Dalam rangka produksi karya pertunjukannya yang ke-33, teater Eska mengangkat “khuldi” sebagai judul sekaligus kerangka penafsiran dalam merefleksikan kondisi ontologis dari perjalanan sosial dan politik bangsa Indonesia dewasa ini. Realitas yang paling utama disorot dalam karya pertunjukan ini adalah segala fenomena kekerasan dan perpecahan yang terjadi di negeri ini, tak peduli atas nama apapun. Di sini kisah tentang khuldi ditafsir ke dalam konteks wacana ilmu sosial kemanusiaan dan dijadikan sebagai alat baca terhadap fenomena sosial-politik tersebut. Dan tanpa bertujuan untuk mengarahkan cara pandang penonton untuk mengapresiasi karya pertunjukannya, tulisan ini saya maksudkan sebagai lontaran wacana tentang gagasan yang mendasari terciptanya karya ini. Selebihnya, saya selalu percaya bahwa sebuah karya akan selalu berdiri sendiri di luar ide, gagasan atau bahkan semangat yang mendasarinya. Oleh karenanya dalam konteks pertunjukan ini, selalu ada ruang bebas dan terbuka untuk mengapresiasi dan memaknai apa itu “khuldi”.
Baca Juga: Menilai Ketepatan Bahasa Arena dan Kuasa Simbolis
Kekerasan atas nama keyakinan atau agama, atas nama partai atau gagasan politik, atas nama etnis atau suku bangsa, komunitas atau kelompok, atas nama bangsa dan negara, atas nama kebenaran dan keadilan, dan atas nama-nama lainnya, telah kian memfragmentasi kehidupan sosial kita. Tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat itu beragam dan partikular. Namun sayangnya keragaman identitas itu seringkali justru melahirkan kebencian dan permusuhan, serta menimbulkan perpecahan. Hanya karena berbeda, orang-orang sering kali mencaci dan memaki, menghina dan memusuhi yang lainnya, me-liyan-kan siapa saja yang tak sesuai dengan pendiriannya. Meskipun korban telah banyak berjatuhan, negara tetap saja diam. Malahan tak jarang ia juga justru turut memberi sumbangsih pada dinamika kekerasan sosial di berbagai wilayah nusantara. Atas nama kebijakan dan program pembangunan, aparat militer diturunkan untuk merampas aset-aset produksi ekonomi milik masyarakat. Tak bisa dipungkiri kenyataan ini telah meninggalkan trauma mendalam bagi rakyat yang menjadi korbannya, meninggalkan luka yang mengaga pada “kemanusiaan yang adil dan beradab” kita.
Permasalahan ini telah menjadi semacam penyakit yang tak kunjung terobati dalam tubuh sosial-politik bangsa Indonesia. Sejak keruntuhan Orde Baru, bermacam kelompok atau golongan bermunculan dari keberagaman lini kehidupan bermasyarakat kita. Mulanya itu menjadi semacam anugerah yang tak ternilai dari kebangkitan sistem demokrasi di Indonesia. Setiap masyarakat, bahkan setiap orang bebas untuk menentukan dan memilih bergabung dengan kelompok mana yang ia sukai untuk menyatakan identitasnya. Namun, siapa sangka kebebasan yang tak ternilai itu pada akhirnya melahirkan kebutaan dan pemujaan berlebihan pada simbol-simbol identitas, kelompok, dan bentuk material kelembagaan. Seperti kejatuhan Adam dan Hawa ke bumi usai melakukan dosa pertama memakan buah aturan/pengetahuan surga yang terlarang, segala fenomena kekerasan di negara kita ini juga membuktikan kehidupan sosial-politik kita telah gagal menjangkau kemanusiaannya sendiri, nilai moral dari setiap hukum/pengetahuan atau khuldi-khuldi yang diciptakannya sendiri.
