scentivaid mycapturer thelightindonesia

Kifâyah al-Ghulâm fî Bayân Arkân al-Islâm: Fikih Islam Berbahasa Melayu Karangan Syekh Ismail Khalidi Minangkabau

Mengenal Kitab Minhaj al-Thalibin Imam Nawawi (Muqaddimah Kitab Minhaj al-Thalibin) III
Ilustrasi/dok. https://www.queens.cam.ac.uk/teaching-learning/library/old-library

Syekh Ismail Khalidi Minangkabau mengarang sebuah kitab Kifâyah al-Ghulâm fî Bayân Arkân al-Islâm, kitab Fikih Islam Berbahasa Melayu

Ini adalah gambar halaman sampul dari kitab Kifâyah al-Ghulâm fî Bayân Arkân al-Islâm karangan seorang ulama Nusantara yang hidup di akhir abad ke-18 M dan awal abad ke-19 M serta lama bermukim di Mekah, yaitu Syekh Ismâ’îl b. ‘Abdullâh al-Khâlidî al-Mânkabâwî (Syekh Ismail Minangkabau, wafat sekitar 1275 H/ 1858 M).

Kitab Kifâyah al-Ghulâm berisi kajian pokok-pokok ajaran ilmu fikih Islam (rukun Islam yang lima) madzhab Syafi’i, mulai dari jenis-jenis najis, tatacara bersuci, melaksanakan salat dengan segala syarat, rukun, wajib, sunah, makruh, dan haramnya, menunaikan zakat dengan segala perinciannya, demikian juga membahas puasa, berhaji, umrah, hingga nikah. Kesemua itu dikaji dengan ringkas namun padat.

Karya ini ditulis dalam bahasa Melayu beraksara Arab. Saya mendapatkan kitab ini dalam versi cetak yang dikeluarkan oleh al-Haramain di Jakarta-Singapura pada bulan Agustus 2017 silam di sebuah toko kitab kecil di Pasar Parung, Bogor. Dalam versi cetak ini, tebal kitab Kifâyah al-Ghulâm sebanyak 44 halaman. Disertakan juga dua kitab yang lain, yaitu Kitâb al-Buyû’ dengan pengarang anonim (dalam dua halaman saja), juga Kitâb al-Farâidh karangan Syekh Abdul Rauf Singkel (dalam 14 halaman). Keduanya juga ditulis dalam bahasa Melayu aksara Arab (Jawi).

Baca Juga: Surau Batu Bulan Syekh Ismail al-Khalidi dan Naskah Kuno

Dalam kolofon yang terdapat dalam versi cetakan tersebut, didapati informasi jika karya ini diselesaikan pada hari Rabu, 4 Dzul Qa’dah, tanpa menyebutkan tahun, juga tanpa menyebutkan tempat di mana karya ini ditulis dan diselesaikan.

Tertulis di bagian akhir kitab ini:

سميت هذا الكتاب بكفاية الغلام في بيان أركان الإسلام الخمسة. أرتين أكو نماي كتاب اين كفاية الغلام فد مياتكن ركن إسلام يغ ليم لاك ادادالمن حكم نكاح دان حكم سمليه. تم الكتاب فد هاري أربع فد أمفت هاري بولن ذو القعدة آمين

(Aku namai kitab ini Kifâyah al-Ghulâm Pada Menyatakan Rukun Islam yang Lima ada di dalamnya hukum nikah dan hukum semulanya. Tamm kitab pada hari Rabu pada 4 hari bulan Dzul Qa’dah amin).

Dalam menerangkan beberapa kajian peribadatan dalam kitab ini, Syekh Ismail Minangkabau kerap menyebutkan beberapa referensi yang menjadi acuan kitabnya ini ditulis, seperti kitab alHâwî karangan al-Râzî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn karangan al-Ghazzâlî, dan lain-lain.

