Oleh: Raudal Tanjung Banua,
Anggota Grup Kuncen Pantai Barat
Dalam sebuah diskusi kecil di WA-Grup “Kuncen Pantai Barat”, salah seorang anggota bertanya kepada Riki Dhamparan Putra: Di manakah posisi penyair di tungku perapian? Riki dengan rendah hati memberikan pertanyaan itu kepada forum, dan saya, sebagai salah seorang anggota grup berinisiatif menjawab,”Penyair adalah api itu sendiri.”
Pertimbangan saya, penyair merupakan sumber inspirasi masyarakatnya. Api kata-katanya harus tetap menyala sekalipun secara ekspresi tidak mesti ditemui dalam jenis puisi “mimbar”, tapi bisa juga dalam puisi “kamar”, sebagiamana dengan baik ditunjukkan Chairil Anwar yang ekspresi sajaknya beragam—dari yang heroik hingga impresif, dari yang optimis hingga sentimentil—namun toh vitalitasnya sebagai api-spirit (api semangat) tetap menyala di semua bagian. Saya pun ingat Ramadhan KH yang menyebut,”Penyair kayu pertama di tungku pembakaran,” yang lebih kurang memperlihatkan posisi kedekatan penyair dengan api secara metaforis.
Jika penyair diibaratkan api, bagaimana mungkin ia juga mencari posisinya di perapian lain? Bukankah ia sendiri sudah menyala? Dan Riki sebagai penyair, mengapa masih memerlukan perapian seorang Buya Syafii untuk berdiang? Bagi saya, justru di sinilah letak pencarian sekaligus visi kepenyairan Riki. Api kepenyairannya harus mencari dan menemukan tempat menyala yang tepat, dalam hal ini tungku seorang Guru Bangsa sehingga spirit yang ia miliki dapat menyatu dengan spirit lain yang juga terus menyala. Di sinilah keduanya bertemu. Api kepenyairan itu harus dijaga supaya tak padam, dan untuk itu ia membuka diri atas sumber-sumber semangat lain.
Demikianlah, secara harfiah perapian bisa merujuk api tungku di ladang nan jauh atau api unggun pada malam tahun baru. Namun secara simbolik, perapian memiliki makna yang luas dan filosofis. Dalam masyarakat Minangkabau misalnya, ada konsepsi tungku-tigo-sajarangan yang bersumber dari pola perapian tradisional namun maknanya kontekstual hingga zaman sekarang. Tiga tungku perapian itu melambangkan trias-kultura Minangkabau: alim-ulama, ninik-mamak dan cerdik-pandai. Ketiganya saling topang dan menyanggah. Bila satu tungku rapuh atau goyah, periuk-belanga tak akan stabil letaknya dan apa yang dijerang tak akan sempurna matangnya.
Dalam versinya yang lain, tungku tigo sajarangan ini analog dengan tiga kata kunci yang disematkan Riki Dhamparan Putra, penyair dan aktivis budaya, kepada sosok Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif—akrab dipanggil “Buya Syafii”—dalam buku terbarunya, Berdiang di Perapian Buya Syafii (Geotimes-Institut Maarif, 2021). Menurut Riki, semua yang kita tahu tentang Buya, selalu melibatkan tiga kata kunci: Islam, Muhamadiyah dan Indonesia (hal. 99).
Bila kita bawa ke dalam konsepsi tungku tigo sajarangan, maka tiga kata kunci ini akan terakomodasi sebagai berikut: Islam (alim-ulama), Muhamadiyah (ninik-mamak; kepemimpinan keluarga atau organisasi) dan cerdik-pandai atau intelektual/cendikiawan dalam konteks Indonesia—semua melekat pada Buya. Bahkan sebenarnya bisa empat jika Pancasila juga dilekatkan pada sosoknya, namun mungkin itu sudah terjabarkan sekaligus dalam tiga entri itu, karena Pancasila memang berfungsi sebagai pelintas-batas dan merekat seluruh komponen.
Bagaimanakah ketiga unsur itu lekat dan melebur sekaligus dalam diri seseorang seperti Buya Syafii? Tentu saja bisa sesuai kapasitas, minat, keilmuan, kemampuan dan jam terbang. Eropa abad pencerahan mengenal “manusia renaissance”, yakni sosok manusia yang memiliki multi-talent dan sejumlah kemampuan. Leonardo da Vinci (1452) misalnya, selain sohor sebagai pelukis, ia adalah juga pemahat, ilmuwan dan penemu.
Dalam kehidupan sekarang di mana spesialisasi dan spesifikasi dianggap penting, potensi tersebut tidak lantas hilang. Di Ranah Minang sendiri jamak ditemui protetipe “tiga tungku” itu dalam diri seseorang sekaligus; seorang ulama juga intelektual namun juga tak melupakan posisinya sebagai simpul masyarakat adat. Lagi pula, pada hakikatnya, sebagai konsepsi—yang dapat diakses oleh setiap pribadi—seyogianya tungku tigo sajarangan itu tidak diserpih dalam bentuk profesi-profesi, namun merupakan konsep yang menyatu (unity) dalam kehidupan seseorang, apa pun profesi dan latar belakangnya, tidak mesti ia seorang tokoh atau figur publik.
Dalam tiga kata kunci inilah sosok Buya berkait-kelindan. Islam rahmatan lil’alamin yang ia imani, mewujud dalam ruh dan batang tubuh Muhammadiyah, sebuah ormas besar keagamaan yang pernah dipimpinnya (2000-2005). Keimanan dan kepemimpinan itu menempatkan Buya Syafii sebagai sosok “Guru Bangsa”—sebagaimana Gus Dur atau Romo Mangunwijaya—yang memiliki komitmen kuat pada kemaslahatan bangsa dan negara, Indonesia.
Bagaimana sosok Buya dalam keberislaman digambarkan Riki sebagai keridaan untuk menerima Keberadaan Yang Mutlak. Pergulatan kreatif-transendental menerima Yang Mutlak merupakan daya upaya manusia untuk berdaulat dalam peradaban hidupnya. Inilah yang memberi makna pada kualitas manusia. Dan Buya, dalam percikan cahaya rohani semacam ini, jelas berada di tengah humanisme agama, yang berbeda dengan humanisme sekuler (halaman 106).
Dalam keberindonesiaan, humanisme Buya konsisten dan kontekstual. Itu lantaran ia melihat keberagaman sebagai berkah dan hasil sintetis sejarah peradaban yang panjang. Islam sendiri ikut menyempurnakan ekspresi dan daya adaptasinya, sesuai dengan realitas budaya masyarakat Nusantara. Oleh karenanya, pemikiran Buya Syafii tentang Islam yang damai dan luwes ikut menjadi alas-bakul corak keberislaman kita—termasuk yang mengejewantah dalam gagasan Islam Nusantara.
Di titik ini pula panji kemuhamadiyaan ditegakkan, tempat Buya Syafii mengabdi dan menggambleng diri. Muhamadiyah berjaya dalam peralihan alaf karena spirit pembaruannya bukan untuk mengubah kiblat dan sangkan paraning dumadi masyarakat Nusantara, namun memberinya pandangan dan kemungkinan baru yang sesuai dengan kebutuhan di masa transisi peradaban (halaman 108). Buya misalnya, sejak tahun 1985 sudah menggulirkan gagasan agar Muhamadiyah keluar dari kotaknya sebagai gerakan dakwah. Perlu baginya menjadi gerakan ilmu dalam pengertian luas (halaman 104).
eBaca Juga: Pesan Buya Syafii Maarif dan Kedudukan Sastrawan Kita
Jalur Kultural
Melalui persfektif “tungku” atau “perapian”, dapat dikatakan bahwa Riki mendekati sosok dan pemikiran Buya Syafii Maarif melalui jalur kultural. Jalur ini diyakini memiliki pola yang tidak formal-struktural, atau dalam istilah Riki sendiri di “Sekapur Sirih” (halaman vii)—dan diamini Prof. Dr. M. Syafi’i Anwar di backcover— tidak teoritik dan akademik, melainkan melalui narasi yang memberi interpretasi dan menguatkan substansi. Bukan berarti pendekatan budaya tidak memiliki teori apalagi tak punya basis akademik, namun dalam kapasitas Riki Dhamparan Putra sebagai praktisi budaya cum penyair, pola budaya terasa lebih organik.
Dari amatan Riki, selama ini publik lebih tertuju pada narasi besar yang dipanggul Buya, seperti demokrasi, humanisme, Islam dan kebangsaan. Itu pun dengan sudut pandang yang lebih bersifat akademik-teoritik. Dalam sejumlah hal, ini dianggap kurang aplikatif, atau aplikasinya terbatas pada wilayah tertentu. Sementara ada banyak topik menarik dan narasi-narasi kecil nan menggugah dari pandangan dan gagasan Buya. Ini perlu diresepsi lebih lanjut sebab berpotensi menjadikan pikiran Buya dapat dicerna segala lapisan masyarakat.
Pengamatan tersebut benar jika kita bandingkan dengan sosok Abdurahman Wahid atau Gus Dur, misalnya. Dalam kapasitas sebagai sesama “Guru Bangsa” dan mantan nakhoda ormas keagamaan besar, Nahdlatul Ulama, sosok Gus Dur terasa lebih cair dan pikiran-pikirannya mengalir sampai bawah. Salah satu yang membuatnya demikian adalah pola pendekatan kultural yang digunakan banyak pihak, tak terkecuali anak-anak muda di lingkungan NU. Bukan saja karena banyaknya anekdot-anekdot lucu atau joke-joke segar, juga karena pikiran tersebut tersampaikan dengan narasi yang familiar. Belum lagi secara jumlah, cukup tinggi bilangan anak-anak muda nahdlyn yang merespon dan menyebar pikiran Gus Dur, bahkan sekalipun hanya melalui narasi pendek atau cerita sekilas; namun berbarengan dengan itu terasa ada keserentakan arus bawah menerima dan merespon pikirannya. Secara kuantitatif, respon atas pikiran Buya Syafii di kalangan anak-anak muda Muhamadiyah dalam bentuk tulisan, boleh dikata lebih sedikit. Jangan-jangan itu penyebab sosok dan posisi Buya kerap disalahkaprahi oleh sejumlah pihak, tak terkecuali sebagian masyarakat Sumatera Barat, tanah asalnya.
Riki termasuk di antara yang sedikit itu. Ia menyerap dan mengolah gagasan Buya dengan cara unik: berdiang di perapiannya. Berdiang bukan tinggal diam, statis apalagi pasif, namun aktif—ingatlah pepatah “sambil berdiang nasi masak.” Jamak seseorang yang berdiang beraktivitas seperti bercakap-cakap, berdiskusi dengan tuan rumah atau pemilik perapian, atau dengan orang lain yang juga ikut singgah berdiang. Tak jarang seseorang yang berdiang sambil menjerang sesuatu dan menunggunya matang. Minimal merenung sembari menghangatkan badan, tentu sambil terus menjaga perapian tetap nyala.
Tak kalah menarik adalah bahwa buku ini dibuka oleh sebuah puisi Riki “Hotspot Buya Syafii” yang didedikasikan untuk Buya dan menjadi refleksi bagi aku lirik yang menyebut dirinya “si Malin” (Kundang?). Dalam puisi pembuka bukunya, Riki mengamsal perapian itu lebih lanjut sebagai “hotspot supergiga/ terminal transit bagi si malin/ yang turun mi’raj/ meninggalkan kelambunya.”
Sembari menegaskan statusnya sebagai penyair—yang punya “lisensi khusus” menjelajah ranah kultural—puisi tersebut juga semacam pernyataan bahwa sumber perapiannya memiliki arus informasi-komunikasi yang kuat dan canggih (“hotspot supergiga”). Ketika arus itu diolah dengan perenungan, maka masaklah buah-buah pemikiran dan ajaran di sekitar perapian itu. Lewat cara itu ia meresonansi gagasan dan pemikiran Buya yang muncul di mana-mana, baik melalui ceramah, berita, kertas kerja, dan tulisan lepasnya di media massa. Termasuk di youtube dan buku biografi Buya, Si Anak Kampung (2010). Tepat apa yang dikatakan Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si, Ketua Umum PP Muhamadiyah di backcover buku ini, bahwa Riki berdiang tidak dengan “ritual-kultus”, tetapi melalui keilmuan, sebagaimana Buya Syafii memberi teladan pentingnya membaca dan menuliskan gagasan untuk menggapai dunia yang berkemajuan.
Saya bayangkan Riki sebagai seorang pensyarah, meski pensyarah sebenarnya lebih menulis tanggapan pada sebuah kitab. Tapi dalam konteks sekarang bisa saja ditujukan buat menanggapi sejumlah buku atau tulisan lepas. Riki memang tidak secara khusus merespon salah satu “kitab” (buku) Buya Syafii; ia merespon apa saja dari yang dapat ia serap di tungku perapian Buya. Secara kebetulan cover buku ini berwarna kuning, sehingga sebagai seloroh bisa saya katakan mengingatkan kita pada “kitab kuning”!
Dalam kerja-kerja demikian, Riki tak sekadar mengulang gagasan dan buah pikir Buya Syafii dengan bahasa berbeda, apalagi jadi juru bicara—meski juga sah jika peran ini diambilnya—tapi “bertukar-tangkap” dengan sigap: berdialog, menambah, memberi garis tebal, dan membubuhkan persfektif lain atas namanya sendiri. Mungkin ini yang dimaksud Nirwan Dewanto di Epilog bahwa dalam buku ini kita “mendengar aneka perbincangan” antara dua urang awak yang sama tajam dan kritisnya.
Perbincangan itu jadi bernilai kritis karena ia tak lagi membicarakan sumbangan Minangkabau atas keindonesiaan kita melalui sosok-sosok cemerlang atau manusia universal dimasa lalu seperti Hatta, Sjahrir, Yamin hingga Tan Malaka, alih-alih tentang kenapa sebagian besar Minangkabau kini kehilangan aspirasi universalnya. “Aneka perbincangan” Riki dan Buya, menurut Nirwan, adalah juga cerita-cerita kecil yang penuh ironi dan sarkasme, bukan kritik yang kerontang dan resmi (hal. 224).
Karena itulah, membaca buku ini senikmat membaca rangkaian cerita dengan bahasa sastrawi yang lugas dan jernih. Bukankah sangat mengasyikkan membicarakan masa depan agama melalui puisi? Alangkah nyamannya membayangkan Buya Syafii sebagai kawan seniman, duduk bersama minum kopi Lebaran dan bercerita tentang partisipasi sejarah dan khilafah. Alangkah imajinatifnya membicarakan sosok dan peranan generasi muda sebagai penjaga layar perahu—gerak laju sejarah bangsa. Dan alangkah mendebarkan cerita tentang Nabi Yusuf yang gagah—dengan segala alternatif dan kemungkinan—mencari kita di masa transisi ini. Sementara Madilog Tan Malaka dilihat dari paradoks kaum rebahan yang membiarkan otak menganggur karena gawai memberi banyak kemudahan dan kesenangan, dan seterusnya.