Baca Juga: Panggilan untuk Guru dan Murid di Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Sebagaimana para penganut agama samawi (Islam, Kristen dan Katholik) kenal, khuldi (dalam Injil disebut dengan istilah “buah larangan”) adalah pohon atau buah yang ada di surga ketika Adam dan Hawa masih tinggal di dalamnya. Di antara segala kenikmatan yang tersedia dalam kehidupan di surga, khuldi adalah satu-satunya hal yang dilarang atau diharamkan oleh Tuhan bagi keduanya. Akan tetapi akal bulus dan tipu daya Iblis, mahluk terkutuk yang telah berjanji dan diizinkan untuk menyeret Adam dan seluruh anak-cucunya ke neraka, telah berhasil mengelabui dan mendorong mereka untuk memakan buah terlarang itu. Akhirnya, atas kesalahan itu, Adam dan Hawa pun diturunkan ke dunia. Mereka hidup dan keturunannya beranak pinak jutaan generasi hingga hari ini. Demikianlah mula dari kisah kehidupan spesies kita: manusia.
Sebagai teks kitab suci, kisah tersebut akan selalu membuka pintu penafsiran bahkan perdebatan yang sangat beragam dan berbeda. “Khuldi” selalu akan menjadi metafor yang kebenaran maknanya tak akan habis untuk digali. Maka dalam hal ini saya lebih memilih untuk memandang sejauhmana kisah khuldi itu bisa dikontekstualisasikan pada realitas kehidupan kita hari ini. Namun sebelum itu, hal pertama yang harus dilihat adalah bahwa sebagai sebuah teks, “khuldi” merupakan kesatuan dari struktur berbagai struktur narasi yang pada dasarnya satu sama lain bisa dibedakan. Oleh karena itu selanjutnya saya akan mencoba mengurai hal apa saja yang terkandung di dalamnya.
Berhadapan dengan kisah “khuldi”, kita setidaknya akan selalu menjumpai tiga hal pokok, yaitu mahluk/subjek (Adam-Hawa-Iblis); objek (pohon khuldi dan materialitas alam surga), dan; pengetahuan (hukum tentang ‘boleh’ dan ‘tidak boleh’ dalam menjalani kehidupan). Ketiga hal ini menjadi domain dari ke-khuldi-an, yang dalam kehidupan dunia ini ketiga hal tersebut selalu saling terkait dan tak terpisahkan. Secara singkat, dari pemilahan ini saya kemudian memandang khuldi kisah “khuldi” tersebut sebagai pengetahuan yang bekerja sebagai pengatur sistem relasi antara subjek dan objek, yang otoritasnya ada di tangan Tuhan.
Sebagai objek (murni), khuldi itu sendiri adalah kesatuan dari dua hal yang berbeda, yaitu kesatuan dari bentuk dan isi, dimana jembatan penghubung antara keduanya tak lain adalah pengetahuan. Pengetahuan ini mengharuskan kita memandang setiap objek sebagai penangkaran atau representasi dari sebuah ide tentang kebenaran yang abstrak. Abstrak karena sebagaimana kita pahami bersama, kebanaran itu pada dirinya sendiri selalu bersifat absolut, atau dalam konteks religi adalah ketuhanan (ilahiyah). Kebenaran keilahian inilah isi dari objek (khuldi) yang tak mampu terjangkau oleh ke-makhluk-an Adam. Dengan demikian, kisah yang super singkat tersebut menurut saya adalah bukti dari batas nalar manusia yang direpresentasikan melalui kegagalan Adam (manusia) atas pemaknaannya pada khuldi sebagai objek. Apa yang saya maksud sebagai kegagalan ini tentunya adalah kondisi bersifat radikal, karena memperhadapkan nalar manusia dengan esensialitas makna kehidupannya sendiri, makna yang selalu hanya akan tertangkap melalui objek (formal/material/verbal).
