scentivaid mycapturer thelightindonesia

Kesufian Imam Ahmad bin Hanbal

Kesufian Imam Ahmad bin Hanbal
Ilustrasi/Dok. Istimewa

Imam Ahmad bin Hanbal: Jadikanlah taqwa sebagai bekalmu dan arahkan pandanganmu ke kampung akhirat sebagai kiblatmu

Imam mazhab yang empat memiliki kelebihan yang saling melengkapi satu dan lainnya. Imam Abu Hanifah adalah founding father ilmu fikih dan membangun asas-asas dalam mempelajari fikih. Imam Malik adalah seorang guru besar hadits yang pertama kali menyusun hadits-hadits Nabi Muḥammad Saw. dalam satu buku. Imam Syafiʻi merupakan ulama cerdas yang meletakkan rumus ilmu Uṣul Fikih, sebuah rumusan yang membangun fikih itu sendiri. Begitu juga dengan Imam Aḥmad bin Ḥanbal. Beliau adalah seorang ahli fikih sekaligus pakar hadits di zamannya. Perjuangan besarnya yang selalu dikenang sepanjang masa adalah perjuangan membela akidah yang benar. Sampai-sampai ada yang menyatakan, Imam Aḥmad menyelamatkan umat Muḥammad untuk kedua kalinya. Pertama, Abu Bakr menyelematkan akidah umat ketika Rasulullah wafat dan yang kedua Imām Aḥmad lantang menyerukan akidah yang benar saat keyakinan sesat khalqu al-Qurʼan mulai dilazimkan.

Selain kelebihan yang telah disebutkankan para ulama tersebut, ia juga seorang ahli ṣufi. Mereka memiliki cara atau jalan berbeda-beda untuk mensucikan diri demi menembus hijab dan menyatu dengan Tuhan. Pada tulisan kali ini penulis ingin meninjau jalan Keṣufian yang di tempuh oleh Imam Ahmad bin Hanbal.

Baca Juga: Kajian Hadis Man Arafa Nafsahu Faqad Arafa Rabbahu

Biografi Singkat  Imam Amad bin anbal

Nama lengkap beliau adalah Aḥmad bin Muḥamad bin Ḥanbal bin Hilāl bin Asad bin Idrīs bin ʻAbdullāh bin Hayyān bin ʻAbdullāh bin Anas bin ‘Auf bin Qāsiṭ bin Māzin bin Syaibān bin Dhuhal bin Tsa’labah bin ʻUkābah bin Ṣaʻab bin ʻAlī bin Bakar bin Wāʼil bin Qāsiṭ bin Hanab.

Kalau diperhatikan nasabnya, Imam Ahmad bin Hanbal dalah orang asli arab dengan keturunan yang ṣaḥīḥ dan bertemu nasabnya dengan nabi Muḥamad Saw pada Nazar. Nazar mempunyai empat anak, diantaranya adalah Mudhar yang menurunkan nabi Muhammad sedangkan anak Nazār yang lain adalah Rabīʻah yang menurunkan Imam Aḥmad bin Hanbal.[1]

Imām Aḥmad dilahirkan di Baghdād, dua puluh Rabiʻul Awwal tahun 164 Hijriah. Ada yang berpendapat bahwa ibunya mengandungnya di Moro, kemudian dibawa ke Baghdad ketika akan melahirkanya. Imam Ahmad sebagaimana nabi Muḥammad Saw. langsung didik oleh Allah tanpa pengaruh kultur bapaknya karena waktu belia beliau telah menjadi yatim. Dan Aḥmad bin Hanbal disandarkan kepada kakeknya  karena sosok kakeknya lebih dikenal daripada ayahnya. Terlahir di pusat peradaban dunia, tentu saja imām Aḥmad memiliki lingkungan yang sangat kondusif dan kesempatan yang besar untuk menjadi seorang yang besar pula.

