scentivaid mycapturer thelightindonesia

Kuda-kuda Itu Bernama Ilmu Nahwu

sebuah kitab nahwu yang terkenal
musyawarahalat.blogspot.com

Anak muda Betawi zaman dahulu dapat dicirikan dengan pandai mengaji dan piawai main pukul. Kedua pelajaran itu dirasakan bermanfaat dunia maupun akhirat. Pemuda yang menguasai dua pelajaran itu setidaknya enteng jodoh. Mengapa pasal? Pasalnya, kalangan orang tua yang memiliki anak perawan, kerap mengintip para perjaka mana yang layak diambil sebagai anak menantu.

Kalau dilihat sekilas, keduanya memiliki kesamaan. Kuda-kuda sebagai fondasi dasar, menjadi perhatian utama oleh baik guru ngaji maupun guru pukul di Betawi. Mereka sangat ketat dalam hal kuda-kuda. Dari segi itu, mereka tidak jarang membenahi pelajarnya sampai memakan waktu tahunan.

Dalam memasang kuda-kuda, lutut pesilat Betawi umumnya bertekuk hingga 45 derajat bahkan lebih. Pemula seusai memasang kuda-kuda seperti itu, akan sulit berdiri karena keram bukan kepalang. Selain susah berdiri tegak, roman wajah mereka pun sudah tidak keruan bentuk akibat menahan nyeri otot di pangkal paha.

Baca Juga: Kenapa Zaid Memukul Amr

Hal itu dikatakan oleh Abdul Khotib, pesilat perguruan Purbakala, Putra Beksi Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Saya percaya dengan ucapan itu. Pasalnya, Khotib -pesilat aliran Beksi, khas Kebayoran Lama- pernah meraih medali perak dalam pertandingan bela diri di tingkat wilayah DKI Jakarta di awal 2000-an.

Dalam urusan itu, Khotib sepertinya tidak main-main. Ia memasang kuda-kuda setiap pagi. Untuk itu, keponakan berumur 12 tahun mendapat tugas harian sebelum meluncur ke kamar mandi. Ia meminta keponakannya berpijak setengah jam di atas kedua pahanya. Dalam memasang kuda-kuda, ia menanggung beban tubuhnya dan keponakannya sekaligus.

Tidak beda dengan guru pukul, guru ngaji di Jakarta sangat perhatian dengan fondasi keilmuan. Dalam mengajarkan ilmu Nahwu misalnya, sebuah disiplin yang membahas gramatika bahasa Arab, mereka memastikan pelajaran dasar Nahwu melekat di benak para santri.

Karena teramat kuat, para santri bisa menerka secara otomatis kedudukan gramatika sebuah kata dalam komposisi kalimat. Selain terkaan jitu, pembacaan alternatif sebuah kata telah membenak di kepala mereka. “Nahwu itu kan silat. Bisa belok ke kiri, boleh belok ke kanan, sedikit menunduk, atau mendadak maju,” kata Kiai Hasbullah (84 tahun), meniru ucapan gurunya, Kiai Syafi‘i Hadzami.

Baca Juga: Lebaran Harus Megah

Para kiai biasanya membagi tiga jenjang dalam mengajarkan nahwu. Pertama, kitab Jurumiyah, materi dasar. Kedua, kitab mutamimmah, materi menengah. Ketiga, kitab Alfiyah, sebagai materi tingkat tinggi. Sebelum sampai di tingkat ketiga, para kiai menghabiskan sedikit lebih lama waktu santrinya di materi pertama dan kedua.

Sebagai materi dasar, para kiai Betawi mengajarkan kitab Jurumiyah berserta syarahnya; kitab lain yang menguraikan klausul dalam Jurumiyah. Syarah Jurumiyah yang dipergunakan antara lain:

  1. Mukhtashar Jiddan karya Ahmad Zaini Dahlan.
  2. Al-kharidatul Bahiyyah karya Abdullah Al-Makki.
  3. Syarh Alkafrawi karya Syekh Kafrawi.
  4. Al-muqaddimatul Jurumiyah fi Ilmil Arabiyah karya Abdurrahman Al-Makudi.
  5. Hasyiyatul Asymawi ala Matnil Jurumiyah fi Qawa’idil Arabiyah karya Abdullah Al-Asymawi.
  6. Syarhus Syekh Khalid Azhari (Abi Naja) alal Jurumiyah fi Ilmil Arabiyah karya Khalid Al-Azhari.

Selain itu, mereka juga mengajar santri dengan kitab nahwu yang menggunakan metode di luar uraian Jurumiyah. Kitab Nahwu dasar itu bisa disebut:

  1. Al-fushulul Fikriyah karya Abdullah Al-Asymawi.
  2. Risalah Tata’allaq bi Zaid karya Ahmad Zaini Dahlan.
  3. Risalah Tata’allaq bil Mabniyat karya Ahmad Zaini Dahlan.
  4. Tashil Nailil Amani fi Syarhil Awamil Al-Jurjani karya Ahmad Al-Fathoni.
  5. Tuhfatul Ahbab wa Thorfatul Ahbab fi Mulhatil Irob karya Muhammad Al-Hadhrami.

