Baca Sebelumnya: Konsep Akad Mudharabah Musytarakah Bagian 1
Pengertian Akad Mudharabah Musytarakah
Akad Mudharabah Musytarakah adalah nama akad kontemporer yang tidak dikenal oleh ahli fikih klasik. Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa pada dasarnya pemahaman akad Mudharabah era klasik hanyalah terbatas kepada akad kerja sama usaha antara satu pemilik modal (seratus persen memiliki dana) dan satu pengusaha (seratus persen mengelola dana) untuk melakukan kegiatan usaha dengan laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak. Namun, dalam perkembangan transaksi ekonomi era kontemporer ditemukan produk-produk LKS yang secara sepintas mirip dengan akad Mudharabah, tetapi sedikit berbeda.
Perbedaan tersebut seperti pemilik modal tidak lagi satu orang melainkan beberapa orang dan pengusahanya tunggal, atau sebaliknya pemilik modalnya satu orang dan pengusahanya banyak, atau juga terdiri dari beberapa pemilik modal dan beberapa pengusaha. Ditemukan juga model seperti akad Mudharabah, tetapi pengusaha juga ikut menyertakan dananya ke dalam modal, sehingga posisinya tidak hanya sebagai pengusaha murni, tetapi pada saat yang sama juga berposisi sebagai pemilik modal dan berserikat dengan pemilik modal asal. Mengingat bahwa para pihak dalam akad Mudharabah ini banyak (tidak tunggal) serta hubungan hukum antar para pihaknya juga tidak tunggal, maka akad Mudharabah ini dinamakan dengan akad Mudharabah Musytarakah. Dapat disimpulkan bahwa akad Mudharabah Musytarakah adalah akad Mudharabah yang jumlah para pihak dan hubungan antar masing-masing pihaknya lebih dari satu (tidak tunggal). Selain itu, dinamakan akad Mudharabah Musytarakah karena akad Mudharabah secara asal dikombinasikan dengan akad Musyarakah (kerjasama). Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menjelaskan dalam fatwanya nomor 50/DSN-MUI/III/2006 bahwa Mudharabah Musytarakah adalah bentuk akad Mudharabah di mana pengelola (mudharib) menyertakan modalnya dalam kerjasama investasi tersebut.
Kondisi pengusaha yang ikut serta menanamkan modalnya ke modal asal ini secara tidak langsung membuat akad ini lebih cenderung menyerupai akad Musyarakah. Namun, jika diteliti lebih jauh, ada beberapa perbedaan antara akad Mudharabah Musytarakah dengan sekadar akad Musyarakah. Perbedaan paling mencolok adalah pada pembagian keuntungan. Dalam akad Musyarakah, pembagian keuntungan hanya satu tahap saja (yaitu keuntungan usaha dibagi langsung kepada para anggota musyarakah). Namun, dalam akad Mudharabah Musytarakah, pembagian keuntungan berlangsung dua tahap. Tahap pertama, pembagian keuntungan musyarakah, yaitu pembagian keuntungan di antara para pemilik modal, di mana pengusaha (dalam hal ini LKS) juga menjadi salah satu pemilik modal. Tahap kedua, pembagian keuntungan mudharabah antara LKS sebagai pengusaha dan para pemilik modal berdasarkan nisbah yang disepakati.
Contoh sederhana dari akad Mudharabah Musytarakah, misalnya A sebagai pemilik modal dan LKS melakukan kerjasama akad Mudharabah Musytarakah, di mana hasil keuntungan usaha akan dibagi dengan nisbah A mendapatkan 50% dan LKS mendapatkan 50%.. LKS sebagai pengusaha (mudharib) ikut menyertakan dananya kepada modal asal, sehingga terjadi musyarakah antara A dan LKS, di mana porsi A adalah 80% dari modal dan LKS memiliki porsi 20% dari modal. Setelah usaha dijalankan, ternyata menghasilkan keuntungan sebanyak 1000. Berdasarkan konsep di atas, maka pembagian keuntungannya dilaksanakan dua tahap. Tahap pertama adalah pembagian keuntungan musyarakah. A memiliki 80% modal mendapatkan 800, sementara LKS yang memiliki modal 20% mendapatkan 200. Tahap kedua adalah pembagian keuntungan mudharabah. Mudharabah antara A dan LKS yang mendapatkan keuntungan sebanyak 800 kemudian dibagi sesuai nisbah yang disepakati yaitu A mendapatkan 50% dari 800 dan LKS mendapatkan 50% dari 800.
