scentivaid mycapturer thelightindonesia

Koto Tuo Lautan Api dan Cerita di Baliknya

Koto Tuo Lautan Api dan Cerita di Baliknya

Koto Tuo Lautan Api adalah sebuah peristiwa yang tak akan mudah hilang dalam ingatan warga Lima Puluh Kota, khususnya Jorong Koto Tuo. Jorong Koto Tuo terletak di Kenagarian Koto Tuo yang memiliki empat jorong yakni Jorong Koto Tuo, Jorong Tanjung Pati, Jorong Pulutan, Jorong Padang Rantang.

Koto Tuo bisa disebut kampung yang paling tua dari sekian banyaknya kampung yang berada di sekitarnya. Suasana kampung ini damai tercermin dengan sederet ” Rumah Gadang ” yang berjejer megah di sepanjang yang membentang dari timur hingga ke barat. Rakyatnya hidup rukun dengan hasil bumi yang melimpah. Menurut sejarah yang beredar ada 58 “Rumah Gadang ” di seantero Koto Tuo, 37 di antaranya lengkap dengan lumbung padi (kopuak), namun cerita sedih dari jejeran banyaknya Rumah Gadang tersebut ialah banyak rumah gadang itu yang sirna diakibatkan agresi Belanda II yang terjadi di Koto Tuo yang disebut sebut sebagai petistiwa “Koto Tuo Lautan Api”.

Peristiwa Koto Tuo Lautan Api bermula dari dibentuknya Pasukan Mobil Teras (PMT) di Kanagarian Lubuak Batingkok. Salah satu komandan pletonnya yang kemudian berperan besar dalam peristiwa itu bernama Darisun berasal dari Koto Nan Gadang. Pleton itu menyergap iring-iringan tentara Belanda yang ingin menyisir daerah Tanjung Pati dan Batu Balang. Penyergapan dilakukan di jembatan Padang Gantiang. Seorang perwira dan beberapa orang tentara Belanda diyakini terkena tembakan pejuang pada waktu itu hingga ada yang meninggal meskipun tidak diketahui jumlah pastinya. Sebagai bukti, satu hari setelah kejadian itu, di beberapa kantor Belanda di Payakumbuh dinaikkan bendera merah putih biru setengah tiang. Peristiwa itu memicu kemarahan Belanda. Mereka mengeluarkan ultimatum agar pejuang menyerah, kalau tidak daerah Tanjung Pati, Pulutan, Koto Tuo dan Batu Balang akan dibumihanguskan. Karena tidak mendapatkan respons, Belanda benar-benar melaksanakan apa yang telah menjadi ultimatumnya tersebut. Jum’at, subuh tanggal 10 Juni 1949 Belanda menyisir ke arah Koto Tuo dan membakar seluruh bangunan yang mereka temui. Beruntung, sejak ultimatum dikeluarkan Belanda, masyarakat sudah banyak yang mengungsi sehingga korban jiwa tidak terlalu banyak, tercatat delapan orang warga Koto Tuo, Tanjung Pati dan Palutan yang belum sempat mengungsi gugur dalam peristiwa itu. Sementara jumlah rumah yang dibakar tercatat 110 rumah dan termasuk rumah-rumah gadang tersebut.

Namun yang anehnya, cerita berbeda datang dari sebuah Rumah Gadang yang saya lampirkan difoto tersebut. Rumah Gadang tersebut merupakan rumah gadang dari keluarga (istri) Al-Arif Billah Maulana Syekh Mudo Abdul Qadim, disitulah tempat anak beliau yang juga seorang Mursyid dan dikenal banyak orang, yakni Syekh Nurullah Dt. Anso dibesarkan, dari banyaknya bangunan rumah gadang ataupun tidak rumah gadang yang dibakar oleh belanda, hanya satu rumah gadang tersebut yang tersisa sampai saat sekarang ini, rumah tersebut mulanya juga ikut menjadi target operasi dari tentara belanda, namun setelah dilakukan pembakaran, api hanya menyentuh sedikit di bagian lantai “Rumah Gadang” tersebut. Salah satu dari putri Maulana Syekh Mudo Abdul Qadim yang kala itu masih remaja sempat menyaksikan kekejaman dari para tentara Belanda tersebut dalam menjalankan aksinya yang begitu brutal dan tentunya juga sadis. Beliau putri Syekh Mudo Abdul Qadim tersebut menuturkan; pada waktu itu Belanda tengah meletakkan ataupun menumpuk barang-barang yang mudah terbakar untuk menghanguskan seisi rumah. Namun kuasa Allah, Allah pertontonkan pada saat itu, logikanya dengan hal yang telah dilakukan Belanda seperti itu pasti rumah tersebut akan terbakar, tapi di saat itu api seketika mati dan tidak merembes ke mana mana. Semacam ada kekuatan ghaib yang menghalangi nyalanya api tersebut.

Siapa yang tidak heran? Semua warga Koto Tuo pada saat itu dilanda keheranan dan tidak percaya mengapa Rumah Gadang tersebut tidak terbakar, yang mana rata-rata dari bahannya tersebut sama dengan rumah gadang yang telah terbakar terlebih dahulu. Pertanyaanpun muncul mengapa rumah gadang ini tidak bernasib sama dengan rumah gadang yang telah lebih dahulu dihanguskan oleh tentara belanda?

Peristiwa ini ataupun cerita ini sering diceritakan dari surau ke surau orang sering menyebut “Barokaik Tuah Karamaik Oyah Balubuih ” ucapan seperti itu selalu disampaikan oleh banyak orang, adalah hal yang wajar bagaimana ketika seorang yang telah amat dekat kepada Allah, hal-hal yang tidak termakan akal tersebut mungkin-mungkin saja untuk terjadi, peristiwa ini tidak sekali dialami keluarga Maulana Syekh Mudo Abdul Qadim Balubuih, dikisah yang berbeda pada peristiwa PRRI kala itu tentara PRRI menjadikan rumah Hj. Jawahir yang merupakan salah seorang putri dari Syekh Mudo Abdul Qadim sebagai target operasi pemusnahan, menurut penuturan Buya Hadis Lathif cucu kesayangan dari Syekh Mudo Abdul Qadim. Ketika peristiwa tersebut berlangsung minyak telah ditumpahkan oleh oknum tersebut di sekeliling rumah Hj. Jawahir tersebut hingga ke dalam rumah, namun yang ajaibnya hal tersebut tidak menghanguskan rumah dari Putri Syekh Mudo Abdul Qadim yang bertempat di Piobang, Kecamatan Payakumbuh tersebut.

Maka sah-sah saja jikalau banyak orang menyebut peristiwa ini dengan sebutan ” Tuah Karamaik Oyah Balubuih “, beliau sosok yang namanya masih dikenang sampai sat ini, melahirkan banyak murid-murid hingga pelosok Negeri, kitabnya pun masih menjadi pegangan banyak surau hingga saat sekarang ini, kita sebut saja Tsabitul Qulub yang berjilid jilid dan AsSa’datul Abdiyah fima Ja’a bihin Naqsyabandiyah.

Habibur Rahman
Pecinta ulama dari Ranah Minang