scentivaid mycapturer thelightindonesia

Konsep Akad Mudharabah Musytarakah Bag 1

Konsep Akad Mudharabah Musytarakah Bag 1
Ilustrasi/Dok.Lawnet.ir

Konsep Akad Mudharabah Musytarakah merupakan sebuah tulisan yang cukup panjang dan lengkap dalam mengulas akad mudharabah. Dengan alasan mempertimbangkan pembaca, tim redaksi harus membaginya menjadi empat bagian. Selamat membaca!

Akad Mudharabah Musytarakah merupakan pengembangan dari akad Mudharabah atau akad Qiradh klasik yang ada dalam ekonomi Islam. Akad ini termasuk salah satu bentuk akad-akad baru (al-‘Uqud al-Mustahdatsah) yakni akad-akad kontemporer yang belum ada dan belum dijelaskan dalam literatur Islam klasik. Akad Mudharabah Musytarakah juga merupakan salah satu bentuk akad tidak bernama (al-‘Uqud Ghairu al-Musamma), karena akad ini tidak ditentukan namanya oleh pembuat hukum dan tidak ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus terhadapnya, sebagaimana akad-akad lain seperti akad buyu’ (jual beli), ijarah (sewa), syirkah (kerjasama), dan semisalnya.

Akad Mudharabah Musytarakah pada dasarnya adalah pengembangan dari akad Mudharabah atau Qiradh. Akad Mudharabah atau Qiradh sebagaimana yang dikenal dalam literatur klasik adalah satu akad sederhana yang terdiri dari dua pihak. Salah satu pihak memiliki modal (disebut dengan pemilik modal atau shahib al-maal) dan pihak lain yang menjalankan usaha mengembangkan modal tersebut untuk memperoleh keuntungan (disebut dengan pengusaha atau mudharib). Pemilik modal adalah seseorang yang jelas statusnya dan memiliki modal seratus persen, begitu juga dengan pengusaha yang hanya bekerja total dan jelas orangnya. Akan tetapi, perkembangan dunia usaha saat ini mengubah hal-hal tersebut. Pemilik modal dalam skema investasi saat ini tidak lagi satu orang yang nyata, tetapi juga bisa dalam bentuk beberapa orang, bahkan dalam bentuk badan hukum, demikian juga pihak pengusahanya. Akad yang terjadi antara pemilik modal dan pengusaha tidak lagi satu akad kerjasama Mudharabah saja, melainkan juga tersusun dari akad-akad lain yakni akad wadi’ah (titipan), wakalah (perwakilan/penguasaan), dan akad syirkah (kerjasama).

Akad Mudharabah Musytarakah saat ini merupakan salah satu akad yang diberlakukan pada produk keuangan syariah di Lembaga Keuangan Syariah (selanjutnya disingkat LKS). Pihak-pihak yang terlibat dalam akad tidak lagi hanya dua pihak, melainkan beberapa pihak. Semua pihak berkeinginan agar mendapatkan keuntungan dari hasil produk tersebut. Pihak pemilik modal misalnya tidak hanya sekedar ingin menitipkan dana kepada LKS, tetapi juga berkeinginan agar mendapatkan keuntungan dari dana yang ia titipkan. Begitu pula pihak LKS tidak ingin sekadar menjadi tempat penitipan dana, tetapi juga berkeinginan agar mendapatkan keuntungan dari dana yang dititipkan. LKS biasanya akan memutarkan dana tersebut dalam bentuk investasi ke pengusaha tertentu, atau LKS hanya berperan sebagai penyalur dana yang diinvestasikan.

Akad Mudharabah diatur oleh syariat Islam. Penjelasannya banyak ditemui dalam literatur klasik Islam. Hal ini berbeda dengan akad Akad Mudharabah Musytarakah yang merupakan akad baru dan tidak ditemukan serta tidak dijelaskan oleh ulama Islam era klasik. Mengingat hal tersebut, maka penting kiranya menguraikan tentang bagaimana Islam memandang Akad Mudharabah Musytarakah, baik dari sisi hukum dan penerapannya. Pengetahuan Hakim Pengadilan Agama tentang akad Mudharabah Musytarakah menjadi sangat penting, mengingat pesatnya perkembangan ekonomi Islam dewasa ini, serta vitalnya keberadaan akad ini di dalamnya.

