scentivaid mycapturer thelightindonesia

Konflik Adalah Keniscayaan Hidup #2

Konflik Adalah Keniscayaan Hidup #2
Ilustasi Dok. Istimewa

Sebelumnya Baca: Konflik Adalah Keniscayaan Hidup

Sensitivitas konflik yang harus dimiliki oleh pemimpin agama dalam masyarakat multikultur adalah; pertama, kemampuan untuk membangun mutual trust antar komunitas masyarakat yang berbeda dalam hal apapun, baik agama, pemikiran, etnis, ras dan lainnya. Karena hanya dengan saling percaya antara satu sama lain dalam sebuah komunitas yang berbeda-beda, dapat terjalin kerjasama untuk saling memenuhi kebutuhan baik secara ekonomi, sosial dan budaya. Mutual trust ini sangat penting agar masyarakat tidak begitu rentan dan mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan terjadinya konflik dan kekerasan, terlebih menyangkut persoalan emosi keagamaan yang sangat rentan dimanipulasi sebagai kekuatan yang sebenarnya diluar semangat ajaran keagamaan.

Jika mutual trust tidak tercapai dan yang terjadi malah justru sebaliknya yaitu mutual distrust (tidak saling percaya), maka gesekan benturan dan konflik akan menajalar begitu cepat dan subur dimana-mana. Berawal dari sikap tidak senang, tidak setuju, tidak sepakat dan begitu seterusnya, sebenarnya adalah hal yang wajar dalam kehidupan, akan tetapi jika hal tesebut disertai dengan munculnya sikap tidak mengakui keberadaan orang lain, serta akumulasi sikap tidak toleran, kebencian, kemarahan, ancaman, dan tindakan yang diskriminatif akan memunculkan penyakit hati yang sering disebut dengan buruk sangka (prejudice) pada kelompok lain, yang tidak seide, sepaham, seaqidah, seiman, sesekte, seorganisasi,seetnis dan begitu seterusnya. Maka hal itu akan menciptakan kondisi masyarakat yang tidak saling percaya antar komunitas atau kelompok.

Kedua, sensitivitas konflik yang harus dimiliki oleh pemimpin agama adalah apa yang diistilahkan oleh Prof, Amin Abdullah dengan “menguasai dua bahasa” (bilingual), artinya disini kemampuan elit pemimpin agama untuk menguasai “bahasa” komunitas inter umat beragama yang ia pimpin dan juga sekaligus “bahasa” orang yang ekstern atau diluar agamanya. Fungsinya adalah untuk mempermudah agar penyampaian pesan-pesan spritualitas dari agamanya dapat dengan mudah diterima oleh orang lain.

Kondisi masyarakat yang multikultur, majemuk sangat membutuhkan pemimpin agama yang memiliki kemampuan dua bahasa ini, bahasa pertama untuk kalangan agamanya sendiri, dan bahasa, kedua untuk orang yang diluar agamanya. Semua ini untuk mempermudah proses saling memahami satu sama lain.

Syahdan, Konflik merupakan keniscayaan dalam kehidupan manusia, alamiah dan sudah menjadi Sunatullah. Karena sifat konflik adalah alamiah, sudah pasti ada maka mustahil untuk menghilangkan konflik dari kehidupan manusia. Maka pilihan yang bijak adalah manajemen dan strategi konflik mutlak dibutuhkan. Menurut Webster (1966), istilah “conflict” didalam bahasa aslinya adalah “perkelahian, peperangan, atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Jika dipahami secara lebih luas maka konflik dapat diartikan: “Persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.”

Dalam rentangan sejarah manusia, konflik selalu hadir dalam situasi ruang dan waktu yang berbeda-beda, kondisi sosial-politik dan pola interaksi antar individu adalah awal dari bersemainya konflik. Semuanya menggambarkan konflik antara dua pihak, sebuah situasi dimana masing-masing pihak menginginkan sesuatu yang tidak ingin diberikan kepada pihak yang lain. Sesuatu itu bisa uang, waktu, penjadwalan kerja, tanah, keamanan, atau keinginan lainnya.

Menarik apa yang dikemukan oleh ilmuwan abad kesembilan belas dalam membuat gebrakan yang dramatis dan energik dalam penelitian konflik, yang dampaknya dapat dirasakan sampai sekarang, Sebut saja Charles Darwin tertarik mengenai perjuangan yang dilakukan suatu spesies untuk tetap bertahan hidup (survival of the fittest). Sigmund Freud mempelajari tentang perang antar berbagai kekuatan psikodinamika untuk mengontrol Ego yang terjadi di dalam diri seseorang. Dan Karl Marx mengembangkan analisis politis dan ekonomis berdasarkan asumsi bahwa, konflik adalah bagian yang tak terelakkan dalam sebuah masyarakat yang mencerminkan filosofi dialektis yang menjadi pegangannya.

Meskipun konflik dapat ditemukan di hampir setiap bidang interaksi manusia (Darwin, Freud, dan Marx telah membuat hal ini menjadi jelas), dan meskipun berbagai episode konflik merupakan peristiwa paling signifikan dan pantas menjadi berita dalam kehidupan manusia. Akan tetapi anggapan bahwa setiap interaksi perlu melibatkan konflik adalah tidak tepat.

Sesuatu yang bijak jika kita mampu menangkap sisi positif dari konflik dengan tidak selalu menganggap bahwa konflik adalah sesuatu yang negatif. Diantara positifisme konflik yaitu: pertama, konflik adalah persemaian yang subur bagi terjadinya perubahan sosial. Individu, kelompok yang menganggap bahwa situasi yang dihadapinya tidak adil atau bahkan kebijakan yang diambil tidak tepat atau berpotensi merugikan, maka akan menimbulkan reaksi kritikan dan perlawanan, misalnya peraturan atau undang-undang yang diterapkan pemerintah dirasakan merugikan rakyat.