Meskipun substansi dan status hukum akad Mudharabah Musytarakah ini tidak dibahas dalam satu pembahasan khusus oleh ulama klasik secara mendalam, tetapi mereka telah menyinggung dan mengisyaratkannya dalam kitab-kitabnya terkait akad Mudharabah yang dilakukan lebih dari satu orang atau lebih dari satu pihak. Al-Baghawi misalnya mengungkapkan
ولو قارض رجلان رجلًا على ألف، فقالا: قارضناك على أن نصف الربح لك. والباقي بيننا بالسوية جاز[1]
Artinya “Apabila dua orang laki-laki berbisnis secara Mudharabah bersama seorang laki-laki lain atas harta 1000 dinar, dua orang itu menyatakan ‘kami (akan) melakukan bisnis Mudharabah dengan kamu, setengah keuntungan untukmu dan sisanya bagi kami secara sama’, hal ini dibolehkan”
Demikian pula Ibn Qudamah menyatakan :
وإن قارض اثنان واحدًا بألف لهما جاز[2]
Artinya “Dan jika dua orang melakukan bisnis secara Mudharabah dengan seorang yang lain dengan sejumlah uang 1000 derham milik mereka berdua, maka hal itu hukumnya boleh”.
Ibn Rusyd juga menuturkan bahwa Imam Malik pernah ditanya tentang seorang laki-laki mengambil harta untuk dibisniskan secara Mudharabah milik dua orang laki-laki, ia hendak mencampurkannya dengan harta selain milik mereka, Imam Malik menganjurkan mendapat izin dari dua orang itu lebih baik dan saya lebih suka, apabila tidak mendapatkan izin, tidak ada jalan untuk saya berfikir, menurut kabar salah seorang dari mereka mengizinkannya dan yang lain tidak mengizinkannya, kemudian laki-laki itu mencampurkan harta mereka”. Setelah itu Ibn Rusyd menyimpulkan bahwa demikianlah dua harta tersebut dicampurkan setelah mendapat izin dari salah satunya, mendapat izin dari keduanya adalah lebih baik, karena masing-masing dari mereka akan beranggapan harta miliknya lebih baik dari hartaa yang lain. Percampuran harta salah seorang dengan harta seorang yang lain dengan tanpa memberi kebebasan kepada yang lain adalah tidak lazim dan orang yang mencampurkannya itu patut bertanggungjawab atas segala resikonya.[3]
Al-Nawawi ra. berpendapat:
وإذا قارض اثنان واحدًا، فليبينا نصيب العامل من الربح، ويكون الباقي بينهما على قدر ما ماليهما[4]
Artinya “Dan jika dua orang melakukan bisnis secara Mudharabah dengan seorang yang lain, maka hendaknya dua orang itu menjelaskan bagian keuntungan untuk al-mudharib dan sisanya dibagi diantara mereka dengan ukuran sesuai harta mereka berdua”
Dari uraian tersebut, dapat diketahui bahwa subjek hukum dalam akad Mudharabah terdiri dari beberapa pihak atau terdiri dari beberapa orang, baik yang berkaitan dengan pemilik modal maupun yang berkaitan dengan pengusaha (al-mudharib) bukanlah persoalan yang asing dalam fikih Islam, melainkan telah diungkapkan ulama terdahulu dan telah ditetapkan kebolehannya, walaupun pihak-pihak yang berkaitan dengan Mudharabah terdiri dari beberapa orang atau beberapa pihak, pada dasarnya satu pihak, yaitu pihak yang menginvestasikan dananya dan pihak pengelola dana tersebut. Dengan demikian akad Mudharabah Musytarakahhukumnya boleh. Lebih lanjut bahwa akad Mudharabah Musytarakah sebenarnya adalah akad Mudharabah yang kemudian dikombinasikan, sehingga apabila sudah jelas kebolehan akad Mudharabah secara umum, maka akad Mudharabah Musytarakah tentu saja sama hukumnya. DSN-MUI dalam fatwanya nomor 50/DSN-MUI/III/2006 menyatakan bahwa Mudharabah Musytarakah boleh dilakukan oleh LKS, karena merupakan bagian dari hukum Mudharabah.
Dalam akad Mudharabah Musytarakahpaling tidak terdapat dua hubungan hukum. Hubungan hukum yang pertama adalah hubungan hukum antara para pemilik modal dan hubungan hukum kedua adalah hubungan hukum antara para pemilik modal dengan al-mudharib sebagai pengusaha. Hubungan hukum yang pertama antar para memilik modal adalah hubungan hukum Musyarakah atau al-syirkah (kerjasama), kemudian mereka yang terhimpun dalam hubungan hukum al-syirkah ini berhadapan dengan al-mudharib sebagai pengusaha. Hubungan hukum antara mereka dengan al-mudharib adalah hubungan hukum Mudharabah.
Baca Juga: Bernazar dan Hukumnya
Hubungan Hukum antar Para Pemilik Modal dalam Akad Mudharabah Musytarakah
Hubungan hukum antar pemilik modal pada dasarnya telah memenuhi asas-asas skema syirkah ‘inan, sehingga segala ketentuan tentang hubungan hukum tersebut mengikuti ketentuan hukum yang ditetapkan dalam syirkah‘inan. Akan tetapi, bentuk kerjasama dalam hal ini menurut ulama mazhab Maliki bukan termasuk syirkah al-‘uqud melainkan syirkah al-milk, karena dalam kerjasama ini tidak terdapat akad untuk melakukan syirkah. Selain itu, dalam karakteristik syirkah ‘inan tidak disyaratkan seorang mudharib (pengusaha) yang akan menghimpun dana dari beberapa orang pemilik modal harus ada izin dari pemilik modal lainnya. Adanya izin dari pemilik modal yang lain hanyalah merupakan kepantasan dan etika saja. Pengusaha boleh mencampurkan modal yang diinvestasikan seseorang dengan modal yang diinvestasikan orang lain, walaupun tidak ada izin dari orang lain, dan tidak berakibat pengusaha bertanggung jawab atas segala risikonya. Hal ini menunjukkan bahwa syirkah antar pemilik modal adalah syirkah idhthirariyah (otomatis, tanpa akad), dan syirkah semacam ini termasuk syirkah al-milk. Oleh karena itu, keuntungan yang diperoleh setelah dikurangi yang menjadi bagian mudharib adalah milik bersama dengan pembagian disesuaikan dengan besaran dan jumlah dana yang diinvestasikannya.
Dilihat dari hubungannya dengan perolehan keuntungan yang memungkinkan terjadi perbedaan, maka kerjasama yang demikian termasuk syirkah al-‘aqd menurut ulama mazhab Hanafi dan Hanbali. Ibn Qudamah menyatakan:
وأما شركة العنان – وهو أن يشتركا بدنان بماليهما – فيجوز أن يتساويا مع تفاضلهما في المال , وأن يتفاضلا فيه مع تساويهما في المال[5]
Artinya: Dan adapun syirkah al-‘inan adalah kerjasama antara dua orang pebisnis atau pengusaha dengan modal dari harta mereka berdua. Oleh karena itu, keuntungan yang diperoleh boleh dibagi sesuai ukuran harta masing-masing. Boleh dibagi secara berimbang walaupun hartanya tidak sama banyaknya dan boleh juga dibagi secara berbeda walaupun hartanya berimbang.