Sebelas kitab di atas plus kitab Jurumiyah, sudah dirasa cukup untuk membekali pendirian santri dalam mendudukkan sebuah kata dalam kalimat berbahasa Arab, baik bentuk sederhana maupun sekusut-kusutnya.

Baca Juga: Ustadz Andaru

“Namun repotnya, anak sekarang kalau mau ngaji, pengennya sudah ke tingkat tinggi saja. Padahal fondasinya masih babak belur. Kan bisa malu-maluin kalau orang terpeleset di tempat rata. Artinya, nahwu sebagai pelajaran dasar, kagak diketahui. Andaikata jawaban kebetulan tepat, itu juga asal tembak saja,” kata Kiai Hasbullah, mantan milisi PETA di akhir pendudukan Jepang dan Agresi Militer yang pernah ditugaskan di Purwakarta.

Untuk meningkatkan wawasan di bidang nahwu, santri dan kiai Betawi meningkatkan pelajaran mereka. Para kiai itu umumnya menggunakan kitab-kitab menengah. Kitab nahwu yang dipergunakan umumnya adalah kitab Al-Fawakihul Janiyah ala Mutammimatil Jurumiyah karya Abdullah Al-Fakihi (kitab paling populer), Qathrun Nada wa Billus Shada karya Ibnu Hisyam Al-Anshori, dan Syuzuruz Zahab fi Makrifati Kalamil Arab karya Ibnu Hisyam Al-Anshori.

Kiai Hasbullah ini memang dikenal masyarakat dengan ilmu nahwu dan Ilmu Kalamnya. Dia menimba ilmu tersebut dari banyak guru, terutama dari Guru Li’ing, tetangganya. Menurutnya, Guru Li’ing mengajarkan banyak kitab nahwu padanya dan sejumlah santri. Antara lain, kitab Abi Naja.

Abi Naja adalah kitab yang dipelajari Guru Li’ing dari Guru Makmun, Kuningan, Jaksel di tahun 1930-an. “Gua belum pernah dengar nama kitab itu sebelumnya dari mulut guru-guru lain,” kata Kiai Hasbullah yang sangat mencintai ilmu nahwu. Bahkan dia menunjukkan kepada saya, kitab Abi Naja (‘1953’ tercatat sebagai tahun pembelian) yang dipakainya saat berguru kepada Guru Li’ing, di kediamannya, Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, belum lama ini.

Untuk tingkat tinggi, para kiai di Betawi mengajarkan Syarah Alfiyah Ibni Malik, Hasyiyatul Khudlori ala Syarh Alfiyah, dan Mughnil Labib karya Ibnu Hisyam Al-Anshori. Terlalu banyak kitab Nahwu yang mesti dipelajari untuk sampai di tingkat tinggi.

Kecuali banyak kitab, nahwu dipelajari secara sambilan dengan ilmu lain seperti fiqih, tasawuf, dan ilmu Kalam. Karena sambilan yang juga tidak setiap hari, ilmu nahwu dipelajari oleh kaum santri di Betawi sepanjang usia mereka. Paling sering mereka mengaji nahwu tiga kali dalam seminggu. Dalam tiga kesempatan yang ada, mereka biasanya melompat-lompat dari satu guru ke guru yang lain dengan kitab nahwu berbeda. “Karenanya, Nahwu itu kagak habis dipelajari seumur hidup,” tegas Kiai Hasbullah mengumbar senyum sedikit buang muka.

Para kiai betawi yang umumnya tidak mendirikan pesantren, mengajar hanya di masjid, majelis taklim, langgar, dan kediaman pribadi santri atau gurunya. Mereka gemar mengajar kitab apa saja, termasuk kitab nahwu. Namun, kita sedikit kesulitan mendapati para kiai Betawi saat ini mengajarkan kitab nahwu baik di masjid atau di kediaman santri juga kiai.

Kelangkaan itu bisa diukur dengan mudah. Salah satunya adalah pengalaman yang diceritakan oleh Zainal Irfan, santri sekaligus cucu Kiai Hasbullah. Penjaga toko kitab ‘Fajar’ di sudut pasar inpres Kebayoran Lama pernah menyatakan keprihatinannya. “Wah, kitab kayak gini dalam lima tahun juga belum tentu laku barang satu pun,” katanya kepada Irfan yang memesan kitab Tuhfatul Ahbab.

Untuk saat ini, anak muda Betawi yang ingin mencoba memperkuat kuda-kuda baik dalam ilmu pukul maupun ilmu Nahwu, akan dianggap seperti pemuda yang masuk pasar dalam cerita Ashabul Kahfi.[]

Tulisan ini pernah dimuat di NU Online pada 15 Desember 2012