Banyak Soal
Total esei dalam buku ini 28 judul, terbagi dalam tiga bagian. Bagian pertama berisi 12 esei tentang isu nasional, regional atau internasional. Mulai soal partisipasi sejarah mendelegitimasi teori “identitas tunggal peradaban Islam” demi mendorong kebangkitan negeri-negeri Islam yang terpuruk di pentas global (hal. 2), hubungan puisi, negara dan agama sebagaimana dalam rujukan sosok Iqbal di Pakistan (hal. 10), pandangan Marseden, juga Raffles, tentang bangsa Melayu (hal. 25), hingga pikiran Noam Chomsky dan politik Erdogan (hal. 39).
Pada bagian kedua berisi 11 esei, agak mengerucut kepada isu-isu Minangkabau mutakhir, mulai ziarah dan makan bajamba di kuburan, lagu Minang Modern, “jeritan” Pancasila di Ranah Minang, makna merdeka dalam falsafah Minang, sosok Buya Hamka hingga potret Buya Syafii sendiri bukan sebagai Si Malin Kundang—sekalipun dalam Pemilu yang lalu ia kerap dipersepsi berada di pihak “lawan”. Selain itu ada tulisan Riki tentang “Islam di Sumbar yang Sedang Sial”, pernah disiarkan tarbiyahislamiyah.co, dan dalam hitungan minggu dibaca 20 ribu kali, lengkap dengan pujian dan grundelan.
Bagian ketiga berisi 5 buah esei tentang pandemi Covid-19. Dalam “Politik Pandemi dan Teater Kematian”, Riki membuat left dari ungkapan Buya: “Kita perlu meningkatkan stamina spritual, dan merenungi keterbatasan kita selaku manusia.” Bagian ini mengolah simpati Buya jadi semacam daya-upaya menangani wabah secara cepat, tepat dan manusiawi. Riki menyadari jangankan negara miskin di Asia atau Afrika—termasuk negara kita—negara-negara maju di Eropa dan AS pun kelimpungan menghadapi wabah global ini, yang diibaratkan Riki bagai kecoa terjilantang, susah-payah untuk berdiri.
Sebagai penyair yang menulis gagasannya melalui esei, tentu Riki punya kapasitas menemukan istilah atau diksi tertentu untuk menampung gagasannya, sambil tetap tampil “puitik”. Karenanya, selain judul utama buku ini, dari judul-judul tulisannya kita juga dapat merasakan kekhasan dimaksud. Di antaranya, “Masa depan Agama Menunggu Puisi”, “Buya Syafii Kawan Seniman”, “Muda Penjaga Layar Perahu”, “Cerita Nabi Yusuf Mencari Kita”, “Adil Melihat Kubur”, “Primitif di Kala Modern”, dan lain-lain.
Riki juga banyak mengambil amsal dari karya sastra baik tradisional seperti pantun atau bidal, maupun sastra modern semisal bait puisi atau cuplikan prosa. Ada bidal Minangkabau: setitik jadikan laut, sekepal jadikan gunung, alam terkembang jadi guru. Atau pantun klasik asam kandis asam gelugur…dan seterusnya itu.
Dari sastra modern ada cuplikan novel Tabir Terakhir karya Reshad Feild: ajaib bukan semata karena Esanya, tetapi karena kemampuan Yang Esa itu untuk berada dalam yang banyak—untuk menggambarkan “Tauhid Muhamadiyah” yang menjadi visi Buya Syafii. Puisi Tagore: Aku melihat seekor kerbau besar yang berlumur lumpur termangu di tebing sungai yang mengalir/ tidak ada yang bisa dia lakukan/sampai pemuda pengembala datang menghelanya ke dalam sungai untuk dimandikan (hal. 51)—menggambarkan spirit masyarakat yang mati dan dihidupkan kembali oleh si anak gembala sebagai representasi pekerja atau sosok kreatif.
Itu, kata Iqbal, supaya kita tidak mandul seperti tanah liat. Sebab dalam hidup yang memiliki tuju, “Ialah perahu tamsil tubuhmu,” kata Hamzah Fansuri pula dalam Syair Perahu—agar kita tak tersekat di celah karang atau patah kemudi. Dari Joseph Brodsky mengumandang semangat pemikir-pejuang-petarung yang kerap diidealkan Buya melekat pada sosok urang awak:”aku mesti bicara meski bisu aku bisa.” Sajak Brodsky itu dengan bagus diterjemahkan penyair sesepuh kami di Bali, Frans Nadjira—saya yakin Riki mengutip Brodsky karena ingatan waktu menyair di jalanan kota Denpasar. Jika dirunut lebih lanjut, bait sajak tersebut memperlihatkan resiko dan konsekwensi atas sebuah sikap,”Bagiku lebih baik hidup di antara duri dan akar/Bagiku lebih baik bintang-bintang tidak menjelaskan/ Lebih baik aku sendiri yang mencari/ Sebab apa yang kauimpikan itulah yang kaudapatkan.”
Bahkan, seperti dikatakan tadi, buku ini dibuka oleh sebuah puisi Riki berjudul “Hotspot Buya Syafii” yang, meminjam Budi Darma, dapat disebut sebagai “soliloqui” (baca: benang-merah) keseluruhan buku. Kesadaran akan posisi kepenyairannya, juga terlihat dari cara Riki menempatkan sastrawan Turki, Elif Shafak dan Orhan Pamuk sebagai pintu masuk untuk membabar tingkah-pola politik sebuah bangsa, dalam hal ini rezim Erdogan di Turki (hal. 44). Ini meresepon tulisan Buya Syafii tentang krisis politik Turki dalam buku Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam (2018). Buya masuk melalui kisi-kisi sejarah dan pengamatan politik internasional, di mana Buya berpendapat bahwa Erdogan masih jadi contoh bagaimana penguasa muslim mempolitisasi agama demi rezimnya. Meski di sisi lain, Buya melihat Gulen Movment berbau messianic (hal. 40).
