Baca Sebelumnya: Konsep Akad Mudharabah Musytarakah Bagian 2
Bentuk-bentuk Akad Mudharabah Musytarakah
Akad Mudharabah Musytarakah memiliki beberapa bentuk sebagai berikut:
- Bentuk pertama, pemilik atau penyandang dananya terdiri dari satu pihak (baik perorangan maupun badan hukum) sementara mudharib terdiri dari beberapa pihak. Pemilik dana bekerja sama dalam bisnis secara Mudharabah dengan beberapa orang atau beberapa pihak mudharib secara bersama-sama untuk mengembangkan dananya agar memperoleh keuntungan yang dapat dibagi bersama di antara mereka. Bentuk pertama ini meskipun ada beberapa orang atau badan hukum yang menjadi mudharib, tetapi bentuknya masih sederhana, karena hanya terdiri dari dua pihak dengan akad yang sama. Oleh karena itu, bentuk pertama ini seluruh ketentuan hukumnya mengikuti ketentuan hukum akad Mudharabah sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh para ulama klasik.
- Bentuk kedua, beberapa orang atau beberapa pihak pemilik modal bekerja sama dengan seseorang atau satu pihak secara Mudharabah. Misalnya seorang mudharib dengan pemilik modal bekerja sama membangun perusahaan tertentu dengan cara mudharabah untuk memperolah keuntungan bersama. Kemudian beberapa pemilik dana yang lain juga ikut menanamkan modalnya untuk dikembangkan dalam perusahaan yang dimiliki mudharib, sehingga modal dalam perusahaan tersebut merupakan himpunan dana dari beberapa orang pemilik. Pembagian keuntungan bagi masing-masing pemilik modal dalam perusahaan tersebut diperhitungkan dari persentase (nisbah) sesuai modal yang ditanamkan. Akad Mudharabah yang terjadi di antara mereka terkadang berada dalam ruang lingkup satu akad yang sama, terkadang akadnya berbeda-beda dan mengikuti akad yang pertama, terkadang akad Mudharabah dibuat secara bersama-sama sebelum perusahaan beroperasi, dan terkadang adanya akad tersebut setelah perusahaan beroperasi menjalankan usahanya.
- Bentuk ketiga, masing-masing pihak pemilik modal dan mudharib terdiri dari beberapa orang atau beberapa badan hukum
- Bentuk keempat, seorang pemilik modal bekerja sama dengan mudharib untuk membangun perusahaan tertentu. Bersamaan dengan itu, mudharib juga ikut menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut. Oleh karena itu, modal yang dihimpun dalam bentuk ini selain dari investor, pengusaha (mudharib) juga sama-sama menginvestasikan modal atau dananya ke perusahaan yang dikelolanya.
Bentuk-bentuk akad Mudharabah Musytarakah inilah yang saat ini berkembang pesat dalam dunia bisnis dan diaplikasikan dalam transaksi LKS di berbagai negara sebagai salah satu substitusi dari model transaksi ribawi.
Dalam akad Mudharabah Musytarakah yang berkembang saat ini, terdapat tiga pihak di dalamnya, yaitu pemilik modal, LKS, dan pengusaha. Hubungan hukum antara LKS dengan pengusaha adalah hubungan bisnis dengan menggunakan akad Mudharabah Fardiyah sesuai kesepakatan ulama. Adapun hubungan hukum antara LKS dengan pemilik modal terjadi perbedaan pendapat yang memerlukan penelaahan yang mendalam. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan beberapa hal berikut:
- Mayoritas ulama sekarang berpendapat bahwa akad Mudharabah Musytarakah sebagaimana yang digambarkan di atas adalah merupakan pengembangan dari Mudharabah Fardiyah yang terjadi anatara pemilik modal dengan LKS. Sehingga para pemilik modal berposisi sebagai shahib al-maal dan LKS sebagai mudharib sebagaimana Mudharabah Fardiyah. Kemudian masing-masing kedua belah pihak tersebut ditentukan hubungan hukum dan akibat hukumnya untuk menentukan keabsahan Mudharabah Musytarakah
- Ulama lain berpendapat bahwa kedudukan LKS yang bekerjasama dalam bentuk syirkah al-amwal dengan orang-orang pemilik modal tidak termasuk ke dalam akad Mudharabah dalam hal LKS ikut serta menanamkan dananya bersama-sama dengan dana yang ditanamkan pemilik modal. Dana-dana tersebut dihimpun dan kemudian dikembangkan dalam bisnis tertentu secara bersama-sama dan keuntungan yang diperoleh dibagi bersama-sama di antara mereka.