Baca Juga: Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Tarekat Taqlid dan Ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah

Imam Aḥmad semenjak kecil telah menampakkan kelebihanya dengan menguasai berbagai ilmu, bahkan ketika berumur 10 tahun ia telah berhasil hafalkan al-qurʼan secara sempurna dan  melanjutkan mempelajari hadits. Imam Aḥmad sangat mencintai ilmu sehingga ia menghabiskan masa mudanya dan menunda pernikahanya  dengan menempuh rilah ke berbagai daerah seperti Kufah, Makkah, Yaman. dll. Beliau mengunjungi Kufah pada tahun 183 Hijriah ketika Husyam meninggal, dan keluar dari Kufah pada tahun yang sama. Ini merupakan riḥlah beliau yang pertama kali setelah keluar dari Baghdād. Ia masuk ke Kufah lagi pada tahun 186 hijrah dan berguru kepada Sufyān bin ʻUyainah.

Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Makkah  pada tahun 187 Hijriah. Di sana ia berjumpa dengan Imam Syafiʻi. Kemudian beliau mengunjunginya lagi pada tahun 196 Hijriah. Ia juga pernah tinggal di Makkah pada tahun 197 Hijrah dan bertemu dengan ʻAbdurrazāq. Kemudian pada tahun 199 Hijriah beliau keluar dari Makkah dan menuju Yaman.

Jalan Sufi Imam Amad

Imam Aḥmad, dalam rangka mencapai tingkat ʻubudiyah yang paling sempurna, ia menempuh dengan jalan zuhud. Kezuhudan beliau sangat dikenal oleh umat. Bahkan ia menerbitkan sebuah buku yang berjudul az-Zuhud. Banyak kisah yang menceritakan tentang kezuhudan beliau, diantaranya adalah:

Al Ḥusayn bin Muḥammad bin Hatim yang terkenal dengan sebutan ʻAbid al Ajl dari Miḥnan bin Yahya, dia berkata, “Aku belum pernah melihat orang yang lebih baik dari segala hal dari Aḥmad bin Hanbal. Aku telah melihat Sufyān bin ʻUyainah, Waqīʻ bin jarrah, ʻAbdurrazāq, Baqiyyah bin al Walīd dan Dhamrah bin Rabīʻah serta ulama yang lain, akan tetapi aku tidak melihat seorang yang seperti Aḥmad bin Hanbal dalam keilmuan, kepandaian, zuhud, dan kewarraan”.[2]

Imam Aḥmad adalah orang yang selalau menjaga perkataanya. Jika tidak bermanfaat dia lebih memilih diam. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Abu Husayn al Munadi, dia berkata, “aku pernah mendengar kakekku berkata, Aḥmad bin Hanbal adalah manusia pilihan  yang paling mulia kepribadianya dan paling baik etikanya dalam bergaul. Dia lebih banyak diam dan menahan pembicaraanya, menghindar dari perkataan yang tidak baik, tidak ada manfaatnya dan tidak pernah terdengar darinya kecuali pelajaran hadist.[3]

Imamnya para imam, Ibnu Khuzaimah memberitahukan Muḥammad bin Sahtawaih dari Abū ʻUmar bin an Nuhās ar Ramalī,  ketika disebut nama Aḥmad bin Hanbal, Abu ʻUmar ar Ramalī berkata, “sungguh betapa besar kesabaranya terhadap dunia. Sungguh di masa lalu tidak ada orang yang menyamainya dan sungguh betapa dekatnya ia dengan orang shaleh. Ketika ditawarkan kepadanya kemewahan dunia, maka ia menolaknya dan terhadap bid’ah, maka ia menentangnya.”[4]

Imam Aḥmad tidak pernah mau ikut campur membahas masalah dunia. Tetapi jika dihadapkan kepadanya masalah agama ia akan angkat bicara dan tidak akan tinggal diam. Abu Daud berkata,  “halaqah pengajian Imam Ahmad bin Hanbal adalah pengajian akhirat, dia tidak pernah membahas apapun tentang dunia.”[5]

Isḥāq bin Haīʻ berkata, “aku keluar pagi-pagi untuk meminta Aḥmad bin Hanbal mengajarkan kitab karyanya az–Zuhud. Kemudian aku memasang karpet dan bantal sebagai tempat duduknya, dan ketika  Aḥmad melihat karpet dan bantal yang aku pasang, dia bertanya kepada ku,

‘Apakah ini?’