Baca Juga: Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia Melalui Kompilasi Hukum Islam Bagian 1

Sepintas tentang Akad Mudharabah

Mudharabah berasal dari kata al-dharbu fil ardhi yaitu berpergian untuk urusan dagang. Al-Qur-an tidak secara langsung (sharih) menunjuk istilah Mudharabah, melainkan melalui akar kata ض ر ب  yang diungkapkan sebanyak lima puluh delapan kali. Dari beberapa kata inilah yang kemudian mengisyaratkan adanya konsep akad Mudharabah. Mudharabah disebut juga Qiradh yang berasal dari kata al-qordhu yang berarti potongan, karena pemilik memotong sebagian hartanya  untuk  diperdagangkan  dan  memperoleh  sebagian keuntungan.[1] Istilah   Mudharabah    dipakai   oleh   mazhab   Hanafi, Hanbali, dan Zaidi, sedangkan istilah Qiradh dipakai oleh mazhab Maliki dan Syafi’i. Dalam fikih kontemporer, kedua istilah ini dipakai bergantian dengan merujuk kepada makna yang sama. Istilah Mudharabah berasal dari Irak sedangkan Qiradh dan Muqaradhah digunakan di Hijaz.[2]

Beberapa pengertian Mudharabah secara terminologis disampaikan oleh ulama mazhab fikih, di antaranya adalah Ibn Rusyd menyatakan bahwa Mudharabah adalah:

أَنْ يُعْطِيَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ الْمَالَ عَلَى أَنه يَتَّجِرَ بِهِ عَلَى جُزْءٍ مَعْلُومٍ يَأْخُذُهُ الْعَامِلُ مِنْ رِبْحِ الْمَالِ، أَيَّ جُزْءٍ كَانَ مِمَّا يَتَّفِقَانِ عَلَيْهِ ثُلُثًا، أَوْ رُبُعًا، أَوْ نِصْفًا[3]

Artinya “seorang laki-laki menyerahkan hartanya kepada laki-laki lain untuk dibisniskan atas satu bagian yang diketahui, pengusaha mendapat bagian dari keuntungan, yakni dari bagian yang telah disepakati bersama sepertiga, seperempat atau setengahnya”

Ibn Qudamah al-Maqdisi mendefinisikan Mudharabah sebagai berikut:

أَنْ يَدْفَعَ رَجُلٌ مَالَهُ إلَى آخَرَ يَتَّجِرُ لَهُ فِيهِ، عَلَى أَنَّ مَا حَصَلَ مِنْ الرِّبْحِ بَيْنَهُمَا حَسَبِ مَا يَشْتَرِطَانِهِ[4]

Artinya “seorang menyerahkan hartanya kepada yang lain, agar harta itu dikembangkan dalam dunia bisnis, keuntungan yang diperoleh dibagi bersama sesuai kesepakatan bersama”

Khathib al-Syirbini al-Syafi’i mengutarakan Mudharabah adalah:

( أن يدفع ) أي المالك ( إليه ) أي العامل ( مالا ليتجر ) أي العامل ( فيه والربح مشترك ) بينهم[5]

Artinya “pemilik harta menyerahkan hartanya kepada pengusaha untuk dibisniskan dan keuntungan yang diperoleh milik bersama di antara mereka”

Wahbah al-Zuhaili menyatakan bahwa Mudharabah adalah:

المضاربة: هي أن يدفع المالك إلى العامل مالاً ليتجر فيه، ويكون الربح مشتركاً بينهما بحسب ما شرطا. وأما الخسارة فهي على رب المال وحده، ولا يتحمل العامل المضارب من الخسران شيئاً وإنما هو يخسر عمله وجهده[6]

Artinya “Mudharabah adalah pemilik harta menyerahkan hartanya kepada seorang pekerja, agar hartanya itu digunakan untuk berbisnis, keuntungan yang diperoleh dibagi bersama dengan ukuran sesuai kesepakatan. Adapun kerugiannya dibebankan kepada pemilik harta saja, pekerja tidak menanggung sesuatu apapun dari kerugian sebagai akibat dari bisnisnya, ia hanya menerima kerugian tidak mendapatkan keuntungan dari bisnisnya”.

Dalam Pasal 231 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, akad Mudharabah adalah pemilik modal menyerahkan dana dan atau barang berharga kepada pihak lain untuk melakukan kerjasama dalam usaha.