- Ulama lain ada yang berpendapat bahwa hubungan hukum antara orang-orang sebagai pemilik modal dengan LKS adalah hubungan ijarah. Orang-orang pemilik modal berkedudukan sebagai pihak yang menyewa, sedangkan LKS berkedudukan sebagai pihak yang disewa untuk memutarkan harta mereka sesuai keinginannya (sewa jasa) dengan imbalan mendapat bagian dari keuntungan yang diperoleh melalui harta mereka.
Baca Juga: Konsep Akad Mudharabah Musytarakah Bagian 1
Dari berbagai macam pendapat tersebut, dapat dilihat bahwa analogi Mudharabah Musytarakah sebagaimana gambaran di atas terhadap Mudharabah Fardiyah ulama sepakat atas keabsahan dan terhadap dalil hukumnya. Mudharabah Fardiyah terdiri dari dua pihak yaitu pemilik modal dan mudharib sebagai pengusaha, sementara dalam Mudharabah Musytarakah pihak LKS sebagai badan hukum (syakhshiyah i’tibariyah) dan pihak lain yang terdiri dari beberapa orang sebagai pemilik modal. Sebagian ulama membolehkan dalam akad Mudharabah Fardiyah seorang pengusaha bekerjasama dalam mengembangkan bisnisnya dengan beberapa orang pemilik modal kemudian dana yang terhimpun bercampur menjadi satu kesatuan. Akan tetapi menurut mereka dalam akad Mudharabah seperti ini terdapat beberapa syarat yang membatasinya yaitu:
- Pemilik modal awal mengizinkan pihak lain dapat menanamkan modalnya pada perusahaan yang sama. Syarat yang demikian sesuai dengan Karakteristik Mudharabah Musytarakah yang berlaku pada LKS sebab seluruh nasabah telah memakluminya (telah menjadi pengetahuan umum) bahwa untuk mengembangkan usahanya LKS akan melakukan penghimpunan dana dari berbagai pihak termasuk dari pemilik modal awal. Oleh karena itu, keadaan yang demikian tidak ada akibat hukum apapun atas disyariatkannya Mudharabah Musytarakah.
- Penghimpunan dana sebelum bisnis dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat al-Dardir dalam syarh al-Kabir bahwa “boleh bagi pengusaha mencampurkan hartanya dengan syarat-syarat tertentu yang apabila tidak dipenuhi maka akadnya menjadi rusak sebagaimana yang telah dijelaskan. Dan apabila percampuran harta itu tidak berimbang, maka adanya kemaslahatan bagi salah seorang pemilik harta tidak meyakinkan. Percampuran harta tersebut dilakukan sebelum salah satu pihak terlibat dalam bisnisnya, dilarang mencampurkan harta setelah salah satu pihak terlibat dalam perusahaan.[1] Persyaratan yang demikian sulit direalisasikan dalam akad mudharabah musytarakah yang berlaku pada LKS sekarang ini, karena LKS menghimpun dana dari berbagai macam pihak tidak terikat waktu dan tidak dibatasi sebelum bisnisnya dilaksanakan atau setelah adanya realisasi bisnis dengan menggunakan modal awal. Apabila dalam penghimpunan dana LKS menunggu investasi dari masyarakat hingga mencapai target dana tertentu maka hal ini akan memberikan akibat, baik pada LKS maupun pemilik modal awal, karena akan mengalami kerugian yang tidak sedikit sebagai akibat panjangnya waktu menunggu investor lain yang tidak pasti.