Aku menjawab, ini  adalah tempat dudukmu.

Lalu dia berkata, ambilah karpet dan bantal itu. Berbicara zuhud harus dengan zuhud. Setelah aku lipat karpet dan bantal tersebut, baru ia duduk di atas tanah.”[6]

Al ‘Ulaimi berkata, “gemerlap dunia telah menghampirinya, tetapi ia tidak menghiraukanya, kedudukan ditolaknya dan harta pun tidak diinginkanya. Imam Aḥmad menolak itu semua itu karena ia merasa cukup.

Dalam kesederhanaan dia berkata, “harta sedikit bisa mencukupi dan harta yang banyak tidak bisa mencukupi. Sesungguhnya makanan itu bukanlah makanan (kecuali yang dimakan), dan pakaian juga bukan pakaian dan hari-hari dunia ini teramat sedikit sekali.”[7]

Selain dengan jalan zuhud, Imam Aḥmad adalah orang yang sangat waraʻ. Ia sangat mengharamkan bagi dirinya untuk menerima bantuan dari khalifah. Menurutnya semua yang bersal dari pemerintah itu hanyalah fitnah. Sebagaima yang diceritakan dari Aḥmad bin Muḥammad at-Tasatturi.

Ia berkata, “ketika keluarga Imam Aḥmad bin Hanbal mengetahui bahwa selama tiga hari berturut-turut Imam Aḥmad tidak mau makan, maka mereka memberitahukan kepada teman dekat Imam Aḥmad. Mereka menyiapkan bubur dengan cepat.  Ketika bubur itu disuguhkan, Imam Aḥmad bertanya, dari mana ini? Mereka menjawab, dari Shaleh. Lalu Imam Ahmad berkata, singkarkan bubur itu dari hadapanku. Selanjutnya dia memerintahkan agar mereka menutup jalan yang menuju rumah Shaleh. Adz zahabi menjelaskan bahwa Ahmad bin Hanbal memerintahkan yang demikian itu karena Shaleh telah menerima tunjangan pemberian khalifah al-mutawakkil.[8]

Baca Juga: Ulama dalam Konflik Sosial

Kata Mutiara Imam Amad

Dari ʻAlī bin al madinī, dia berkata, “ketika aku hendak meninggalkan Aḥmad bin Hanbal, aku meminta wasiat darinya. Imam Aḥmad berkata, jadikanlah taqwa sebagai bekalmu dan arahkan pandanganmu ke kampung akhirat sebagai kiblatmu. Dia juga berkata, orang boleh berbangga terhadapku apabila ia menghabiskan hartanya untuk menanamkan al-Quran dalam dadanya.[9]

Suatu ketika, Aḥmad bin Hanbal ditanya tentang futuwwah (sifat kesatria), dia menjawab: Meninggalkan mengikuti nafsu karena taqwa.

Dia juga berkata, segala kebaikan yang bersifat penting, maka lekaslah-lekaslah Anda kerjakannya sebelum datang pemisah antara dirimu dan kebaikan tersebut.[]


[1] Syaikh Aḥmad farid, 60 biografi ulama salaf (pustaka al kautsar)h.434

[2] Abū nuʻaim, hilayah al auliya 4/160

[3] Manhaj al-Ahmad fi tarajjum ashhaba al Imam Ahmad, 1/27

[4] Ibid.,1,hal. 439

[5] Ahmad farid, loc. Cit.

[6] Manhaj al-Ahmad fi tarajjum ashhaba al Imam Ahmad, 1/12

[7] Manhaj al-Ahmad fi tarajjum ashhaba al Imam Ahmad, 1/12

[8] Siyar a’lam an-nubala’, 11/214

[9] Ibid, 1, hal. 462

Habiburrahman Rakik
Alumni Ponpes Ashabul Yamin, saat ini kuliah di jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.