Bukan kebetulan Riki membandingkan Elif dan Orhan di satu pihak dan Erdogan di pihak lain. Sebab isu besar di seberang lautan yang dibicarakan Buya, hendak ia serpih menjadi narasi-narasi kecil yang puitik dan ber-contens kultural. Menurut Riki, budaya fiksi atau sastra adalah budaya tanda tanya, dipenuhi kritik dan otokritik, kadang schizoprenik demi menggugah situasi mapan. Posisi ini bukan saja milik Shafak dan Pamuk, namun juga milik Riki sendiri. Ini ibarat berbuat baik dan memberi simpati pada orang lain, pada hakikatnya tertuju pada kita atau diri sendiri. Sementara, lanjut Riki, budaya kekuasaan merupakan budaya tanda seru yang diwarnai oleh perintah, tunduk dan patuh. Posisi ini bukan hanya milik Erdogan, namun milik semua rezim di mana pun.
Tapi apakah keadaannya memang “hitam-putih” seperti itu? Baik Shafak maupun Pamuk, sedikit-banyak tentu memiliki motif-motif politis dalam gerakan dan karya-karyanya. Pamuk misalnya, mengangkat isu Kurdistan dan kasus Armenia ke tataran Internasional, sesuatu yang dianggap tabu bagi negara kesatuan Turki. Sementara Erdogan juga membuka ruang budaya dalam keputusan politisnya, seperti pendidikan murah dan proyek pengadaan buku bermutu untuk publik. Tak ada gading yang tak retak, tak ada kekuasaan yang sempurna. Oase-oase budaya dalam politik yang panas di Turki niscaya jadi catatan tersendiri dalam memilih yang terbaik di antara yang buruk. Barangkali ini pula yang menjadi pertimbangan Buya Syafii untuk menempatkan Presiden Joko Widodo sebagai orang baik, meski belum tentu yang terbaik.
Akan tetapi dengan mengulang kembali adagium klasik tentang kebudayaan dan kekuasaan yang bertolak belakang, Riki seolah hendak mewanti kelengahan kita pada hubungan keduanya yang cenderung bias. Sastra, seni-budaya atau jagad humaniora semakin kehilangan “tanda tanya”-nya yang kritis, semuanya seolah terhisap sihir rezim—sehingga seorang kawan bahkan pernah bertanya,”Masih adakah kiri di Indonesia?” Kiri, sebutannya untuk pihak yang kritis. Sementara itu, di sisi lain, kekuasaan makin mapan dengan “tanda seru” yang masif seperti pentungan itu—ingatlah cara-cara polisional merespon ekspresi masyarakat di dinding kota dan media sosial akhir-akhir ini!
Gagasan vs Pernyataan
Dalam satu atau dua dasawarsa terakhir, tanah kelahiran Buya Syafii, Sumatera Barat secara administratif, atau Minangkabau secara kultur, mendapat sorotan tajam dalam politik kontemporer Tanah Air. Berbagai isu dan wacana mainstream di pusat kekuasaan, banyak yang “tak laku” di Ranah Minang. Katakanlah isu-isu liberal, pluralitas, dan pola-pola tertentu dalam demokrasi. Sekilas sebagian pihak menganggap bahwa hal-hal semacam itu sudah tuntas dan khatam sehingga tak perlu ikut-ikutan meramaikannya.
Akan tetapi, jika dicermati, sebenarnya bukan “tidak laku”. Isu itu tetap “dibeli” oleh pihak tertentu, tapi untuk “dijual” kembali setelah melalui modifikasi. Sebutlah sebagai misal, pernyataan penolakan atas gagasan dan konsepsi Islam Nusantara. Penolakan itu dilakukan oleh MUI Sumbar dengan alasan-alasan “pemurnian”: Islam, ya, Islam, tanpa embel-embel. Padahal “Islam Nusantara” itu merupakan gagasan pada tataran sejarah Islam dan budaya Nusantara, bukan menyangkut “kitab” dan “kiblat” agama—sebagai landasan-dasar dalam Islam.
Bagaimana menghadapi gagasan dengan pernyataan? Tentu saja tidak seimbang. Tanpa mengabaikan pengalaman, wewenang dan status mereka yang membuat pernyataan, dari segi proses dan sintesa, sebuah pernyataan tetaplah pernyataan. Ia lebih bernilai praktis jika bukan pragmatis. Sehingga jika dikembalikan kepada tuntutan mereka yang meminta “agama jangan dipolitisasi”, bukankah upaya bermain “pernyataan” itu merupakan ciri politik praktis—yang justru dipraktekkan sendiri?
Jelaslah, yang satu mempertaruhkan kajian dan sumber-sumber keilmuan, yang lain mengandalkan dogma dan retorika. Dogma dan retorika, sampai kapan pun tetap lebih “mempesona”. Hanya saja selalu diperlukan dogma dan retorika baru untuk membuat gemanya lebih panjang. Sementara gagasan akan diuji waktu, dan waktu juga yang akan memperbaruhinya. Gagasan Islam Nusantara misalnya, dalam prosesnya ikut diwarnai pikiran Buya Syafii sebagaimana disinggung Riki dalam penjelasan di atas. Selain itu, salah seorang pengkaji paling awal Islam Nusantara justru putra Sumbar sendiri, yakni Azyumardi Azra (lihat Islam Nusantara, Jaringan Global dan Lokal, 2002). Disertasinya tentang Jaringan Ulama Nusantara (1994) juga menyinggung soal ini.
Jika tokoh-tokoh Minangkabau pada masa lalu jadi kebanggaan yang tak lekang, kenapa tokoh Minangkabau masa kini—semisal Azyumardi Azra—tidak ditempatkan dalam koridor yang sama? Jangan-jangan inilah penyebab seolah Minangkabau tak lagi menghasilkan para tokoh—padahal tokoh-tokoh baru terus bermunculan sesuai zamannya—namun toh hati dan kepala tetap hanya dipalingkan ke masa lalu.
Saya tidak tahu sejauh mana sikap “politis” sebagian ulama Minang mempengaruhi warga dalam kultur beragama. Tapi saya punya pengalaman kecil tentang itu. Seorang mantan kepala lembaga kebudayaan di Sumatera Barat—setelah pensiun ia aktif di urusan zakat Kota Padang—berkunjung ke Yogyakarta. Saya mengantarnya jalan-jalan ke beberapa destinasi. Saat mengajaknya ziarah ke makam Panembahan Senopati di Kotagede, ia langsung berbalik badan,”Untuk apa ziarah ke kuburan?”
Apa yang terjadi? Sudah sejauh itukah perubahan sikap dan kultur beragama orang Minang? Padahal sosok tersebut berlatar belakang kesenian, yang saya bayangkan akan lempang menerima hal-hal kultural. Ternyata tidak. Lalu bagaimana dengan mereka yang berlatar berbeda, katakanlah masyarakat kebanyakan atau komunitas pengajian yang ekslusif? Padahal kita tahu, selain basis Muhamadiyah, Ranah Minang bersinggungan kuat dengan Perti, ada juga NU, yang memiliki amalan-amalan ritus tertentu.
Saya jadi teringat kisah Buya Syafii sebagaimana dinukil Riki dengan sangat cermat dalam “Adil Melihat Kubur” (halaman 93). Alkisah, semasa Buya kecil di kampung, masyarakat Sumpurkudus punya sebuah makam keramat, yakni makam Syekh Ibrahim. Dimakam itu pada hari baik bulan baik orang kampung berziarah dan makan bajamba (makan bersama), dengan suasana anak-anak yang riang-gembira. Buya, terbawa oleh sikap taatnya pada kemurnian agama, pada masa itu menolak ikut berziarah sebab baginya sudah tak jelas mana yang sejarah dan mana yang syirik.
Namun belakangan, dalam biografinya, hal yang tampak temeh itu ditulisnya dengan reflektif,”…ini adalah sikapku yang kurang dewasa,” katanya, dan Riki menangkap nada sesal dari ungkapan itu. Walaupun dialamatkan kepada dirinya sendiri, bagi Riki itu sebenarnya kritik sosial yang halus, khususnya kepada sebagian pihak yang menabukan ziarah kubur. Pertimbangan Buya cukup sederhana,”Bukankah makan bersama anak-anak lain merupakan suatu kegembiraan?” (halaman 97).
Baca Juga: Tarbiyah Islamiyah, Otak Minangkabau, dan Buya Syafii Maarif
Kemelut Pancasila
Selain dalam wacana mainstream dan isu-isu mutakhir, orang Sumatera Barat, atau Minang khususnya, juga dianggap menjadi antetesis di panggung kebangsaan. Ini tersirat dari pilihan-pilihan politik sebagian besar masyarakat Sumatera Barat (Minangkabau) hari ini, sebutlah dalam hal kepemimpinan dan partai politik. Alih-alih mendapat panggung, orang Minang dianggap tak lagi “becus” dalam berpolitik dan lebih banyak mereproduksi isu-isu masa lalu yang sebenarnya kian tergencet dalam kejumudan. Mereka dianggap kehilangan basis kulturalnya, kecuali sebatas mengulang semboyan ABS/SBK: Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Sejauh mana kebenaran tuduhan itu, tentu memerlukan kajian yang lebih mendalam.
Namun sebagai gejala awal bisa saja kita telisik dari suatu perkara yang pernah terjadi. Salah satu kasus yang sempat ramai ialah peristiwa menjelang Pilkada Sumbar tahun 2020. Mengantar pasangan Ir. Mulyadi-Drs. H. Ali Mugni sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Sumbar yang direkomendasi PDIP, Puan Maharani secara virtual berkata, “Merdeka! Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila” (CNN, 02/9/2020).
Kontan ungkapan itu mendapat reaksi keras dari banyak pihak di Sumatera Barat, yang sebelumnya juga sudah berhadapan dengan wacana sejenis. Misalnya dari ungkapan Mahfud MD yang menyebut bahwa Sumbar dan beberapa provinsi lain (dalam Pemilu) termasuk provinsi “garis keras” (Detik, 28/4/2019). Megawati Soekarno Putri juga pernah mengeluh,”Kenapa masyarakat Sumbar kok belum suka PDIP?”
