scentivaid mycapturer thelightindonesia

Kepercayaan bagi Tan Malaka

Sebuah Buku Islam dalam Madilog
Buku Islam dalam Madilog/Anwar Zhaky

“Setelah mengurai pembacaan terhadap agama-agama dan mempertentangkan ranah kajian agama (kepercayaan) dengan Madilog, ia berpendapat bahwa bagi setiap orang bebas menentukan agama apa yang akan dipercayainya. Agama itu tetap eine privatashe” atau kepercayaan masing-masing orang”.

Tan Malaka, Sutan Datuak Ibrahim

Kali ini saya ingin mengulas buku Tan Malaka (selanjutnya akan disebut “Tan”) yang berjudul Islam dalam Madilog, terbitan Sega Arsy, tahun 2014, dengan jumlah halaman 120. Keinginan ini berawal dari beberapa penolakan ormas Islam terhadap Tan yang seorang komunis; anti-Islam dan ateis. Stigma itu seringkali dicapkan kepada Tan. Saya melihat ada penilaian yang dipaksakan terhadap Tan dengan alasan ateis (tidak mempercayai adanya Tuhan), karena pernyataan itu kontradiksi dengan sikap Tan yang menempatkan kepercayaan dalam ranah kebebasan setiap individu untuk menentukannya (lihat halaman 28).

Baca Juga: Apa Itu Kiri Islam

Dalam memulai menulis buku ini, Tan bercerita tentang sejarah Islam yang ia anggap masih pagi oleh masyarakat Indonesia. Tan memulai dengan cerita keluarga kecilnya di Payakumbuh, Sumatra Barat. Tulis Tan “saya lahir dalam keluarga Islam yang taat. Saya menyaksikan ibu saya sakit menentang malaikat maut dan menyebut Djus Yasin berkali-kali, dan sebahagian besar dari al-Quran di luar kepala. Orang kabarkan bapak saya didapati pingsan ketika menjawat air sembahyang, menjalankan tarikat. Setelah bangun sadar, dia bilang bertemu dengan saya yang ketika itu di negeri Belanda. Masih kecil saya sudah bisa tafsirkan al-Quran dan dijadikan guru muda. Sang ibu menceritakan Adam dan Hawa, dan Nabi Yusuf. Tiada acap diceritakan pemuka, piatu Muhammad bin Abdullah, entah kenapa air mata saya terus basah mendengarnya” (lihat halaman 13).

Bagi Tan, pengalaman tersebut menjadi “kesan” yang telah tinggal di bawah lantai kesadarannya (lihat halaman 14). Tak hanya itu, ketika di Belanda Tan juga mempelajari sejarah Islam. Tan menuliskan “dengan mengikat pinggang lebih erat saya membeli buku sejarah dunia berjilit-jilit karena ada sejarah Islam di dalamnya”. Tan juga membaca buku dan diktatnya Snouck Hurgronje tentang Islam serta menamatkan terjemahan al-Quran dalam bahasa Belanda. Ketika Tan berada di Singapura, ia juga membaca terjemahan Islam ke bahasa Inggris kerya Sales dan Ahli timur Maulana Ali. Bagi Tan, hasil dari pembacaan tersebut, bukanlah untuk mengoborkan Islam. Melainkan, Tan menilai bahwa sejarah Islam lebih kurang 1200 tahun sesudah Nabi Muhammad saw adalah sejarah yang lebih condong ke arah politik, tak terkecuali perbedaan paham keagamaan yang berujung pada kelompok-kelompok keagamaan yang ada.

Baca Juga: Manusia dan Penampakan Kusam Ingatannya

Tan Bicara Islam

Dalam membicarakan Islam, nama Nabi Muhammad saw selalu muncul. Tak ubahnya ketika Tan menulis buku ini. Tan melihat Islam itu lebih kepada sejarah dan kondisi sosial masyarakat Arab ketika Nabi Muhammad saw lahir, serta melihat bagaimana semangat Nabi Muhammad saw menjalankan suruhan Tuhan, sekalipun ia diancam, dicaci maki, dan lain sebagainya. Berkat kegigihan, Nabi Muhammad Saw berhasil. Keberhasilan yang dikagumi oleh umat Islam dan seluruh umat di seluruh penjuru dunia.