Yang menarik, di bagian akhir kitab Kifâyah al-Ghulâm karangan Syekh Ismail Minangkabau ini terdapat doa dan zikir yang sekarang dikenal dengan bacaan “tahlilan”. Di sana, Syekh Ismail Minangkabau menulisnya dalam “fasal pada menyatakan khatam al-Qur’an dan menyatakan tertib-tertib”. Tertib-tertib tersebut dimulai dengan membaca surat “al-Ikhlâsh”, lalu dilanjutkan dengan membaca surat “Mu’awwidzatain”, lalu membaca surat “al-Fâtihah”, lalu dilanjutkan dengan awal surat “al-Baqarah” hingga akhir ayat ke-5, lalu dilanjutkan dengan “ayat Kursi”, “lâ ikrâha fi al-dîn” hingga akhir ayat “mâ lâ thâqata lanâ bih”, lalu membaca “wa’fu ‘annâ dst” sebanyak tujuh kali, dilanjutkan dengan membaca “yâ arham al-râhimîn” sebanyak tujuh kali, juga bacaan-bacaan lainnya seperti kalimat tahlil, istigfar, shalawat”, hingga ditutup dengan doa khatam al-Qur’an.

Syekh Ismail Minangkabau dilahirkan di Tanah Datar, Minagkabau, pada akhir abad ke-18 M. Sejak kecil, Ismail dibawa oleh ayahnya, yaitu Syekh Abdullah Minangkabau, untuk pergi berhaji sekaligus bermukim di Mekah. Di sana beliau belajar kepada Syekh ‘Utsmân al-Dimyâthî (w. 1848), Syekh Dâwud al-Fathânî (w. 1847), Syekh Muhammad Sa’îd b. ‘Alî al-Syafi’î (w. 1844), Syekh ‘Athâillâh b. Ahmad al-Mashrî (w. ?), Syekh Muhammad b. ‘Alî al-Syanwânî (w. 1818), Syekh Abdullah al-Syarqâwî al-Azharî (w. 1813), Syekh Khâlid Dhiyâ al-Dîn al-Kurdî al-Naqsyabandî (w. 1826), dan Syekh Abû Abdillâh al-Khâlidî.

Di Mekah, Syekh Ismail Minangkabau belajar selama kurang lebih 35 tahun. Di sana juga beliau berbaiat tarekat Khalidiyyah kepada Syekh Khâlid Dhiyâ al-Dîn al-Kurdî, mursyid tarekat Naqsyabandiyyah sekaligus pengasas anak cabangnya, yaitu tarekat Khalidiyyah Naqsyabandiyyah. Di kemudian hari, Syekh Ismail al-Khalidi menjadi pembawa tarekat ini ke Nusantara yang sampai saat ini masih lestari, khususnya di daerah Minangkabau, Riau, dan Semenanjung (Malaysia).

Syekh Ismail Meninggalkan banyak karangan yang ditulis dalam bahasa Melayu beraksara Arab (Jawi), seperti Muqâranah Sembahyang (fikih), al-Rahmah al-Hâbthah fî Dzikr Ism al-Dzât wa al-Râbithah (tasawuf), al-Muqaddimah al-Kubrâ allati Tafarra’at Minhâ al-Nushûsh al-Shughrâ, Muqaddimah al-Mubtadîn, Kifâyah al-Ghulâm fî Bayân Arkân al-Islâm (fikih), al-Manhal al-‘Adzb fî Dzikr al-Qalb (tasawuf), dan lain-lain.

Dari kesemua karya itu, hanya satu karya yang memuat informasi penanggalan (kolofon) penulisannya, yaitu kitab al-Rahmah al-Hâbithah yang diselesaikan pada tahun 1268 Hijriah (1851 Masehi).