Lalu di manakah Hawa dan Iblis diposisikan dalam pemaknaan ini? Tanpa bermaksud menyinggung masalah kepercayaan, saya lebih memandang keberadaan ketiga mahluk dalam kisah “khuldi” ini sebagai satu kesatuan gagasan tentang manusia yang seluruh kesadaran dan prilaku hidupnya didorong oleh hasrat/nafsu. Dalam pandangan Al Ghazali, manusia terdiri dari tiga unsur nafsu (kenabatian, kebinatangan dan kemanusiaan), yang maknanya secara singkat bisa kita bayangkan bahwa tumbuhan (nabati) bersifat pasif tapi produktif; binatang memiliki akal dan rasa tapi juga agresif, dan; manusia memiliki semua yang dimiliki oleh tumbuhan dan binatang serta ditambah dengan pikiran dan imajinasi. Jadi, Adam dalam kisah tersebut adalah manusia yang dalam dirinya tersimpan unsur kenabatian (Hawa) dan kebinatangan (Iblis). Esensi manusia Ghazalian ini, dengan demikian bagi saya sejajar dengan hasrat feminin dan maskulin dalam konsep seksuasi (sexuation) struktur subjek Lacanian. Subjek/manusia itu maskulin karena ia memiliki akal dan pikiran yang memproduksi makna-makna dan mendorong agresifitas prilaku ‘kebinatangan’nya. Di sisi lain, subjek/manusia itu juga feminine, karena memiliki tubuh yang cenderung pasif dengan sistem kenabatiannya yang eksis di luar jangkauan makna bahasa.
Kedua unsur tersebut (kenabatian/feminin dan kebinatangan/maskulin) adalah hal yang tak bisa dilepaskan dari diri manusia, sebagaimana juga Hawa dan Iblis adalah bagian dari kedirian Adam ketika ia berhadapan dengan objek dari kebenaran absolut (ilahiyah) yang bernama khuldi. Dengan demikian, Iblis tak lain adalah representasi dari hasrat/nafsu kebinatangan Adam, sementara khuldi adalah simtom keterbatasan hasrat dan akal-pikirannya, hasrat yang selalu terjebak pada objek dan tak mungkin melampauinya.
Bagi saya, pemaknaan ini menghasilkan sebuah pandangan bahwa teks khuldi ini sesungguhnya telah jauh lebih dulu mengantisipasi apa yang secara sosial-politik kita alami hari ini. Untuk sampai pada apa yang kita bayangkan dan yakini sebagai kebenaran, kita mau-tidak mau harus menciptakan khuldi-khuldi kita sendiri. Objektifitas sosial kita menghendaki agar hukum dan aturan kebenaran pun harus dilembagakan bahkan diformalisasi, menjadi objek yang kita bayangkan bisa menampung semangat kebenaran yang kita yakini. Hingga hari ini sudah tak terhitung seberapa banyak objek-objek formal sosial-politik yang kita (orang Indonesia) ciptakan. Semua objek itu pastinya adalah wujud dari dorongan hasrat/nafsu sosial kita yang pada dasarnya selalu mengandung nilai kebenaran dan kemanusiaan. Akan tetapi, ketika semua itu juga melahirkan kekerasan dan kesakitan (atas nama apapun), maka bukankah semua khuldi atau objek-objek yang kita ciptakan dan imani itu tak lain adalah simtom dari kegagalan sosial-politik kita. Meminjam istilahnya Marx, maka inilah fenomena fetisisme komoditi dalam bentuknya yang lebih kontemporer, yaitu ketika hasrat sosial kita terbutakan oleh formalitas/materialitas objek yang kita cipta dan bayangkan sendiri sebagai representasi dari nilai kemanusiaan yang kita inginkan.
Harus diakui bahwa sosialitas dan politik kita kini hanya sedang mengulang-ulang keterjebakan yang telah dialami oleh Adam, terjebak dalam identitas ke-khuldi-an yang kita ciptakan sendiri. Sebagai objek formal sosial-politik, lembaga, instansi, ormas, partai, undang-undang, dll, adalah hal yang pada mulanya ditempatkan sebagai sarana untuk sampai pada nilai-nilai kemanusiaan yang dibayangkan. Akan tetapi pada kenyataannya sarana tersebut seringkali justru menjadi tujuan itu sendiri. Lahirnya segala kekerasan sosial-politik adalah karena pemujaan berlebihan pada khuldi-khuldi kontemporer tersebut, hingga menciptakan kebutaan dan ketidakmampuan untuk melihat lagi landasan universalnya. Menurut Robertus Robet, fenomena ini adalah atomisasi politik, sebuah kondisi dimana struktur sosial-politik semakin terjebak dan memuja pada partikularitasnya, sedangkan universalitas nilainya justru hilang dan terlupakan. Dan kita, tak lagi memiliki cara untuk menemukan nilai pengikat apa yang mampu menaungi keterpecah-belahan ini. Politik dan sosialitas bangsa ini semakin terkotak-kotak tanpa orientasi selain dirinya sendiri. Semakin tercerai-berai menjadi partikel-partikel yang sibuk menutupi kekosongan objek formal masing-masing.