- Percampuran dana investasi sebagai modal tidak berakibat merugikan pemilik modal awal. Ibn Qudamah menyatakan bahwa apabila mudharib berbisnis dengan pemilik modal awal secara Mudharabah, maka mudharib tidak boleh berbisnis secara Mudharabah dengan pihak lain sebagai pemilik modal kedua apabila hal itu akan merugikan pemilik modal pertama, dan menurut kebanyakan ulama hal yang demikian itu dibolehkan. Syarat ini akan terpenuhi dalam akad Mudharabah Musytarakah, karena dengan percampuran harta milik para pemodal tidak mungkin merugikan salah satu pihak melainkan terdapat kemaslahatan bagi mereka. Sebab dengan pertumbuhan harta yang signifikan dari modal yang tidak banyak, kelebihan sebagai keuntungannya akan dikembalikan kepada mereka.
Dari beberapa tinjauan tersebut, akad Mudharabah Musytarakah dapat dianalogikan (qiyas) terhadap akad Mudharabah Fardiyah. Dengan cara analogi ini tidak terdapat masalah yang sulit diselesaikan, kecuali hanya dalam percampuran dana mudharib dengan harta-harta pemilik modal yang lain dengan persetujuan para pemilik modal. Percampuran harta atau modal yang demikian menurut ulama akan terjadi kesulitan sehingga mereka melarang mencampurkan modal yang diinvestasikan seseorang lebih dahulu dengan modal yang diinvestasikan orang lain kemudian. Percampuran modal yang demikian dalam sistem berinvestasi Mudharabah adalah suatu kelaziman yang tidak dapat dihindarkan dalam dunia bisnis, bahkan merupakan kesempurnaan dari Mudharabah Musytarakah itu sendiri. Apabila dikembalikan kepada alasan hukum adanya larangan ulama tersebut, akan terlihat jelas bahwa larangan tersebut disebabkan karena akan melahirkan ketidakpastian keuntungan bagi mereka. Terkadang menguntungkan pemilik modal pertama dan merugikan pemilik modal kedua, atau sama-sama menguntungkan, atau sama-sama merugikan. Akan tetapi persoalan ini tidak dapat dijadikan alasan hukum yang menjadi dasar boleh atau tidaknya LKS menghimpun dana dari masyarakat dengan tidak dibatasi jangka waktu, karena persoalan yang demikian dapat diperhitungkan secara matematis dan detil dalam neraca bisnis. Perhitungan matematika secara tepat akan dapat menghindarkan perhitungan dari kesalahan atau setidaknya meskipun ada kesalahan, tetapi masih dalam batas toleransi. Kesalahan yang demikian dalam bermuamalah secara umum dapat dimaafkan.
Baca Juga: Berkurban untuk Orang Meninggal Dunia
Ulama banyak membahas tentang ketidakpastian batasan waktu yang berakibat merusak akad, (al-juhalah al-fahisyah), misalnya dalam akad yang pembayarannya ditangguhkan, tetapi saat akad tidak dijelaskan sampai kapan jatuh tempo pembayarannya secara pasti. Ketidakpastian waktu yang demikian termasuk dalam kategori al-juhalah al-fahisyah. Berbeda apabila akad memuat tanggal, bulan, dan tahun jatuh tempo, tetapi tidak dimuat pukul berapa jatuh temponya, maka ketidakpastian waktu yang demikian termasuk kategori al-juhalah al-fahisyah yang tidak merusak akad. Dengan demikian tidak adanya batasan waktu penghimpunan dana oleh LKS bukanlah persoalan besar yang dapat mempengaruhi keabsahan mudharabah musytarakah, karena dalam sistem investasi hal yang demikian dapat diabaikan telah berlaku secara umum.
[1] Lihat al-Dardir, Al-Syekh Ahmad bin Ahmad bin Abi Ahmid al-‘Adawi, Al-Syarah Al-Kabir, (Beirut: Dar Al-Fikr, T.th), Juz III, h. 522.
Saya lebih memahami kalo hubungan antara Pemilik modal dengan LKS lebih dekat ke akad Musyarokah dan bukan Mudhorobah, karena jika hubungan antara Pemilik modal dengan LKS adalah Mudhorobah, pertanyaannya adalah! Apa Usaha LKS?