Ada seorang ustadz salah dalam membaca kitab. Lalu dikoreksi dan dikritik oleh ustadz yang lain. Tiba-tiba datang ustadz ketiga lalu membela ustadz pertama, sambil berkata, “Apakah ustadz tak boleh salah? Itu hal biasa saja. Jangan hanya lihat kesalahannya dalam membaca kitab saja, lihat juga sisi-sisi positif dan kebaikannya yang lain.”
Ilustrasi di atas tidak berangkat dari khayalan belaka. Ini memang terjadi. Hanya saja sengaja dideskripsikan secara simpel dan tidak menyebut pihak-pihak yang terlibat.
Pembelaan dari ustadz yang terakhir terhadap ustadz pertama yang salah dalam membaca kitab bisa saja dimaklumi kalau ustadz kedua mengkritik ustadz pertama secara berlebihan, tidak memperhatikan etika dan tata-krama, atau bahkan sampai menjelek-jelekkan pribadi ustadz yang dikritiknya.
Tapi jika ustadz kedua mengkritik dengan sopan dan tetap menjaga harga diri ustadz yang dikritiknya maka ustadz ketiga sesungguhnya tidak mengerti duduk permasalahan dan tujuan dari kritik yang disampaikan. Ia hanya mengandalkan ‘athifiyyah (emosional) atau ‘rasa setiakawan se-fikrah’ semata.
Baca Juga: Metafora Terjemahan Bahasa Arab ala Pakiah di Minang
☆☆☆
Kritikan terhadap bacaan kitab perlu disampaikan untuk menyadarkan diri sang ustadz (yang dikritik) bahwa ia perlu belajar lagi. Ia mesti menyadari bahwa dengan kesalahan baca tersebut (apalagi yang bersifat jaliyy) ia belum sepatutnya memberikan fatwa atau melakukan istinbath hukum. Ia tidak akan kehilangan sebutan ‘ustadz’nya dengan kesalahan itu, tapi ia belum layak untuk masuk ke ranah yang seharusnya belum dimasukinya. Ia bisa memainkan peran sebagai ustadz dalam konteks memberikan tadzkirah, tausiyah dan yang semisalnya.
Bagaimana kita akan yakin dengan kesimpulan hukum dari seorang ustadz yang belum mengerti apa itu fa’il, naib al–fa’il, maf’ul bih dan sebagainya? Bagaimana mungkin kita bisa menerima begitu saja penukilan fatwa yang dilakukan seorang ustadz kalau membaca isim yang majrur saja ia masih salah? Bagaimana bisa kita hanya diam saja ketika ada ustadz yang berapi-api mengatakan ini halal dan ini haram, tapi ketika ia membaca:
أستغفر الله العظيم
Ia baca dengan kasrah pada huruf haˋ di lafaz jalalah, ia baca: astaghfirullahil ‘azim?
☆☆☆
Kompetensi bahasa sesungguhnya tidak hanya mutlak dimiliki oleh para ulama yang mau tak mau mesti berinteraksi dengan nash Arab. Para penguasa (khalifah) pun mesti memiliki kemampuan bahasa yang mumpuni. Apalagi dulu yang menjadi khatib Jumat adalah khalifah sendiri. Maka wajar kalau salah seorang khalifah berucap:
شيبني اعتلاء المنابر
“Saya dibuat beruban gara-gara harus naik mimbar.”
☆☆☆
Suatu ketika Abdul Malik bin Marwan, khalifah terkenal Bani Umayyah, berkhutbah di hari Jumat. Salah seorang jamaah yang datang adalah seorang Arab dari kampung (Badui) yang keaslian bahasanya masih terjaga.
Tiba-tiba sang khalifah salah membaca satu kalimat. Yang seharusnya marfu’ ia baca kasrah. Sensitivitas bahasa Arab Badui ini terganggu. Ia langsung menangkap kesalahan itu. Baginya kesalahan ini sangat fatal dari seorang khalifah. Tapi karena khutbah sedang berlangsung ia menahan diri. Tapi mukanya sudah memerah menahan emosi.
Malangnya, sang khalifah salah lagi untuk kedua kalinya. Arab Badui ini spontan berteriak:
أوه
Tapi ia masih berusaha menahan diri.
Untuk kali ketiga sang khalifah melakukan kesalahan kembali. Di sini kesabaran si Arab Badui itu sudah habis. Ia berdiri dan berkata:
أشهد أنك وليت هذا الأمر بقدر
“Saya yakin engkau mendapatkan posisi ini (sebagai khalifah) karena kebetulan saja…”
☆☆☆
Ini berbanding terbalik dengan para khulafa rasyidin. Mereka bukan hanya orang-orang yang sangat memahami al-Qur’an dan Sunnah, tapi juga orang yang sangat mendalami bahasa Arab, balaghahnya, uslubnya, syair-syairnya dan sebagainya.
Suatu ketika Imam Ali bin Abi Thalib ra menerima laporan yang tidak baik tentang salah seorang gubernurnya. Ali kemudian meminta seorang pembantunya untuk menyampaikan pesannya pada sang gubernur. Pesan tersebut berupa sebait syair yang tegas, keras sekaligus menakjubkan. Baitnya:
غرك عزك فصار قصار ذلك ذلك فاخش فاحش فعلك فعلك تهدى بهذى
Secara bebas bait ini bisa diartikan dengan:
Jabatanmu telah menipumu
Ujung-ujungnya kehinaanmu
Takutlah dampak buruk perbuatanmu
Semoga dengan ini ditunjuki dirimu
Yang unik, bait ini ketika dibuang titik-titiknya (perlu diingat bahwa di masa itu belum ada titik dalam bahasa Arab), terlihat dua-dua katanya sama bentuknya, seperti ini:
عرك عرك فصار فصار دلك دلك فاحس فاحس فعلك فعلك ىهدى ىهدى
☆☆☆
Imam Syafi’i pernah berkata:
من تعلم القرآن عظم قدره ومن تعلم الحديث قويت حجته ومن تعلم العربية رق طبعه
“Orang yang mempelajari al-Qur’an tinggi nilainya, orang yang mempelajari hadis kuat hujjahnya, orang yang mempelajari bahasa Arab halus perasaannya.”
#هيا نتعلم العربية نطقا وكتابة وقراءة وفهما
[YJ]
Leave a Review