Kedua, konflik sosial adalah konflik yang mencoba mempasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan yang ada. Dalam hal ini konflik tidak harus berakhir dengan kemenangan atau kekalahan dari salah satu pihak. Sebaliknya, posisi kedua belah pihak yang bertikai (beberapa diantaranya berupa kesepakatan yang bersifat integratif) yang menguntungkan dan memberikan keuntungan kolektif bagi keduanya. Dalam hal ini konflik dapat menjadi sebuah kekuatan kreatif.

Ketiga, atas dasar kedua fungsi positif diatas, konflik dapat mempererat persatuan golongan dan kelompok. Akan tetapi jika perubahan sosial atau rekonsiliasi atas kepentingan individu yang berbeda-beda, maka integritas kelompok dapat merosot dan hilang (Coser, 1956). Hasil akhirnya sering berupa disintegrasi kelompok. Tanpa konflik, kelompok dari masing-masing individu akan sulit memperoleh apa-apa yang menjadi harapan bersama.

Di Indonesia, konflik adalah sesuatu yang sering dianggap menakutkan bahkan cenderung selalu dianggap negatif. Mungkin karena negeri ini sudah lelah mengelola konflik yang kerap tak terselesaikan, mulai dari konflik etnis, agama, politik, tanah, keluarga dan hal-hal lain yang dianggap dapat menimbulkan konflik.

Eskalasi konflik sosial kian keras semenjak era reformasi, satu dekade yang sebanarnya mampu memberikan pengalaman manajemen serta strategi mengelola konflik. Tapi sepertinya Indonesia bukan negara yang pintar belajar dari pengalaman. Ini terbukti dari konflik yang sama berulang kali terjadi di tempat yang berbeda. Konflik agama, sosial-politik, pertanahan, sumber daya alam dan lain sebagainya.

Membaca peta konflik di Indonesia dimana peran pemerintah dianggap gagal dalam banyak hal penyelesaian konflik, yang seharusnya sebagai pihak ketig tidak mampu memainkan peranannya, tapi justru dianggap memihak pada salah satu pihak dan parahnya keberpihakan itu cenderung pada pihak yang memiliki kekuatan baik kekuasan maupun uang.

Respon dan peran pemerintah baik pusat maupun daerah, akan sangat kuat manakalah sebuah konflik sudah menimbulkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang parah. Padahal konflik itu sudah sedemikian lama terurai tanpa ada penyelesaian konkrit dan terkesan dibiarkan bak api dalam sekam. Lihat saja berbagai konflik di negeri ini yang sebenarnya sudah lama, tapi tidak serius mediasinya sampai menunggu amuk kemarahan masa yang sulit dikendalikan ketika sudah sampai pada titik klimaksnya.

Mediasi sebagai wadah pemecahan masalah konflik dengan berdasarkan pada prinsip win-win solution selama ini tumpul. Belum lagi tersosialisasi dan teraktualisasi dengan baik dan minimnya lembaga yang secara khusus berkiprah dalam proses mediasi konflik, semakin memperparah konflik yang agaknya sudah laten di negeri ini. Haruskah masyarakat Indonesia yang sering dilanda konflik mengharapkan peran mediasi pihak ketiga, benar-benar murni tidak memihak pada salah satu pihak adalah sebuah mimpi atau hanya orang-orang yang berkonflik sering mengharapkan pihak ketiga sebagai semacam “utusan dari Planet Mars”, agar penyelesaian konflik yang berkeadilan dinegeri ini dapat dirasakan.

Akhirnya, selas sudah uraian diatas semakin menegaskan bahwa konflik adalah sebuah keniscayaan, dari sumber konflik yang dijelaskan, tergambar bahwa potensi konflik sangat-sangat memungkinkan selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Jika sumber konflik dan proses-proses yang menjadikan intensitas, eskalasi konflik semakin membesar sudah dapat diidentifikasikan, maka hal dialektika dan dinamika konflik akan mudah dilalui dan diatasi tanpa fhobia apalagi menghindari.

Kematangan dalam menghadapi konflik, kesiapan dan pemahaman yang komprehensif tentang anatomi konflik akan menggerakan konflik pada arah perubahan dan tidak sampai pada arah penghancuran peradaban manusia melalu kekerasan. Equilibirium atau keseimbangan dalam hukum alam antara keteraturan (cosmos) dan ketidakaturan (chaos) dapat berjalan secara alamiah.

Baca Juga: Ulama dalam Konflik Sosial

Formulasi teologi konflik yang akan membentuk lahirnya watak atau karakter sensitivitas konflik adalah, bahagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia demi terciptanya kesimbangan alam tadi. Sensitivitas konflik adalah, salah satu upaya untuk memahami bahwa konflik selalu ada selain itu untuk dapat menemukan jalan keluar dari setiap konflik, dengan berlandaskan pada keadilan tanpa mencederai pihak atau kelompok tertentu. Phobia konflik dan peretasan sensitivitas konflik dapat terjadi ketika ada pergeseran paradigma, khususnya dalam memandang orang lain sebagai the others. Sikap dan paradigma dalam hal itu ditentukan oleh banyak hal diantaranya adalah, sosial kultural, attitude, behavior dan etika sosial. Selain itu, belajar dari perspektif pemikiran, budaya, dan agama orang lain juga akan memperkaya wawasan dalam setiap proses penyelesaian konflik dalam kehidupan manusia.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf, sempat Nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Dan sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Penulis bisa dihubungi melalui Fb: Salman Akif Faylasuf dan No hp: 081907461607