Mudharabah dari beberapa pengertian di atas dapat dimaknai sebagai akad kerja sama usaha antara pemilik modal (shahib al-maal) dan pengelola modal (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha, laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh si pemilik modal kecuali disebabkan oleh kesalahan yang disengaja, akibat kelalaian, dan perbuatan menyalahi prosedur oleh pengelola modal. Unsur penting dalam akad Mudharabah ini adalah kepercayaan, karena pemilik modal mempercayakan modalnya kepada pengelola untuk tujuan menjalankan usaha. Pengelola atau pengusaha (mudharib) menyumbangkan tenaga dan waktunya untuk mengelola modal sesuai dengan syarat-syarat kontrak.

Ulama sepakat bahwa hukum akad Mudharabah adalah boleh. Al-Qur’an meskipun tidak menjelaskan secara terang (sharih), tetapi memberikan isyarat tentang dibolehkannya aktifitas akad Mudharabah. Di antaranya adalah sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an surat al-Muzzammil ayat 20 dan surat al-Jumu’ah ayat 10:

وآخرون يضربون في الأرض يبتغون من فضل الله

Artinya “sebagian mereka berjalan di muka bumi untuk mencari karunia Allah”. (Q.S. al-Muzzamil: 20)

فإذا قضيت الصلاة فانتشروا في الأرض وابتغوا من فضل الله

Artinya “apabila kamu telah selesai melaksanakan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah sebagian dari karunia Allah”. (Q.S. al-Jumu’ah: 10)

Dua ayat di atas menjelaskan secara umum tentang anjuran untuk mencari karunia Allah, termasuk dengan cara berbisnis secara Mudharabah.

Beberapa hadis juga mengatur tentang Mudharabah di antaranya adalah sebagai berikut:

عَنْ صُهَيْبٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( ثَلَاثٌ فِيهِنَّ اَلْبَرَكَةُ: اَلْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ، وَخَلْطُ اَلْبُرِّ بِالشَّعِيرِ لِلْبَيْتِ, لَا لِلْبَيْعِ ) رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ

“Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual-beli yang ditangguhkan, melakukan Qiradh (memberi modal pada orang lain), dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjualbelikan.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).

روى ابن عباس رضي الله عنهما انه قال :كان سيدنا العباس بن عبد المطلب اذا دفع المال مضربة اشترط على صاحبه ان لايسلك به بحرا ولاينزل به واديا ولايشترى به دابة ذات كبد رطبة فان فعل ذلك ضمن فبلغ شرطة رسول الله صلى الله عليه وسلم فاجازه

“Diriwayatkan oleh ibnu Abbas bahwasannya Sayyidina Abbas jikalau memberikan dana ke mitra usahanya secara Mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau mebeli ternak yang berparu-paru basah, jika menyalahi peraturan maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikannyalah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW. Dan Rasulullah pun membolehkannya.” (HR. Thabrani)

وَعَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رضي الله عنه أَنَّهُ كَانَ يَشْتَرِطُ عَلَى اَلرَّجُلِ إِذَا أَعْطَاهُ مَالًا مُقَارَضَةً أَنْ لَا تَجْعَلَ مَالِي فِي كَبِدٍ رَطْبَةٍ وَلَا تَحْمِلَهُ فِي بَحْر ٍوَلَا تَنْزِلَ بِهِ فِي بَطْنِ مَسِيلٍ فَإِنْ فَعَلْتَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَقَدَ ضَمِنْتَ مَالِي رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيّ . وَقَالَ مَالِكٌ فِي اَلْمُوَطَّأِ عَنْ اَلْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ يَعْقُوب عَنْ أَبِيهَ عَنْ جَدِّه أَنَّهُ عَمِلَ فِي مَالٍ لِعُثْمَانَ عَلَى أَنَّ اَلرِّبْحَ بَيْنَهُمَا وَهُوَ مَوْقُوفٌ صَحِيحٌ ِ, وَرِجَالُهُ ثِقَاتُ

Artinya: Dari Hakim Ibnu Hizam bahwa disyaratkan bagi seseorang yang memberikan modal sebagai Qiradh, yaitu: Jangan menggunakan modalku untuk barang yang bernyawa, jangan membawanya ke laut, dan jangan membawanya di tengah air yang mengalir. Jika engkau melakukan salah satu di antaranya, maka engkaulah yang menanggung modalku. Riwayat Daruquthni dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Malik berkata dalam kitabnya al-Muwattho’, dari Ala’ Ibnu Abdurrahman Ibnu Ya’qub, dari ayahnya, dari kakeknya: Bahwa ia pernah menjalankan modal Utsman dengan keuntungan dibagi dua. Hadits mauquf shahih.

