Kenangan yang Hilang Kenangan yang Hilang Kenangan yang Hilang Kenangan yang Hilang Kenangan yang Hilang Kenangan yang Hilang
Oleh: Yuli Cantiadewi Rinjani Putri
Ini kisah tentang seseorang yang beberapa waktu lalu aku temui. Namanya Freya Iskandar Dinata. Kami baru saja bertemu, tapi entah mengapa aku tertarik dengan kisah hidupnya, seperti terhipnotis. Aku tahu Freya tidak banyak bicara, karenanya ia selalu kujejali dengan pertanyaan-pertanyaan agar mau bercerita tentang dirinya.
Pertemuan pertamaku dengan Freya tepat di hari pemakaman ayahku. Aku melihatnya menangis sendirian di makam seseorang. Menggunakan seragam SMAnya ia terduduk di samping makam seseorang itu. Makam yang sepertinya sudah lumayan lama. Sejak saat itu kami berteman. Dan aku sering memintanya untuk menceritakan tentang dirinya karena kurasa ia perlu teman untuk mendengarkan ceritanya. Aku tidak bertanya ia datang ke pemakaman siapa, begitu pula Freya, ia sama sekali tidak menanyaiku perihal pemakaman. Mulut kami tidak bicara tapi pikiran kami mungkin terhubung.
“Hari itu aku pergi ke taman bersama ibuku, untuk sesekali berlibur berdua.” ucapnya membuka cerita.
“Di taman itu, aku melihat banyak sekali orang-orang. Sepasang kekasih bercengkerama, remaja-remaja yang sepertinya sedang bergurau, dan keluarga yang terlihat bahagia.” Ia menjeda kalimatnya lalu bertanya kepadaku, “Mel, apa kau tahu apa yang paling menarik perhatianku di taman saat itu?” Aku berpikir sejenak lalu menjawab, “Remaja-remaja yang sedang bergurau, Frey?” jawabku karena kupikir saat berlibur bersama ibunya ia juga ingin bersama teman-temannya.
“Bukan Mel, keluarga yang terlihat bahagia itu yang menarik perhatianku.” ucapnya tanpa ekspresi. “Gadis itu sudah besar, mungkin seumuran dengan kita. Meski begitu, ia masih bermanja-manja dengan ayahnya. Sangat terlihat jelas dari tempatku duduk.” sambungnya dan bertanya lagi padaku, “Dan apa kau tahu Mel? Apa yang mengusik perasaanku waktu itu?”
Aku menggeleng, “Ceritakan Frey.” ucapku dengan pelan.
“Hanya satu Mel, aku ingin rasakan hal yang sama. Sama seperti gadis itu. Bisa berlibur bersama ayah dan ibu, bisa merasakan hangatnya kasih sayang seorang ayah, dan merasakan bagaimana rasanya dijaga oleh seorang ayah. Aku juga ingin rasakan, Mel.” ucapnya dengan suara yang semakin mengecil di akhir, sebelum berganti dengan suara isakan kecil.
“Tidak apa-apa Frey, menangis saja. Menangis sebanyak yang kau mau.” kurengkuh tubuh lemah itu sampai ia tenang. Aku pernah merasakan semua yang diinginkan Freya, tapi sepertinya sekarang aku harus terbiasa untuk tidak merasakan hal itu lagi.
Freya sekarang sudah tenang, ia melanjutkan ceritanya dan aku siap mendengarkan. “Mel, aku sulit memberitahu Ibu apa yang kurasakan. Sampai rasa sesak itu memenuhi rongga dadaku. Rasa rindu yang kurasakan rupanya sudah melewati batas.”
Aku paham betul apa yang dirasakan Freya.
“Aku sangat ingin bertemu dengan ayahku, Mel. Sampai satu bulan lalu aku mencari keberadaan ayahku. Tentunya tanpa sepengetauan ibuku. Aku tidak ingin membuat ibu merasa bersalah. Kau paham maksudku ‘kan, Mel?” tanyanya sambil memegang tanganku.
Aku mengangguk. Aku tahu Freya tidak ingin membuat ibunya tertekan karena kejadian yang mungkin disebabkan oleh perceraian mereka.
“Langkah pertama yang kulakukan adalah mencari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Mulai dari kamar ibu. Aku memasuki kamar ibu saat ibu sedang bekerja, bahkan aku sampai bolos sekolah.” ia menarik napas dan berkata, “Kau tahu apa yang kutemukan di bawah tumpukan baju di lemari, Mel? Sebuah foto pernikahan ibu dan ayah, Mel.”
“Mereka tampak sangat bahagia di foto itu. Mereka tertawa terlalu lebar. Seolah-olah perpisahan tidak akan pernah menghampiri mereka.”
Selesai bercerita, Freya menangis tersedu-sedu kemudian tertidur. Aku merasa bersalah karena telah membuatnya bercerita terlalu banyak yang akhirnya mengulang kepedihan yang ia rasakan. Membuat rasa sedih kembali menggerogoti hatinya.
Cerita Freya begitu berat, jadi akan kuceritakan secara perlahan. Freya mengatakan bahwa ia berpisah dengan ayahnya ketika berusia lima tahun. Tidak ada sedikit pun kenangan yang tersisa tentang ayahnya. Jika saja ia tidak melihat foto pernikahan ibu dan ayahnya, mungkin ia masih bertanya-tanya bagaimana wajah sang ayah. Aku tidak habis pikir mengapa ibunya sampai menyembunyikan wajah sang ayah? Entah rahasia apa sebenarnya yang disembunyikan.
Freya terus mencari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk di dalam kamar ibunya. Sampai ia menemukan sebuah kotak hitam di laci milik ibunya. Ketika hendak dibukanya kotak itu, suara pintu yang dibuka terdengar dari luar. Freya bergegas mengembalikan kotak dan menutup laci kemudian keluar dari kamar ibunya menuju ruang tamu. Ibunya terkejut, “Loh Freya, kok sudah pulang?” kata ibunya dengan wajah khawatir.
“Freya tidak enak badan, Bu. Jadi Frey izin pulang lebih dulu.”
“Apa yang sakit, Sayang? Kita ke rumah sakit ya? Badan kamu panas,” ajak ibunya yang sedang memegang kening Freya dengan wajah sangat khawatir.
“Tidak perlu Bu, hanya pening sedikit.” Hm mungkin karena aku gugup dan cepat-cepat keluar tadi sehingga suhu tubuhku naik. Untung saja. Ibu maafkan Freya karena telah berbohong.
Tidak sampai di situ, Freya terus mencari cara agar bisa menemukan petunjuk keberadaan sang ayah. Hingga hari esok tiba, Freya berangkat ke sekolah dan ibunya pergi bekerja. Setelah melihat mobil ibunya sudah menghilang di persimpangan jalan, Freya langsung berlari ke seberang jalan untuk kembali ke rumah, karena tergesa-gesa ia tidak melihat kiri dan kanan.
Bugh! “Arghh!” Freya terjatuh dengan bokong yang mendarat lebih dulu mengenai tanah.
“Maaf, Pak. Maaf!” ucap Freya yang tengah kesakitan sambil berdiri.
“Kamu tidak apa-apa?” ucap pemuda itu.
“Ah, saya tidak apa-apa.” ternyata bukan bapak-bapak.
Pemuda itu memakai seragam yang sama dengan Freya.
“Sekali lagi saya minta maaf karena tidak melihat jalan.” Freya membungkuk lalu bergegas pergi membelakangi pemuda itu tanpa memberikan kesempatan untuk pemuda itu membalas ucapannya.
Sesampainya di rumah, Freya mencari kunci cadangan di pot bunga mawar. Kebiasaan ibunya menaruh kunci rumah di sana. Dapat! Ia bergegas masuk ke dalam rumah dan membuka pintu kamar ibunya.
Kriitt
Freya gugup, ia harus menyiapkan hati untuk mengetahui apa isi kotak hitam itu. Di bukanya laci itu dengan perlahan, lalu meraih kotak hitam dan membawanya ke tempat tidur. Freya sangat gugup, tangannya gemetar. Ternyata, kotak itu berisi sebuah buku, album foto dan sepasang pita merah. Freya membuka album foto terlebih dahulu. Deg! Foto-foto itu adalah foto mereka. Foto ayah, ibu dan Freya kecil. Freya tidak mampu membendung air matanya. Ke mana gerangan kenangan yang ada di foto itu menghilang? Tidak ada satu pun yang ia ingat mengenai moment-moment yang terekam di foto. Seolah musnah. Ibu tidak pernah memperlihatkan album ini kepadaku, mengapa? Air mata mulai membendung di pelupuk mata Freya hingga ia merogoh buku hitam yang berukuran sedang itu. Tangisnya pecah ketika melihat goresan-goresan tinta yang ada di buku hitam itu. Sampulnya bertuliskan Milik Iskandar & Dinata. Sudah jelas buku ini milik ayah dan ibunya. Di buku itu tertulis moment-moment mereka. Mengenai pertumbuhan Freya dari lahir hingga berusia lima tahun. Sebagaimana di buku itu tertulis,
Hari Freya lahir ke dunia, Hari Freya membuka mata, Hari Freya bisa tengkurap, Hari Freya tumbuh satu gigi, Hari Freya pertama kali berjalan, Hari Freya menyebut Mama-Papa, Hari Freya masuk TK, Hari Freya untuk pertama kali menggambar Ayah dan Ibu.
Terlihat jelas, mereka sangat menyayangi Freya. Freya tumbuh sehat dan ceria berkat kasih sayang kedua orang tuanya. Tiba-tiba sekelabat ingatan menghampirinya. Kejadian yang selama ini menjadi tanda tanya bagi Freya. Kejadian yang menjadi kunci permasalahan sebenarnya. Freya mengulas kejadian itu;
Dorrr! Suara tembakan menggema di taman Sindu Kusuma. Seorang lelaki terbujur kaku di depan tubuh seorang anak perempuan berpita merah. Orang-orang bergerumun sementara anak perempuan itu menangis sejadi-jadinya. “Ayah, Ayah! Bangun Ayah!” Lumuran darah mengenai telapak tangan anak perempuan itu.”Ayah huhu, Ayah, bangun Ayah huhu.”
Deg! Freya remaja tersadar. Tubuhnya kaku. Kejadian itu pernah ada?! Untuk menguatkan kepercayaannya terhadap insiden itu. Ia merogoh gawai di saku bajunya, dan mulai menuliskan kalimat di pencarian google; Korban penembakan di taman Sindu Kusuma 2008
Rabu, 12 November 2008 | 15:30 WITA
Sebuah penembakan terjadi di taman Sindu Kusuma tadi sore (12/11/2008). Korban meninggal di tempat berinisial IA usia 30 tahun. Diduga motif penembakan terjadi karena tersangka memiliki dendam pribadi terhadap korban. Sasaran penembakan awal mulanya ditujukan untuk sang anak yang berusia lima tahun. IA yang melihat aksi tersangka langsung melindungi anaknya dengan menghalau peluru. Naas peluru tepat mengenai jantungnya, dan korban tidak bisa diselamatkan. (DIS)
Freya terkejut, tangannya gemetar, air mata terus mengalir, . Tubuhnya bak dihantam benda tajam. Gawai yang ia pegang terlepas. Beriringan dengan itu pintu kamar terbuka.
“Freya?!”
Freya menoleh, “Ibu! Mengapa ibu merahasiakan ini semua? Mengapa semua ingatan tentang kejadian itu menghilang, Bu? Ini semua terjadi karena Freya!” tegas Freya masih menangis tersedu-sedu, hatinya sangat sakit, teramat sakit.
“Inilah yang ibu takutkan. Ibu tidak mau kamu seperti ini. Kamu akan menyalahkan dirimu sendiri atas kejadian itu!” ucap sang ibu dengan tangis yang tumpah.
“Tidak Bu! Ibu tidak seharusnya merahasiakan hal ini dari Freya!”
“Ibu harus melakukan ini demi anak ibu. Seminggu setelah kejadian itu, kamu hanya diam, tatapanmu kosong. Ibu ajak kamu bicara tetap tidak ada respon. Membujukmu makan sangat susah. Lalu kamu ibu bawa ke psikiater. Maafkan Ibu, Frey.” ungkap sang ibu tertunduk dengan mata yang memerah dan bengkak. Menggambarkan kesakitan yang ia rasakan.
“Di mana Ayah, Bu?”
“Di….”
Freya berlari tanpa menghiraukan seruan sang ibu, juga orang-orang sekitar yang melihatnya berlari sambil menangis. Yang terpenting hanya satu, bertemu dengan Ayah.
Sesampainya di sana, dengan tubuh linglung Freya mengitari makam mencari nisan bertuliskan Iskandar Aryananda. Sampai di tengah makam ia menemukan tulisan itu. Ia terduduk lesu memegangi nisan yang sudah terlihat using. Ia menangis sejadi-jadinya.
“Ayah, maafkan Freya. Freya baru datang sekarang. Maafkan Freya sebab terlambat Ayah. Maafkan Freya.” ucapnya dengan penuh penyesalan.
Saat itulah hari di mana kami bertemu. Bertemu karena kesedihan yang sama. Belajar mengikhlaskan hal yang sama, bersama-sama.
Kata-kata terakhir Freya sebelum tidur terngiang-ngiang di kepala ku sekaligus mewakili perasaanku.
“Ayah terima kasih. Ayah adalah sosok luar biasa yang selalu menemaniku sampai nanti. Walau raga ayah tak bersamaku lagi, hati ayah yang tulus akan selalu mendampingiku, melindungiku.
Sampai bertemu nanti, Ayah.”
Selesai
Baca Juga: Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan
Leave a Review