scentivaid mycapturer thelightindonesia

Keramat Matan Ajurumiyah

Keramat Matan Ajurumiyah (2)
Foto: Surau dimana saya membaca Ajurumiyah di masa kecil dulu/Dok. Penulis

Kemarin, ketika berada di Mungo, kampung kelahiran, saya sempat berjalan-jalan mengitari nagari; dengan anak istri, sambil bercerita tentang sudut-sudut kampung yang dulu pernah dijadikan tempat main. Saya melewati sebuah surau, yang kini sudah berubah bentuk. Sekarang dalam keadaan dipugar (lihat foto bangunan beratap biru). Dulu, surau ini memakai gonjong. Surau ini terletak di lokasinya asri, dikelilingi oleh sawah dan kolam ikan, berada di lembah yang subur. Maka teringat saya dengan masa lalu. Di surau ini, bertahun-tahun yang lalu saya mengaji Matan Ajurumiyah dengan seorang kawan. Hanya berdua saja, di depan guru. Sebuah kenangan yang indah tentunya.

Matan Ajurumiyah adalah semacam pegangan. Bahkan ketika sampai ke perguruan tinggi. Kaji-kaji nahwu yang diingat ialah apa yang tertulis dalam Matan Ajurumiyah belaka. Lebih dari sekadar pelajaran, seolah-olah kitab ini menyatu. Dan saya betul-betul telah menyaksikan keramat dari Matan Ajurumiyah ini dalam kehidupan nyata.

Baca Juga: Kearifan Lokal Pengajaran Bahasa Arab di Surau Minangkabau

Pertama, keramat dalam pengajarannya. Jujur, di masa kecil mengaji Ajurumiyah saya tidak mengerti sama sekali. Apalagi dijelaskan dengan terjemahan “baramulo” yang untuk saya waktu itu tidak familiar. Namun, perkataan guru menenangkan. Kata guru: “Kamu pelajari saja dulu, nanti kamu akan paham sendirinya.” Luar biasa. Kata guru menjadi kenyataan. Sekitar lima tahun setelah belajar, tiba-tiba, secara sedikit demi sedikit saya memahami. Ketika pemahaman tiba, lupa tidak pernah datang sedikitpun. Inilah kaji yang sabarih indak lupo, setitiak indak ilang. Oleh sebab itu saya menolak untuk mengubah terjemahan “baramulo”. Karena ia adalah keramat.

Kedua, kesuksesan dalam studi. Pada strata satu, Sastra Arab, ilmu yang saya bawa dari kampung hanya Ajurumiyah semata. Bahkan sampai jenjang selanjutnya. Bila kawan-kawan yang datang dari pesantren dengan berbagai referensi. Maka pegangan saya hanya Ajurumiyah. Alhamdulillah, studi terpenuhi dengan hasil sangat memuaskan. Ketika wisuda, ayah saya terbahagiakan. Sebab dua kali ia dipanggil ke depan rektor, menerima salam, sebab “ulah” anaknya.

Baca Juga: Kitab Kasyafatul ‘Awishah Syarah Matan Ajurumiyah Karya Syekh Muhammad Djamil Djaho

Ketiga, kelapangan hidup. Hingga saat ini, kemudahan-kemudahan hidup yang diperoleh, saya yakini salah satunya ialah berkah Ajurumiyah. 24 jam tidak meninggalkan anak bini (bahkan sering menjadi pertanyaan orang. Maklum orang di kampung, banyak ragamnya), semuanya terasa begitu sempurna.

Ketika melalui surau itu, pagi kemarin, kembali saya teringat dengan Ajurumiyah, teringat dengan guru-guru saya, teringat tentang pituah-pituah orang tua-tua di kampung saya. Meskipun saya menyayangkan, “isi surau-surau” itu sudah berganti rono. Kaji ini hanya sekadar dalam ingatan orang yang pernah bertalaqqi, sangat jarang dijumpai anak-anak muda saat ini.[]

Apria Putra
Alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Pengampu Studi Naskah Pendidikan/Filologi Islam, IAIN Bukittinggi dan Pengajar pada beberapa pesantren di Lima Puluh Kota