Dari Abdullah dan ‘Ubaidullah, keduanya putra Umar bin al-Khaththab ra bahwa keduanya bertemu dengan Abu Musa Al-Asy’ari di Basrah, setelah pulang dari perang Nahawand. Keduanya menerima harta dari Abu Musa untuk dibawa ke Madinah. Di perjalanan keduanya membeli harta benda perhiasan, lalu menjualnya di Madinah, sehingga keduanya mendapat keuntungan. Umar memutuskan untuk mengambil modal dan keuntungan semuanya. Tetapi kedua anaknya berkata,”Jika harta itu binasa, bukankah kami yang bertanggung jawab menggantinya. Bagaimana mungkin tak ada keuntungan untuk kami?”. Maka berkata seseorang kepada Umar,“Wahai Amirul Mukminin, alangkah baiknya jika engkau jadikan harta itu sebagai Qiradh”. Umar pun menerima usulan itu. Umar berkata,”Aku menjadikannya Qiradh”. Umar mengambil separuh dari keuntungan (50 % untuk Baitul Mal dan 50% untuk kedua anaknya).[7]

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa akad Mudharabah telah tetap berdasarkan ijmak yang berdiri di atas nash al-Qur’an dan Sunnah. Praktik akad Mudharabah adalah praktik yang telah dikenal diantara mereka (para sahabat) sejak masa Jahiliyah termasuk yang dipraktikkan di kalangan kaum Quraisy. Secara umum praktik bisnis yang berlaku pada masa itu pemilik modal menyerahkan modalnya untuk dikembangkan oleh orang yang memiliki keahlian dalam bidang bisnis. Demikian pula yang dipraktikkan Rasulullah SAW, sebelum kenabian beliau melakukan perjalanan dari satu daerah ke daerah yang lain dengan membawa harta orang lain untuk dijadikan modal bisnisnya, sebagaimana beliau melakukan perjalanan dengan membawa harta milik Khadijah dan keledai Abu Sufyan. Bisnis yang dilakukan beliau kebanyakan dengan akad Mudharabah bersama Abu Sufyan dan bersama yang lainnya. Ketika Islam datang dan disyariatkan praktik Mudharabah diakui dan dibenarkan Rasulullah SAW yang kemudian diikuti sahabat-sahabatnya, mereka melakukan perjalanan untuk berbisnis dengan membawa harta orang lain dengan akad Mudharabah, tidak ada seorang sahabatpun yang menentang praktik bermuamalah tersebut.[8]

Baca Juga: Hukum Haji dengan Utang Bagian 1

Akad Mudharabah memiliki tiga rukun pokok, yaitu menurut mayoritas ulama, yaitu subjek akad (shahib al-maal dan mudharib), objek akad (yaitu modal pokok, pekerjaan atau bentuk bisnis, dan keuntungan), dan shighat akad (ijab dan kabul).[9]  Menurut mazhab Syafi’i terdapat lima rukun, yaitu subjek akad (shahib al-maal dan mudharib), harta, pekerjaan (bentuk bisnis), keuntungan dan shighat akad (ijab dan kabul).[10]

Akad Mudharabah ditinjau dari keberadaan dan pemberlakuan syarat dibagi kepada dua bentuk, yaitu Mudharabah Muthlaqah dan Mudharabah . Akad Mudharabah Muthlaqah adalah akad Mudharabah antara pemilik modal (shahib al-maal) dengan pengusaha/pengelola modal (mudharib)yang pada akad tersebut tidak memuat syarat-syarat apapun untuk membatasi bisnis yang akan dilakukan oleh  mudharib, sehingga mudharib memiliki kebebasan untuk melakukan bisnis dalam berbagai bidang. Mudharabah Muqayyadah adalah akad Mudharabah di mana bisnis yang akan dilakukan mudharib terbatas dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam akad, baik bentuk, sifat, tempat dan waktunya.[11] Kedua bentuk akad Mudharabah ini menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal diperbolehkan.[12] Sementara menurut Malik dan al-Syafi’i akad Mudharabah yang dibolehkan hanya akad  Mudharabah Muthlaqah saja[13]. Demikian pula menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal diperbolehkan akad Mudharabah yang disandarkan kepada waktu yang akan datang, misalnya pemilik modal menyatakan “harta ini saya serahkan kepadamu untuk dijadikan modal usaha mulai bulan depan”. Sementara menurut Malik dan al-Syafi’i akad Mudharabah yang demikian tidak diperbolehkan.