Dalam hal ini, Abu Hanifah, Malik dan al-Syafi’i menyatakan bahwa sebagian syarat sah syirkah al-‘inan adalah pembagian keuntungan dan kerugian diperhitungkan sesuai ukuran harta yang diinvestasikannya. Al-Kassani dalam hal ini menanggapi bahwa apabila kedua harta itu dalam keadaan berimbang dan terdapat syarat salah seorang dari mereka akan mendapatkan keuntungan yang lebih, maka harus dilihat terlebih dahulu. Apabila terdapat syarat hanya salah seorang dari mereka yang melakukan usahanya, maka melebihkan keuntungan bagi salah seorang di antara mereka itu dibolehkan. Skema syirkah yang demikian adalah kerjasama usaha kedua belah pihak sama-sama melibatkan diri dalam perusahaanya. Adapun syirkah yang dibahas di sini adalah bentuk syirkah pemilik modal saja yang menyerahkan modalnya kepada orang lain untuk dibisniskan secara mudharabah dan kedua belah pihak terlibat dalam usaha bisnis tersebut, bukan dalam bentuk syirkah yang mensyaratkan salah satu pihak yang terlibat dalam bisnis. Oleh karena itu, dalam bentuk syirkah yang kedua tersebut, hukumnya boleh melebihkan keuntungan bagi salah seorang sesuai syarat yang ditetapkan ulama mazhab Hanafi sebagaimana yang diutarakan oleh al-Kassani.[6]
Akan tetapi, hubungan hukum antar pemilik modal disini bukan termasuk syirkah al-‘uqud sebagaimana pendapat mazhab Maliki, karena antara seorang pemilik modal yang menginvestasikan dananya pada suatu perusahaan dengan pemilik modal lain yang sama-sama menginvestasikan dananya pada perusahan yang sama tidak terikat dengan akad apapun. Oleh karena itu, meskipun dana yang ada merupakan milik semua investor, akan tetapi apabila jumlah investasi masing-masing investor berbeda, maka adalah logis apabila keuntungan yang didapatkan juga berbeda.
Hubungan Hukum antara Pemilik Modal dengan Pengusaha (LKS) dalam Akad Mudharabah Musytarakah
Hubungan hukum antara pemilik modal dengan pengusaha (mudharib) adalah hubungan hukum akad Mudharabah. Para pemilik modal mempercayakan kepada pengusaha untuk mengelola dananya dalam bisnis tertentu, baik dikelola sendiri maupun dengan cara investasi terhadap perusahaan lain yang dipercayainya. Dalam hal ini terdapat beberapa aplikasi akad dalam skema berbisnis, yaitu:
- Aliran dana dari beberapa orang nasabah sebagai investor ke seseorang sebagai pelaku usaha, baik perorangan maupun badan hukum dalam berbagai sektor, baik tidak terbatas maupun terbatas pada sektor hanya dalam bisnis manufaktur, pertanian, pertambangan, dan lain-lain. Dalam bisnis seperti ini, akad yang terjadi di antara mereka adalah akad Mudharabah Musytarakah Muthlaqah atau akad Mudharabah Musytarakah Muqayyadah
- Aliran dana terjadi dari beberapa orang nasabah sebagai investor ke lembaga keuangan syariah (LKS). LKS bertindak selaku pelaksana usaha dalam beberapa sektor terbatas, misalnya pertanian, manufaktur, dan jasa. Nasabah sebagai investor lainnya mungkin mensyaratkan dananya hanya boleh dipakai untuk pembiayaan di sektor pertambangan, properti, dan pertanian. Selain berdasarkan sektor, nasabah yang menjadi investor dapat saja mensyaratkan berdasarkan jenis akad yang digunakan, misalnya hanya berdasarkan akad penjualan kredit saja. Skema ini disebut on balance sheet, karena dicatat dalam neraca bank.