Dalam penggambaran Tan semasa Nabi Muhammad lahir, masyarakat Arab membutuhkan keesaan Tuhan dan pemimpin. Karena Masyarakat Arab ketika itu terdiri dari beberapa suku, menyembah bermacam-macam berhala, mudah membunuh, merampok, dan ketika ingin berdagang keluar negara maupun di dalam negara harus dikawal dengan prajurit yang siap sedia menghadang jika ada musuh. Semua pekerjaan dilakukan asalkan kebutuhan hidup terpenuhi. Perbuatan semacam itu lazim dilakukan oleh masyarakat Arab.

Baca Juga: Bung Hatta: Pendidikan Politik

Setelah kegiatan Nabi Muhammad Saw berdagang, ia bisa memilah-milah persoalan, mencocokkan, dan saling berintegrasi dengan berbagai macam orang, bahasa, dan lain sebagainya. Dengan begitu, Tan menyebutkan bahwa basis pendidikan Nabi Muhammad adalah kondisi sosial masyarakat (life university). Dalam sebuah pepatah Tan menggambarkan “jauh berjalan banyak yang dilihat, lama hidup banyak yang dirasa”.

Dari pelajaran tersebut, muncul banyak pertanyaan Nabi Muhammad Saw; Apakah asal dan akhirnya manusia, siapakah yang menciptakan bumi, yang menggerakkan pergantian siang dan malam, turunnya hujan, datangnya panas, bagaimana asal dan akhirnya manusia, serta gagasan seperti apa yang bisa mengangkat bangsaku menjadi obor dunia? Tan melihat, perenungan berupa pertanyaan tersebut dilakukan Nabi Muhammad Saw setelah menikah dengan Khadijah.

Baca Juga: Hatta dan Kelompok Muda pada H 1 Kemerdekaan

Dari hasil perenungan itu datang ilham tentang keesaan Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw yang “sah” menurut undangnya sendiri. Tan menilai, terdapat juga kontribusi pemikiran dari Nabi Ibrahim dan Musa yang telah diutus sebelum Nabi Muhammad Saw. Hal tersebut terbukti dari pengakuan Nabi Muhammad terhadap kitab Yahudi dan Kristen. Tetapi paham tersebut harus dibersihkan dari pemalsuan Yahudi dan Kristen di belakang hari (lihat halaman 16). Begitu juga kontribusi dari keesaan Tuhan Nabi Ibrahim, Musa dan Daud. Tan menilai, uniknya Nabi Muhammad saw dengan gagasannya adalah keberhasilannya mengubah corak pikir masyarakat Arab.

Ketika Nabi Isa, Tan melihat tak tampak berbeda dengan Nabi Musa, yaitu Yang Maha Esa. Setelah 600 tahun setelah Nabi Isa sebelum Nabi Muhammad saw muncul paham Trinitas (kesatuan yang tiga, 3=1), kesatuan Bapa (Tuhan), Anak (Tuhan), dan Roh Suci. Nabi Muhammad saw kembali mensintesiskan dengan kembali kepada satu Tuhan, “Tuhan tak diperanakan dan tidak beranak” (Surat: Al Ikhlas). Hal tersebut menjadikan konsep monotheisme Nabi Muhammad saw yang paling lurus (mengesakan Tuhan serta mengesakan kekuasaannya).

Baca Juga: Lelaki Minang Tak Berjodoh dengan Kampungnya (Bagian 1)

Bagi Nabi Muhammad, Tuhan semata-mata rohani (lihat halaman 21). Manusia bisa berhubungan dengan Tuhan di mana saja, Ia tidak membutuhkan perantara lain. Derajat setiap manusia sama di hadapan Tuhan. Dengan konsep demikian, masyarakat Arab malah mencemooh dan mencaci Nabi Muhammad saw. Masyarakat hanya berpikir untuk hidup di dunia, apapun mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Berpikir dan merenung harus diteruskan oleh Nabi Muhammad saw. Alhasil, muncul konsep Surga Dan Neraka untuk pedoman akhir kehidupan manusia.

