Dalam mazhab Syafi’i, hukum membaca surat al-Fatihah saat berdiri dalam salat adalah fardu (wajib). Tidak sah salat bagi yang tidak membaca surat al-Fatihah. Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ syarh al-Muhadzzab:
وَقِرَاءَةُ الْفَاتِحَةِ لِلْقَادِرِ عَلَيْهَا فَرْضٌ مِنْ فُرُوضِ الصَّلَاةِ وَرُكْنٌ مِنْ أَرْكَانِهَا وَمُتَعَيِّنَةٌ لَا يَقُومُ مَقَامَهَا تَرْجَمَتُهَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ وَلَا قِرَاءَةُ غَيْرِهَا مِنْ الْقُرْآنِ وَيَسْتَوِي فِي تَعَيُّنِهَا جَمِيعُ الصَّلَوَاتِ فَرْضُهَا وَنَفْلُهَا جَهْرُهَا وَسِرُّهَا وَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ وَالْمُسَافِرُ وَالصَّبِيُّ وَالْقَائِمُ وَالْقَاعِدُ وَالْمُضْطَجِعُ وَفِي حَالِ شِدَّةِ الْخَوْفِ وَغَيْرِهَا سَوَاءٌ فِي تَعَيُّنِهَا الْإِمَامُ وَالْمَأْمُومُ وَالْمُنْفَرِدُ
Hukum membaca surat al-Fatihah dalam salat bagi yang mampu adalah fardu (wajib) dan termasuk salah satu rukun salat. Surat al-Fatihah itu tidak bisa diganti dengan terjemahannya dalam Bahasa lain, juga tidak bisa diganti dengan bacaan surat atau ayat lain, ataupun diganti dengan bacaan zikir. Kewajiban itu berlaku di seluruh salat, baik fardu atau sunat, baik salat jahr (bacaan dikeraskan) atau sirr (bacaan dipelankan), bagi laki-laki dan perempuan, bagi musafir dan menetap, anak kecil dan dewasa, yang salat berdiri, duduk, dan berbaring, salat dalam keadaan aman dan dalam kondisi ketakutan (perang), baik bagi imam, makmum, dan yang salat sendiri, dan lainnya. Di antara dalil wajibnya membaca surat al-Fatihah dalam salat adalah hadis riwayat dari Ubadah bin al-Shamit RA, Nabi Muhammad SAW bersabda:
لا صلاة لمن لا يقرأ فيها بفاتحة الكتاب
Tidak ada salat (tidak sah salat/tidak dihitung salat) bagi yang tidak membaca surat al-fatihah dalam salat. (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهِيَ خِدَاجٌ يَقُولُهَا ثَلَاثًا
Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang salat tetapi tidak membaca al-Fatihah, maka salatnya terputus. Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali. (H.R. Muslim)
Masih banyak dalil lainnya yang tidak perlu diutarakan lebih lanjut, dan tidak perlu pula menjadi perdebatan bagi selain pengikut mazhab Syafi’i. Selain itu, dalam mazhab Syafi’i, bacaan basmalah adalah salah satu ayat dari surat al-Fatihah (ayat pertama) dan juga ayat lainnya selain surat al-Taubah. Oleh karena itu, wajib juga membaca basmalah dalam surat al-Fatihah pada salat. Di antara dalilnya adalah hadis:
إذا قرأتم الحمد لله، فاقرؤوا بسم الله الرحمن الرحيم، إنها أم الكتاب والسبع المثاني، بسم الله الرحمن الرحيم إحدى آياتها
Apabila kamu membaca surat Alhamdulillah (surat al-Fatihah) maka bacalah basmalah (bismillahirrahmanirrahim). Sesungguhnya surat Alhamdulillah (surat al-Fatihah) itu adalah ummul kitab (induknya al-Qur’an) dan al-sab’u al-matsani (tujuh yang berulang), sedangkan bismillahirrahmanirrahim adalah ayat pertamanya. (H.R al-Daruquthni dan al-Bayhaqi, sahih)
Baca Juga: ukum Membaca Taawudz dalam Salat
Mengingat membaca surat al-Fatihah adalah wajib hukumnya karena merupakan salah satu rukun salat, maka cara membaca surat al-Fatihah pun mesti diperhatikan. Membaca surat al-Fatihah harus memperhatikan ketentuan cara membaca al-Qur’an (hukum tajwid). Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitabnya Kasyifah al-Suja menjelaskan beberapa aturan yang mesti dipenuhi ketika membaca surat al-Fatihah, khususnya dalam salat:
Pertama, al-Tartib, maksudnya membaca surat al-Fatihah mesti tertib sesuai urutan ayat. Dimulai dari bismillahirrahmanirrahim sampai walaadldlallin. Tidak boleh terbalik susunan ayatnya. Apabila ada yang terbalik, maka harus ia ulangi.