Adapun menggantungkan akad Mudharabah pada satu syarat, misalnya pemilik modal menyatakan “apabila seorang datang kepadamu dengan membawa sejumlah uang milik saya sebagai pembayaran hutang yang menjadi tanggungannya kepada saya, maka saya serahkan uang itu kepadamu untuk dijadikan modal usaha”. Akad Mudharabah semacam ini menurut mazhab Hanbali diperbolehkan, sedangkan menurut ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i tidak diperbolehkan, sebab akad Mudharabah adalah termasuk akad untuk memperoleh sebagian keuntungan, adanya hak kepemilikan terhadap sebagian keuntungan tidak dapat digantungkan terhadap apapun.[14] Mazhab Maliki dan Syafi’Ii menyatakan salah satu syarat akad Mudharabah adalah tidak dibatasi dengan berbagai macam batasan baik yang berkaitan dengan waktu, tempat tujuan berbisnis maupun jenis bisnis yang akan dilakukan mudharib. Dengan demikian Mudharabah Muqayyadah (akad yang dibatasi batasan-batasan tertentu) dalam pandangan ulama ini hukumnya tidak sah menurut hukum.[15]

Mengingat munculnya akad Mudharabah Musytarakah, maka akad Mudharabah model klasik yang hanya melibatkan dua orang subyek hukum saja, yaitu pemilik modal dan pengusaha, maka akad Mudharabah biasa ini sering juga disebut dengan akad Mudharabah Fardiyah. Hal ini sekadar menjadi pembeda saja dengan akad Mudharabah Musytarakah yang akan dibahas pada pembahasan-pembahasan berikutnya.

Baca Bagian Selanjutnya……


[1] Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empatt, 2014), Edisi III, h. 128.

[2] Sutan Remy  Sjahdaini,  Perbankan  Syariah  Produk  dan  Aspek-Aspek  Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2014), Cetakan Pertama, h. 294.

[3] Lihat al-Qurthubi, Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayah l-Mujtahid Wa Nihayah l-Muqtashid, (Mesir: Dar Al-Hadis, 2004) Juz IV, h. 21.

[4] Lihat al-Maqdisi, Abu Muhammad Muwafiq al-Din Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, al-Mughni, (Cairo: Maktabah Al-Qahirah, 1968) Juz V, h. 19.

[5] Lihat al-Syirbini, Muhammad Al-Khathib, Mughni Al-Muhtaj Ila Ma’rifah Ma’ani Alfadh Al-Minhaj, (Beirut: Dar Al-Fikr, T.th), Juz II, h. 310.

[6] Iihat Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar Alfikr, 2002), Juz V, h. 924.  

[7] Hadis ini dikeluarkan Imam Malik dalam Al-Mu’atha’ dari Zaid bin Aslam.

[8] Lihat Wahbah al-Zuhaili, Op.Cit, Juz V, h. 926.

[9] Lihat Wahbah al-Zuhaili. Ibid halaman 927.

[10] Lihat DR. Mushthafa Al-Khan dan DR. Mushthafa Al-Bagha, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab Imam al-Syafi’i, (Damaskus: Dar Al-Qalam Lithaba’ah Wa Al-Nasyar Wa Al-Tauzi’,  1992), Juz VII, h. 74.

[11] Lihat al-Kassani, ‘Ala’ al-Din Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad, Bada’I’ al-Shana’i Fi Tartib Al-Syara’iy, (Mesir: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1986), Juz VI, h. 87.

[12] Lihat al-Jaziri, Abdurrahman bin Muhammad,  Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 2003),Juz III, h. 49.

[13] Lihat DR. Mushthafa Al-Khan et.al, Op.Cit, Juz VII halaman 75

[14] Lihat al-Maqdisi, Abu Muhammad Muwafiq al-Din Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, Op.Cit, Juz V, h. 26.

[15] Lihat DR. Mushthafa Al-Khan et.al., Op.Cit, Juz VII, h. 73.

Zamzami Saleh
Calon Hakim Pengadilan Agama, Alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah MTI Canduang. Alumni al-Azhar Mesir dan Pascasarjana di IAIN IB Padang.