“Seperti yang sama-sama kita tahu”, ucap Tan! Bahwa agama Yahudi, Nasrani, dan Islam menyandarkan urusan kepada Tuhan. Tuhan menjanjikan Surga dan Neraka kepada umat manusia sebagai bentuk lanjutan setelah hidup di dunia. Manusia juga bisa menentukan ke mana akan berakhir, jika beribadah, berbuat baik, dan diampuni dosanya akan dimasukkan ke dalam surga dan jika sebaliknya akan dimasukkan ke dalam neraka. Berbeda dengan agama Hindu dan Budha yang menggantungkan tanggung jawab manusia itu kepada diri sendiri.

Lantas jika seperti itu, bagaimana sikap Tan? Tan menuliskan, “tiap-tiap manusia itu adalah merdeka menentukan dalam kalbu sanubarinya masing-masing (kepercayaan masing-masing-masing orang) yang berbeda (kebenaran yang tak tunggal antar pemahaman setiap manusia). Dalam hal ini saya mengetahui kebebasan pikiran orang lain sebagai pengesahan kebebasan yang saya tuntut buat diri saya sendiri buat menentukan paham yang saya junjung” (lihat halaman 28).

Baca Juga: Pelajaran Hidup dari Mohammad Hatta

Islam dan Madilog

Seperti pembagian dalam agama, dalam filsafat juga terjadi yang demikian. Bagi Tan, pembagian yang memuaskan adalah yang dilakukan oleh Fredrich Engels, yaitu materialitis dan idealistis. Bagi kaum materialis (cara berpikir yang digunakan Tan), benda dan jasmani adalah yang asal. Tak ada kodrat benda. Manusia harus makan supaya dapat berpikir. Sebelum manusia ada di bumi, maka bumi dan bintang itu sudah ada. Berbeda dengan kaum idealis yang beranggapan bahwa yang ada di atas dunia ini hanyalah ide saja, ide dari otaknya ahli filsafat. Bagi Tan kaum idealistis ada hubungannya dengan kekuasaan maha dewa Rah atau Allah Swt dalam Islam. Karena dengan pengandaian bahwa ada yang mengisi dunia ini, seperti air, udara, bintang dan lain sebagainya. Begitulah sedikit gambaran cara berpikir dialektika materialistik dan dialektika idealistik.

Tan menerangkan bahwa Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) berbicara tentang ilmu pasti atau undang alam (sesuatu yang dapat dibuktikan). Sedangkan keesaan Tuhan serta kuasanya berada di luar undang alam. Dalam buku ini, Tan mempertentangkan antara keduanya; “Kuasa” dalam Islam dan Madilog. Tan menganalogikan Yang Maha Kuasa dalam Islam; Jika seperseribu saja Yang Maha Kuasa itu ingin membatalkan alam, maka luluh lantaklah alam raya ini. Sedangkan dalam Madilog, Yang Maha Kuasa itu bisa lebih kuasa dari pada undang alam. Selama alam ada dan selama itu pula undang alam itu berlaku. Menurut undang Alam Raya, “benda” yang mengandung “kodrat”. Jadi menurut undang Alam Raya itu caranya benda itu bergerak berpadu, berpisah, menarik, dan lain sebagainya (lihat halaman 27).

Baca Juga: Pentingnya Mengaji Akidah dari al-Aqwal al-Ardhiyyah

Rizal Adhitya Hidayat dalam Prolog buku ini juga menjelaskan bahwa “sesuatu yang dapat dibuktikan” dalam hal duniawi adalah tujuan Madilog. Persoalan duniawi yang dapat terus dikaji dan diuji sedalam-dalamnya dengan menggunakan sains. Pengujian yang dalam batas-batasannya bisa ditangkap oleh indera manusia. Dalam artian bebas dari alam pikiran mistis. Madilog merupakan panduan berpikir yang materialistis, dialektis, dan logis untuk masyarakat Indonesia.

Jika sebuah karya adalah miliknya pembaca, maka saya melihat kehadiran buku ini merupakan salah satu bentuk kontribusi pemikiran Tan terhadap Islam sekaligus memperjelas ke mana arah kajian serta tujuan dari karya besarnya Madilog. Pengalaman Islam semasa kecil Tan yang bersentuhan dengan Surau dalam hal belajar sekaligus mengajar, terus membekas dalam alam bawah sadarnya. Secara tak langsung, hal tersebut memberi kontribusi dalam pemikirannya Tan seperti yang sudah dituliskan.[]

Desip Trinanda
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakrta dan aktif berdiskusi di Surau Tuo Institute Yogyakarta.