Kedua, al-Muwalah, maksudnya adalah membaca surat al-Fatihah mesti berkesinambungan, tidak ada jeda panjang antar ayat, serta tidak dipisah dengan bacaan lain yang bukan termasuk ayatnya. Apabila ada jeda atau ada pemisah antara satu ayat dengan ayat lain, maka harus diulang bacaannya. Contohnya: ketika seseorang sedang membaca ayat dari surat al-Fatihah, tiba-tiba ia kaget karena ada kucing melompat di kepalanya sehingga ia membaca astaghfirullah secara spontan. Maka bacaan astaghfirullah ini telah memisah bacaan surat al-Fatihahnya, sehingga harus diulangi lagi membacanya. Imam Nawawi menjelaskan dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab:
قال الشافعي والأصحاب تجب قراءة الفاتحة مرتبة متوالية لأن النبي صلى الله عليه وسلم ” كان يقرأ هكذا ” وثبت أنه صلى الله وسلم قال ” صلوا كما رأيتموني أصلي ” فإن ترك الترتيب فقدم المؤخر وأخر المقدم فإن تعمد ذلك بطلت قراءته ولا تبطل صلاته لأن ما فعل أنه قرأ آية أو آيات في غير موضعها ويلزمه استئناف الفاتحة
Imam Syafi’i dan para ulama mujtahid mazhab Syafi’i menyatakan bahwa wajib hukumnya membaca surat al-Fatihah dalam salat secara tertib dan berkesinambungan. Dalilnya adalah karena Rasulullah SAW membaca surat al-Fatihah secara tertib dan muwalah (berurutan dan berkesinambungan), dan juga ada hadis “salatlah kamu sebagaimana kamu melihatku salat”. Apabila membaca al-Fatihah tidak tertib, seperti mendahulukan ayat yang kemudian lalu mengakhirkan ayat yang lebih dahulu, apabila membaca seperti itu disengaja, maka bacaan al-Fatihahnya batal, tetapi tidak batal salatnya. Alasannya karena melakukan hal itu (membaca al-Fatihah tidak tertib, membaca ayat tidak sesuai dengan urutannya) berarti telah membaca ayat tidak sesuai tempatnya, oleh karena itu mesti diulang membaca al-Fatihahnya.
Ketiga, Mura’atu Hurufiha, maksudnya adalah menjaga semua huruf-huruf dalam surat al-Fatihah yang dibaca. Menurut Syekh Nawawi al-Bantani, jumlah huruf surat al-Fatihah adalah sekitar 138 huruf, maka huruf ini mesti dijaga. Mengurangi huruf atau mengganti suatu huruf dengan huruf lain bisa membatalkan salat. Semua huruf tersebut mesti diucapkan dari makhraj (tempat) keluar hurufnya.
Keempat, Mura’atu Tasydidatiha, maksudnya adalah menjaga tasydid-tasydidnya. Di dalam surat al-Fatihah ada sekitar empat belas tasydid. Tasydid-tasydid itu merupakan bentuk dari huruf-huruf yang bertasydid yang karenanya maka keempat belas tasydid tersebut harus dijaga dalam pembacaannya. Dengan menjaga tasydid-tasydid itu sama saja dengan menjaga huruf Surat al-Fatihah yang juga wajib hukumnya untuk dijaga.
Kelima, an Laa Yaskuta Saktatan Thawilah, maksudnya adalah tidak berhenti di tengah bacaan dengan diam yang panjang, dengan maksud memotong bacaan. Kecuali kalau memang ada udzur, seperti tidak tahu, lupa, atau lupa-lupa ingat. Dan an Laa Yaskutan Saktatan Qashiratan Yaqshidu biha Qath’a al-Qiraah, maksudnya adalah tidak berhenti di tengah bacaan dengan diam sejenak dengan maksud memotong bacaan.
Keenam, Qiraah Kulli Ayatiha, minha al-Basmalah, maksudnya membaca seluruh ayat dalam surat al-Fatihah, termasuk bismillahirrahmanirrahim, karena basmalah adalah ayat pertama dalam surat al-Fatihah sebagaimana kita singgung di atas.
Ketujuh, ‘Adam al-Lahn al-Mukhilli bi al-Ma’na, maksudnya adalah tidak ada lahn (kesalahan bacaan) yang dapat mengubah makna kata atau kalimat atau ayat. Contoh kesalahan baca yang bisa merusak makna adalah kata “an’amta” yang dibaca secara salah menjadi “an’amtu.” Kesalahan baca ini bisa merusak makna dari “Engkau memberi nikmat” menjadi “saya memberi nikmat.”
Kedelapan, an Takuna al-Qiraah Haalata al-Qiyam fi al-Fardh, maksudnya adalah membaca surat al-Fatihah itu ketika berdiri pada salat fardu. Apabila dibaca ketika ruku’, i’tidal, sujud, atau duduk antara dua sujud, maka tidak boleh dan tidak sah salat.
Baca Juga: Arah Pandangan Mata Ketika Salat
Kesembilan, an Yusmi’a Nafsahu al-Qiraah, maksudnya adalah seluruh surat al-Fatihah itu dibaca dan dapat didengar orang diri sendiri. Setiap huruf dalam surat al-Fatihah yang dibaca harus bisa didengar oleh diri sendiri bila pendengaran orang yang salat dalam keadaan sehat atau normal. Bila pendengarannya sedang tidak sehat (suara bisa terdengar bila lebih dikeraskan dari biasanya), maka cukup membaca surat al-Fatihah dengan suara yang kalau pendengarannya normal maka suara itu bisa terdengar, tidak harus dikeraskan sampai benar-benar dapat didengar oleh telinganya sendiri yang sedang tidak normal.
Kesepuluh, an Laa Yatakhallalaha Dzikrun Ajnabi, maksudnya adalah Sebagaimana contoh pada syarat kedua di atas bahwa bacaan surat al-Fatihah di dalam salat tidak boleh diselingi oleh kalimat zikir lain yang tidak ada hubungannya dengan salat. Lain halnya bila kalimat yang menyelingi itu ada kaitannya dengan kebaikan salat seperti mengingatkan imam bila terjadi kesalahan. Sebagai contoh ketika imam membaca ayat atau surat setelah membaca al-Fatihah lalu terjadi kesalahan atau kelupaan baca umpamanya, makmum boleh mengingatkannya meskipun ia sendiri sedang membaca surat al-Fatihah. Namun perlu diingat, selagi imam masih mengulang-ulang bacaan ayat yang salah atau lupa tersebut, maka makmum tidak boleh mengingatkannya. Bila dalam keadaan demikian, makmum mengingatkan imam padahal ia sendiri sedang membaca al-Fatihah maka terpotonglah bacaan al-Fatihahnya.
Tambahan juga, semua lafaz dalam surat al-Fatihah mesti diniatkan untuk membaca surat al-Fatihah. Apabila ada yang dibaca dengan tidak niat al-Fatihah, maka tidak sah. Contohnya, ada yang membaca “alhamdulillahi rabbil ‘alamin” ketika membaca al-Fatihah, tetapi ucapan tersebut spontan karena sebelumnya ia bersin, maka bacaan “alhamdulillahi rabbil ‘alamin” tadi dianggap bukan bagian dari ayat surat al-Fatihah. Begitu juga kalau dia membaca ayat dengan menaikkan volume suaranya untuk mengusir hewan di depannya, maka tidak sah. Ia harus mengulangi bacaan al-Fatihahnya.
Syarat-syarat di atas harus dipenuhi setiap umat Islam yang sudah mampu untuk membaca al-Fatihah. Oleh karena itu, semestinya umat Islam wajib belajar membaca al-Qur’an secara benar, setidaknya yang paling utama didahulukan adalah bacaan surat al-Fatihah, karena ia merupakan salah satu rukun salat.[]
Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com
Leave a Review