scentivaid mycapturer thelightindonesia

Khotbah Terakhir Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari (Mei 1947 M/ Rajab 1366 H)

Khotbah Terakhir Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari (Mei 1947 M/ Rajab 1366 H)
Ilustrasi/Dok. https://www.jagatngopi.com/foto-asli-kh-hasyim-asyari/

Ini adalah gambar khotbah terakhir yang disampaikan oleh Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari pada Muktamar NU ke-17 yang diselenggarakan di Madiun pada bulan Mei tahun 1947 (Rajab 1366 Hijri). Khotbah tersebut dibacakan pada malam Ahad, 5 Rajab atau 24 Mei di tahun itu. Dua bulan setelahnya, tepatnya pada 25 Juli atau 7 Ramadhan di tahun tersebut, Hadratus Syekh meninggal dunia karena sakit pendarahan otak.

Saya mendapatkan teks khotbah ini dalam versi salinan KH. Ahmad Abdul Hamid Kendal yang terhimpun dalam kitab karangan beliau, yaitu Ihyâ ‘Amal al-Fudhalâ fî Tarjamah al-Qânûn al-Asâsî li Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulamâ (diterbitkan tahun 1952 oleh Menara Kudus).

Sudah menjadi kelaziman setiap kali perhelatan Muktamar sejak NU didirikannya pada tahun 1926 M, Hadratus Syekh selalu memberikan khotbah atas nama Rois Akbar. Menariknya, teks khotbah tersebut ditulis dalam bahas Arab yang sangat fasih, lalu dibacakan dalam bahasa tersebut.

Melalui teks khotbah-khotbah yang ditulis dan dibacakan oleh Hadratus Syekh tersebut, kita bisa membaca dengan jelas pemikiran beliau yang luar biasa dalam pelbagai bidang. Berbeda dengan kitab-kitab karangannya yang terhimpun dalam “Irsyâd al-Sârî fî Mu’allafât Hadrah al-Syaikh Hâsyim Asy’arî ” yang bersifat normatif dan berisi kajian ilmu-ilmu keislaman, khotbah-khotbah Hadratus Syekh pada setiap muktamar merefleksikan pemikiran beliau yang kontekstual dan menyoroti masalah-masalah keumatan dan kebangsaan dengan sangat tajam.

Baca Juga: Satu Muara Dua Sungai PERTI dan NU Penjaga Aswaja di Indonesia

Dalam khotbah-khotbah tersebut, Hadratus Syekh berbicara tentang tatanan geo-politik internasional, garis perjuangan keagamaan NU dan politik Masyumi, relasi antar umat Muslim Indonesia dengan pihak pemerintahan, baik kolonial Belanda atau pun Dai-Nippon Jepang, strategi membangun dan mengembangkan ekonomi umat yang mandiri, hatta hubungan antar sesama organisasi Muslim di Indonesia (mengingat kapasitas Hadratus Syekh yang selain sebagai Rais Akbar NU, juga sebagai Ketua Majlis Syura Muslim Indonesia atau MASYUMI, wadah yang mempersatukan antar ulama, intelektual, dan organisasi keislaman Indonesia).

Dalam khotbah yang ditulis dan dibacakannya untuk terakhir kalinya itu, Hadratus Syekh menyoroti masa-masa genting perjuangan republik yang baru lahir dan tengah mempertahankan kemerdekaannya sekaligus menghadapi agresi militer Sekutu. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara ini harus terus ditegakkan sampai titik darah penghabisan. Semua kalangan bangsa Indonesia, terutama umat Muslim negara itu, harus bersatu padu dan mengesampingkan perselisihan di antara mereka.

Baca Juga: Pengembangan NU di Luar Jawa

Dua tahun sebelumnya, pada Oktober 1945, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa (resolusi) wajib jihad bagi seluruh umat Muslim yang berada dalam radius 90 KM dari kota Surabaya untuk membendung kedatangan pasukan Sekutu yang hendak kembali menjajah Indonesia setelah kemerdekaannya. Fatwa tersebut kemudian memantik perjuangan rakyat Jawa Timur dan melahirkan perang besar Surabaya yang di kemudian hari diperingati sebagai hari pahlawan (10 November).[]

Bandung, Juli 2018

*Tulisan ini pernah dimuat dalam halaman Facebook Penulis

Ahmad Ginanjar Sya'ban
Dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta