Buya Awiskarni Husin
Berdasarkan pitaruh dari ayah beliau, alm. Syekh Husein Amini al-Khalidi al-Naqsyabandi, inti dari mengijazahkan ilmu ialah rabithah, pertalian rohani dengan guru sebelumnya berdasarkan pertalian ilmu.
Inilah yang menjadi tradisi keilmuan ulama Minangkabau, yang masih dipertahankan oleh para pewaris ulama di Pedalaman Minangkabau, di antaranya dipertahankan oleh alm. Buya Awis Karni Husein, kepada murid-muridnya; yaitu ijazah ilmu dan sanad ruhani, setelah seorang murid belajar agama 7 tahun lamanya, dengan mempelajari kitab matan, syarah, sampai hasyiyah: istiqamah dalam ahlussunnah wal jama’ah, mazhab Syafi’i, dan tasawuf atas jalan Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam Ghazali. Inilah yang menyebabkan ilmu ulama-ulama surau, walau dengan menggunakan metode klasik “baramulo – ba a baramulo”, tetap berwibawa dan dalam keberkahan.
Baca Juga: In Memoriam Mamak Kami Buya Awiskarni Husin 1945-2020 Rumah Gadang Bahalaman Lapang
Oleh sebab itu, kepada sebagian kawan-kawan yang datang pada saya meminta nasihat, selalu saya berpetua: “Tetap pelihara tradisi keilmuan sebagaimana diijazahkan guru-guru kita, meskipun hanya terjemahan baramulo ba a baramulo“. Bila tidak, maka kaji kita akan beransur pupus. Sebab, “dianjak layua, dibubuik mati.”
Pagi ini, salah satu ulama panutan, yang istiqamah diatas tradisi ilmu ulama Minangkabau, yaitu Abuya H. Awiskarni Husin, berpulang ke Rahmatullah.
Semoga kita tetap istiqamah diatas jalan yang beliau tempuh meski berupa-rupa metode pendidikan modern telah mewarnai.[]
Buya Awiskarni Husin
Leave a Review