- Aliran dana berasal dari beberapa orang nasabah sebagai investor yang menginvestasikan dananya melalui LKS. Setelah dana terkumpul, LKS menginvestasikan lagi dana tersebut kepada pengusaha tertentu (yang pada bank konvensional disebut debitur). Di sini LKS hanya bertindak sebagai perantara (arranger) yang mengatur distribusi saja. Pencatatan transaksinya di LKS dilakukan secara off balance sheet. Bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah sebagai investor dan pelaksana usaha sesuai dengan kesepakatan mereka, sedangkan LKS hanya memperoleh upah sebagai perantara (arranger fee).
Dari tiga bentuk tersebut, bentuk ketiga adalah yang mungkin terdapat permasalahan dalam aplikasinya, karena LKS bertindak sebagai mudharib, lalu LKS menginvestasikan dana yang terkumpul kepada perusahaan dengan cara mudharabah pula. Menurut Khathib al-Syirbini, seorang mudharib (baik perorangan maupun lembaga keuangan), -dalam pendapat yang lebih sahih- tidak dapat menginvestasikan dana yang dikumpulkannya kepada perusahaan tertentu dengan cara mudharabah pula. Hal ini disebabkan dalam akad ini hanya terdapat dua pihak saja, yaitu pemilik modal yang tidak memiliki keahlian berbisnis dan mudharib sebagai pelaku usaha. Tidak ada pihak lain yang terlibat dan memiliki kepentingan dalam akad tersebut. Namun, menurut pendapat lain, seorang mudharib dapat menanamkan modalnya kepada pengusaha lain, sebagaimana pemilik modal menginvestasikan dananya dalam dua perusahaan yang berbeda. Pada akhir pemaparannya, ia menyatakan bahwa LKS dalam posisi tersebut bertindak sebagai wakil dari pemilik modal, sementara mudharib sebenarnya adalah perusahaan lain tempat LKS menyalurkan dananya. Hal ini hukumnya adalah boleh, sama dengan hukum seorang pemilik dana menginvestasikan dananya kepada pihak lain dalam bisnis mudharabah dengan dirinya sendiri (tanpa wakil).[7]
Baca Juga: Konsep Akad Mudharabah Musytarakah Bagian 1
Walaupun mudharib (dalam hal ini adalah LKS) statusnya hanya sebagai wakil dari pemilik modal, tetapi perwakilan juga sebagai salah satu akad yang dapat menghasilkan keuntungan bagi pihak yang mewakilkan. Akad perwakilan (wakalah) pada dasarnya adalah akad tolong menolong, tetapi orang yang menjadi wakil demi kepentingan orang lain juga merupakan jasa yang memiliki nilai jual dan perlu mendapatkan penghargaan, bahkan di pengadilan seorang wakil yang bertindak selaku kuasa dari pihak penggugat atau tergugat merupakan profesi yang bernilai tinggi. Oleh karena itu, sesuai fatwa DSN MUI nomor 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang ketentuan wakalah disebutkan bahwa seorang mudharib yang bertindak selaku wakil boleh mendapatkan imbalan tertentu dari para pemilik modal, dan dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa akad wakalah dengan imbalan (wakalah bil ujrah) tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
[1] Lihat Al-Baghawi, Al-Tahdzib Fi Fiqh Al-Imam Al-Syafi’iy, Juz IV, h. 382.
[2] Lihat al-Maqdisi, Abu Muhammad Muwafiq al-Din Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, Op.Cit., Juz V, h. 146.
[3] Lihat al-Qurthubi, Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Op.Cit., Juz II, h. 350.
[4] Lihat al-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarif, Raudlah Al-Thalibin, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 1405 H), Juz V, h. 125.
[5] Lihat al-Maqdisi, Abu Muhammad Muwafiq al-Din Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, Op.Cit., Juz V, h. 140.
[6] Lihat al-Kassani, ‘Ala’ al-Din Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad, Op.Cit., Juz V, h. 62.
[7] Lihat al-Syirbini, Muhammad Al-Khathib,Op.Cit., Juz III, h. 406.
Leave a Review