Jika gagalnya Adam telah membuatnya terjatuh dari keabadian surga menuju kefanaan dunia, maka hendak kemana lagi kehidupan kita saat ini akan turun atau terjatuhkan? Dengan merujuk pada realitas struktural dari sebuah objek yang terdiri dari bentuk dan isi, ditambah juga kesadaran bahwa objek formal sosial-politik kita bukan lagi sarana menuju kebenaran, maka kita sesungguhnya telah terjatuh ke dalam ruang kosong. Tanpa diisi oleh nilai-nilai kemanusiaan, segala kelembagaan dan sistem sosial-politik kita hanyalah wadah dari kekosongan, hanyalah objek yang di dalamnya terdapat rongga yang menganga dalam hampa. Seumpama suatu bangunan yang runtuh, kita kembali tergeletak di antara ‘ketiadaan’ sosial dan pertanyaan besar tentang apa itu masyarakat.
Sebagai anak-cucu Adam, kita pun layak bertanya apa penyebab dari segala keruntuhan sosial ini? Bagi saya jawabnya adalah Iblis, adalah nafsu kebinatangan atau maskulinitas hasrat kita yang bergerak menciptakan segala ide dan gagasan tentang kebenaran hidup melalui ranah bahasa. Seperti Iblis menghasut Adam, sistem pengetahuan maskulin ini (terutama nalar pencerahan modern) mengatur seluruh kehidupan sosial-politik kita di bawah kekuasaan objektivitasnya, melahirkan lembaga, instansi, ormas, partai, undang-undang, dll, yang seolah menjanjikan kebahagiaan abadi. Namun, sebagaimana Lacan telah mengingatkan, objektivitas atau kebenaran bahasa itu selamanya akan selalu menyimpan kesalahan, dan itu adalah hal yang tak boleh kita lupa. Dengan demikian sebagaimana Adam yang membutuhkan khuldi, kehidupan kita juga akan selalu membutuhkan objketivitas aturan dan hukum sosial-politik yang menaungi dan mengikatnya. Namun sebagaimana juga Adam, kita juga telah terlupa bahwa semua objek formal ini hanyalah sarana. Kita telah menjadikannya tujuan serta melahirkan kekerasan dan perpecahan, kehilangan nilai pengikat universal, dan terjatuh ke dalam keterasingan satu sama lain. Seperti anak kecil yang nakal dan selalu kembali kepada sang ibu setiap kali menangis atau terjatuh, mungkin tidak ada jawaban dari kemelut ini selain hanya Hawa, feminitas hasrat yang kita miliki. Sistem dan kesadaran sosial dan politik kita tidak bisa kita landaskan sepenuhnya pada bahasa, namun juga pada ‘cinta’, nafsu kenabatian yang bergerak di luar domain bahasa dan struktur pemaknaannya. Hasrat feminin ini merupakan nilai pengikat universal yang menghendaki adanya sistem kontrol, misalnya, dalam penyikapan kita terhadap alam dan segala bentuk sumber daya, terhadap relasi sosial dan keragaman identitas. Menjadi sistem pengingat bahwa kita punya batas nalar, bahwa selalu ada kebenaran lain yang tak mampu kita jangkau, bahwa di dalam segala objektivitas gagasan kebenaran (maskulin) pembangunan moral dan material kita, selalu ada celah kesalahan dan kontradiksi internal. Akhirnya, pergesekan antara Hawa (hasrat feminin / nafsu kenabatian) dan Iblis (hasrat maskulin / nafsu kebinatangan) dalam diri dan semangat dan rasa kemanusiaan kitalah yang akan menjawab apa itu “khuldi”, apa itu lembaga, instansi, ormas, partai, undang-undang, dll, yang kita cipta dan dirikan? Apakah itu adalah simbol dari keadilan dan keberadaban sebuah bangsa, atau justru adalah simtom dari kegagalan sosial-politik sebuah negara.[]
Tulisan ini juga dimuat dalam booklet Pertunjukan XXXIII 2016-2017 Teater ESKA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “Khuldi”.
Leave a Review