Reaksi begitu kuatnya sehingga Mulyadi sebagai calon yang saya tahu paling siap—setidaknya setahun sebelum Pilkada balihonya tersebar dari kota sampai pelosok desa, hingga perbatasan daerah—mengembalikan mandat kepada PDIP. Alih-alih menang, Mulyadi, dan juga calon lain, dikalahkan calon PKS dan koalisinya.
Setiap daerah tentu punya langgamnya sendiri, pola relasi dan cara berinteraksi, termasuk memilih dan memilah saluran aspirasinya. Tentu saja tak bisa ditempatkan hitam putih, menuduh fanatik yang satu dan menganggap progresif yang lain. Bukan ujug-ujug Sumbar dikenal sebagai provinsi yang memiliki suara berbeda, dengan segala resiko dan konsekwensinya. Daerah ini misalnya menjadi basis PDRI dalam masa darurat, lalu menggerakkan PRRI sebagai totalitas menggugat kekuasaan yang memusat. Audry Kahin menyebut proses ini sebagai “dari pemberontakan ke integrasi”—dan bisa juga sebaliknya.
Setiap provinsi niscaya punya basis feodal dan pendukung fanatiknya, sebutlah Jawa Timur dengan PKB dan Bali dengan PDIP—hanya pola kekuasaan rezim sentralistik saja yang bisa menyeragamkannya sebagaimana pada masa Orba semua provinsi seperti berlomba paling “kuning”. Tak terkecuali yang sekarang menjadi basis PDIP seperti Bali.
Sisi inilah yang belum sepenuhnya dapat diartikulasikan Riki, dalam arti, situasi politik lokal dan nasional belum terjabarkan untuk melihat persoalan secara lebih utuh. Sehingga “kemelut Pancasila”—sebagai peristiwa politik—bisa diurai seobjektif mungkin, jika perlu seperti mengambil rambut dalam tepung; rambut didapat tepung tak tumpah. Akan tetapi mungkin ini semacam celah kecil dari jalur kultural yang ia pilih, di mana narasi-narasi politik beroleh ruang lebih sedikit.
Meski dalam kasus Puan, Riki mencoba berimbang. Ia melihat “juru bicara” Sumatera Barat yang mereaksi pernyataan Puan lebih suka menyebut-nyebut peran tokoh-tokoh Minang terdahulu yang ikut merumuskan Pancasila. Hal ini seperti membawa peristiwa hari ini balik jauh ke belakang, sehingga tak menyentuh persoalan alih-alih jadi tameng atas sejumlah indikasi yang dituduhkan. Di sisi lain, meski menyebut Puan sebagai Ketua MPR yang seharusnya dapat diterima semua pihak, tapi Riki lupa bahwa representasi Puan sebagai pengurus partai tak dapat dilepaskan, apalagi ia tampil di gelanggang Pilkada yang mengusung calon masing-masing.
Riki bahkan merasa perlu menyinggung silsilah Puan Maharani—tentu saja ini bagian dari upaya mengelaborasi jalur kultural—sebagai keturunan Sultan Indrapura. Dari pihak ibu, memang benar Fatmawati, ibu Megawati, merupakan keturunan Indrapura, sebuah kesultanan penghasil lada terbesar di pantai barat Sumatera. Fatmawati merupakan anak pasangan Hasan Din dan Siti Chadijah, putri Kesultanan Indrapura. Hasan adalah seorang pengusaha dan tokoh Muhammadiyah yang juga berdarah Minangkabau. Ia bersahabat dengan Soekarno ketika tempat pengasingan Proklamator itu dipindahkan dari Banda Neira ke Bengkulu. Jadi Megawati memiliki darah Indrapura, meski dalam hitungan matrilinial ia merupakan “anak seberang” (lebih lanjut bisa dibaca esei saya, “Mengapa Indrapura Ada di Mana-mana?”, alif.id, Januari 2020).
Di sisi lain, Taufik Kiemas, ayah Puan Maharani juga orang Minang yang bahkan diangkat sebagai datuk di Nagari Sabu Tanah Datar. Apalagi yang kurang dari Minang? Semua klop belaka. Akan tetapi ada yang kurang barangkali. Puan, pun Megawati, tidak pernah melihat pertalian silsilah ini secara ajeg, baik dalam hubungan budaya maupun politik, kecuali saat-saat genting. Padahal kondisi Kesultanan Indrapura sudah lama terpuruk, baik akibat campur tangan kolonial, maupun pengabaian rezim bangsa sendiri.
Jika Megawati atau Puan merasa itu bagian dirinya, tentu mereka akan terpanggil ikut mengangkat marwahnya. Dari situ bisa dimunculkan dengan lebih kokoh wacana tentang kepemimpinan perempuan yang lazim dalam ranah matrelinial. Megawati tak cukup visioner menempatkan Puan, dan ia sendiri kurang belajar dari pengalamannya waktu hendak maju sebagai calon presiden dulu, di mana isu “pemimpin perempuan” dijadikan bancakan. Toh Megawati dan keluarga besarnya lebih memilih merapat kepada keluarga ayahnya di Bali, yang puri-purinya masih terjaga, terutama dengan industri pariwisata dan kultur Bali yang menjadikan puri sebagai pusat ritual/kultural.
Sebenarnyalah Riki juga kritis melihat posisi Puan Maharani. Ia menyebut dalam soal Pancasila, Puan masih memaknai Pancasila sebagai merk kelompok/partainya sendiri (hal. 136). Lebih dari itu, Riki menukil Buya Syafii yang jauh-jauh hari sudah menyatakan begini: kita ini sudah lama jauh dari Pancasila akibat tidak ada konsistensi antara falsafah dan praktek! Itu tak hanya untuk Sumbar, tapi seantero negeri. Bahkan tahun 2009, Buya punya istilah yang dramatis: “jeritan Pancasila” yang yatim-piatu!
Selain Buya, Kuntowijoyo juga sudah lama menyebut Pancasila sebagai mitos yang hanya dipakai untuk kepentingan politik. Tapi mitos kadang-kadang lebih efektif daripada ideologi pada saat-saat kritis, seperti yang terjadi tahun 1965 (Kuntowijoyo, 1999: 80). Selain masa kritis seperti 1965, saya kira Pancasila sebagai mitos juga muncul saat krisis, mulai masa runtuhnya rezim Orba, masa-masa awal Reformasi dan perayaan kebablasan pada demokrasi. Termasuk saat dua Pemilu terakhir, masing-masing pihak berlomba menyatakan “Saya Pancasila,” sambil tersiratkan pihak lain tidak Pancasilais!
Kalau begitu, mengapa Sumbar seolah menjadi tertuduh? Bukankah dalam Pemilu sistem politik kita miskin terobosan dan sangat tidak akomodatif terhadap calon-calon lain? Partai banyak, bahkan berlebih, tapi calon presiden hanya dua pasang. Mau efektif seperti AS dengan dua calon, tapi partai mereka juga hanya dua. Padahal dalam masyarakat kita yang rawan, pilihan dua itu riskan karena polarisasinya menganga lebar, apalagi sudah “diobok-obok” oleh tangan-tangan partai yang bejibun.
Jadi apakah itu semua harus dipandang “hitam-putih” sebagai sikap puritan, “kehilangan aspirasi universal” sebagaimana dikatakan Nirwan, atau sesuatu yang ahistoris? Bagaimana kalau itu diletakkan dalam persfektif the other voice? Dalam dunia kepenyairan dikenal ungkapan Octavio Paz, penyair dan diplomat Chili tentang suara lain.
Dalam konteks masyarakat Sumatera Barat atau Minangkabau khususnya, tradisi kesastraaannya berbeda dengan dunia kepujanggaan di Jawa. Dalam dunia kepujanggaan, ada kedekatan dengan penguasa kraton. Sementara tradisi kesusasteraan Minangkabau lebih egaliter dengan akar kaba atau tambo, ditambah tradisi lapau, surau dan rantau. Maka suara-suara lain itu menjadi mungkin. Terbukti pilihan-pilihan politik masyarakat Sumatera Barat tak bisa diringkus apalagi dipersekusi sebagai sesuatu yang instan. Kita bisa lihat bagaimana misalnya rezim kekuasaan hasil Pemilu lalu memaksakan Undang-Undang Cipta Kerja No 11/2020 yang dikenal sebagai omnibus law dan sangat masif itu. Penantangnya ada di seantero negeri, dari berbagai provinsi.
Namun, sejurus dengan itu, kita dapat pula memahami bahwa kecemasan atas mengerasnya sikap-sikap fanatik merupakan alarm tanda bahaya. Sebagaimana dalam “jeritan” Pancasila, Buya Syafii sejak dini juga mengkritik sikap fanatik tersebut, tak terkecuali dalam beragama. Ia misalnya menolak pandangan khilafah sebagai sistem otentik yang bersumber dari al-Qur’an. Menurutnya, sistem khilafah tak bebas dari berbagai virus peradaban, sebagaimana juga dialami oleh sistem-sistem yang lain. Mengutip Shah Waliyullah dari India, khilafah yang berkembang pasca Al Khulafa Al Rasyidun, hanya berbeda sedikit dengan sistem maharaja Rumawi dan Persia. (hal. 65). Karena itu, sifat fanatik buta hanya akan membawa pada kejumudan, dan dalam istilah Hamka, “kemoendoeran Islam”.
Riki Dhamparan Putra lalu mengamplikasinya dengan mengutip Chomsky, “keyakinan irasional adalah fenomena berbahaya.” Contohnya wawasan supremasi ras unggul seperti yang diamalkan zionis. Lewat cara ini, Riki memberi pukulan balik untuk Zionis yang menyebar desas-desus bahwa Islam merasa super, yang tentu dekat pada keyakinan irasional. Sekaligus dengan itu ia berbagi kehangatan api-pendiangan Buya Syafii kepada masyarakat kampung halaman dan bangsanya. Semoga, barakallahu! **
(Tulisan ini merupakan versi revisi pengantar diskusi buku Berdiang di Perapian Buya Syafii, di Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, 5 Januari 2022)
Leave a Review