Selain itu, dalam sebuah selembar manuskrip surat yang ditulis oleh ulama-ulama Nusantara yang mengajar di Mekah untuk Sultan Utsmani kala itu, Sultan Abdul Majid Khan, yang bertarikh 1266 Hijriah (1849 Masehi), terdapat nama Syekh Ismail Minangkabau di antara nama ulama-ulama yang bertandatangan dan membubuhkan cap di sana, seperti Syekh Ahmad Khatib Sambas, Syekh Ibrahim Khalusi Sumbawa, Syekh Muhammad Arsyad b. Abdul Fattah Bugis, Syekh Abdul Ghani b. Muhammad Zain Banten, Syekh Muhammad Abdullah b. Said Palembang, dan Syekh Muhammad Soleh Rao.

Syekh Ismail Minangkabau lalu pulang ke Nusantara dan diangkat menjadi ulama besar sekaligus penasihat Kesultanan Riau-Lingga. Raja Ali Haji, salah satu keluarga Kesultanan Riau-Lingga dan juga sasrawan besar Melayu (1808-1873), dalam karyanya Tuhfah al-Nafîs menyinggung kedatangan Syekh Ismail Minangkabau di istana kesultanannya.

Baca Juga: Syekh Abdul Ghani Batu Basurek Kampar Pemuka Ulama Naqsyabandiyah yang Terbilang di Riau dan Ranah Minangkabau

Belum ada tarikh yang pasti mengenai tahun lahir dan wafat dari Syekh Ismail Minangkabau. Namun melihat data guru-guru Syekh Ismail Minangkabau di Mekah yang hidup wafat pada paruh pertama abad ke-19 M, serta data penulisan surat (1849 M) dan kitab al-Rahmah al-Hâbithah (1851 M), maka bisa dipastikan kalau Syekh Ismail Minangkabau hidup pada masa-masa itu, yaitu akhir abad ke-18 M hingga paruh kedua abad ke-19 M. Diperkirakan beliau wafat pada 1275 Hijriah (1858 Masehi).

Wan Muhammad Shagir Abdullah mengatakan, bahwa Syekh Ismail Minangkabau memiliki dua orang anak yang juga menjadi ulama, yaitu Syekh Azhari b. Ismail (w. 1303 H/1886 M) dan Syekh Muhammad Nur b. Ismail (w. 1313 H/ 1895 M). Kedua anak Syekh Ismail Minangkabau tersebut meneruskan aktivitas beliau, di rumah pusaka beliau yang dinamakan Rumah Waqaf Al-Khalidi di Mekah, menjadi tumpuan atau tempat berkumpul orang-orang yang berasal dari dunia Melayu, terutama Ikhwanut Thariqah dan Kerabat Diraja Riau-Lingga. Bahwa Rumah Waqaf Al-Khalidi di Mekah itu dibina, dimulai oleh Syekh Ismail al-Minankabawi sendiri, dan sewaktu Raja Haji Ahmad bin Raja Haji ke Mekah pada tahun 1243 Hijrah/1828 Masehi, beliau mengulurkan dana wakaf yang banyak kepada Syekh Ismail al-Minankabawi.

Dana wakaf tersebut kemudian diteruskan oleh beberapa orang Kerabat Diraja Riau-Lingga, para murid beliau. Murid Syekh Ismail al-Minankabawi dari golongan elite Kerajaan Riau-Lingga sangat ramai, sama ada pimpinan tertinggi kerajaan, golongan cerdik pandai maupun golongan lainnya. Di antara mereka seumpama Raja Haji Abdullah, Yang Dipertuan Muda Riau Lingga ke-IX, Raja Ali Haji, pengarang Melayu yang sangat terkenal dan lain-lain. Kesimpulan dari seluruh perbincangan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah aliran al-Khalidiyah di dunia Melayu, dimulai oleh Syekh Ismail Khalidi Minangkabau di Mekah, kemudian beliau sendiri datang mendirikan pusat-pusat penyebarannya di Istana Pulau Penyengat, Riau, di Istana Temenggung Ibrahim di Teluk Belanga, Singapura, di Kampung Semabok, Melaka dan Kampung Upih di Pulau Pinang dan tempat-tempat lainnya.[]

Bogor, Maret 2018

Tulisan ini sempat dimuat juga oleh alif.id

Ahmad Ginanjar Sya'ban
Dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta