian mengecil dalam ufuk pikiran, namun dalam masa-masa wabah pancaroba ini, aneh, ia perlahan membuka seperti fajar matahari yang membuat saya menyadari bahwa kenangan, bagaimanapun, kadang memberi ruang untuk berefleksi dan mencintai. Minal aidin Walfaidzin, mohon maaf lahir dan batin.[]

Kenangan Semasa Kecil: Puasa (dan Lebaran) di Kampung Kenangan Semasa Kecil: Puasa (dan Lebaran) di Kampung Kenangan Semasa Kecil: Puasa (dan Lebaran) di Kampung Kenangan Semasa Kecil: Puasa (dan Lebaran) di Kampung

Raudal Tanjung Banua
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Pernah menjadi koresponden Harian Semangat dan Haluan, Padang, kemudian merantau ke Denpasar, dan kini menetap di Yogyakarta. Buku puisinya Gugusan Mata Ibu dan Api Bawah Tanah. Sejumlah puisi di atas dipilih dari manuskrip buku puisinya yang sedang dalam persiapan terbit.