Belum lama ini, tepatnya ketika peringatan Maulid Nabi S.A.W (15/5/2015), di Istana Merdeka di hadapan Presiden Jokowi, diperdendangkan qira’a al-Qur’an dengan langgam Jawa. Respon pun mengalir dalam berbagai macam rupa, menganggap hal itu keniscayaan; mencerca dengan sinisme yang berlebihan; bahkan ada pula yang menganggap hal itu semacam desakralisasi terhadap al-Qur’an. Padahal qira’a dalam langgam Jawa sama sekali bukan hal baru dalam masyarakat Indonesia. Gus Dur, bahkan pernah juga melakukan hal yang sama. Menariknya tak ada respon yang berlebihan terhadap hal tersebut. Baru belakangan pembacaan Qur’an dengan langgam Jawa dianggap menyimpang; merusak; dan tak elok persis ketika rezim Jokowi menjadikan ekspresi Islam-lokal sebagai alat politik.
Adalah Front Pembela Islam yang paling keras melakukan protes terhadap qira’a Qur’an dengan langgam Jawa tersebut. Bahkan Habib Rizieq, berfatwa bahwa menyanyikan Qur’an dengan langgam selain langgam yang dikenal secara konvensional, adalah haram. Dalam konteks ini kemudian pertanyaan bermunculan: “Bagaimana nalar di balik fatwa harumnya qira’a al-Qur’an degan langgam non-konvensional seperti langgam Jawa; Minangkabau; dan lain sebagainya?”, “Bagaimana pembacaan Qur’an dengan langgam Jawa di hadapan kekuasaan dimaknai?” Dua pertanyaan tersebut menegaskan bahwa artikel ini akan dielaborasi pada dua hal, yakni: nalar di balik fatwa FPI dan interpretasi terhadap popularisasi oleh kekuasaan terhadap simbol-simbol budaya seperti langgam Jawa.
Baca Juga: Wasiat Syekh Sulaiman Arrasuli dalam Ijazah MTI Canduang
Terkait keabsahan langgam Jawa dalam membaca al-Qur’an, Front Pembela Islam (FPI) mengeluarkan fatwa (27/05/2015) yang terkesan paradoks.Hal itu dapat terlihat dari bentuk hukum yang ditetapkan oleh FPI melalui pimpinan organisasi FPI, Habib Rizieq. Menurut Habib Rizieq, kemudian menjadi fatwa yang diamini oleh partisipan dan loyalis FPI. Hukum terkait pembacaan Qur’an dengan langgam Jawa menurut Habib Rizieq: Pertama, membaca Al-Qur’an dengan langgam Jawa hanya absah, dan boleh bagi muslim yang belum mampu membaca Qur’an dengan langgam Arab. Kedua, bagi muslim yang sudah mampu membaca Qur’an dengan langgam Arab tetapi sengaja menggunakan langgam lain, apapun motifnya, hukumnya terlarang. Apa dalil, dan bagaimana nalar yang dibangun oleh Habib Rizieq dalam menetapkan dua hukum tersebut?
Habib Rizieq Shihab, sebagai pimpinan besar FPI, menukilkan kembali fatwa Ibnu Abbas r.a terkait status pertobatan seorang jagal:
“Suatu hari datang seorang penanya di majelis Ibnu Abbas RA, lalu bertanya: Apakah taubat seorang pembunuh diterima oleh Allah SWT? Ibnu Abbas RA langsung menjawab: ‘Taubatnya diterima’. Lalu di kesempatan lain, ada seorang penanya lain datang ke majelisnya, dan bertanya dengan pertanyaan yang sama, yaitu: Apakah Taubat seorang pembunuh diterima oleh Allah SWT? Namun kali ini Ibnu Abbas RA diam sejenak, lalu menjawab sebaliknya, yaitu: ‘Tidak diterima’. Dua kejadian tersebut membuat para murid Ibnu Abbas RA terheran-heran, karena satu pertanyaan yang sama dijawab dengan dua jawaban yang berbeda. Mereka pun penasaran dan menanyakannya kepada Sang Guru. Ibnu Abbas RA pun menjelaskan: ‘Penanya pertama memang sekadar ingin tahu hukumnya, maka aku jawab dengan yang sebenarnya. Sedang penanya Kedua aku lihat dalam sorot matanya keinginan untuk membunuh, maka aku jawab dengan jawaban yang mencegahnya daripada pembunuhan.”
Berpijak pada fatwa yang dikeluarkan oleh Ibn Abbas ra, Habib Rizieq Shihab kemudian melakukan ‘retoriterialisasi’ atau rekontenstual terhadap kasus pembacaan langgam qira’a dengan langgam selain Arab, hingga berhasil melahirkan fatwa terhadap pembacaan Qur’an dengan langgam Jawa. Ada beberapa kata kunci dalam fatwa yang dikemukakan oleh Habib Rizieq, yakni: ihtiza dan Islam Nusantara—selama orang awam tak mampu membaca Qur’an dengan langgam Arab dan tiada dirinya berniat memperolok-olok, menurut Habib Rizieq hal itu boleh. Namun sangat terlarang hukumnya, jika langgam tersebut untuk mempropogandakan Islam Nusantara. Bentuk kedua itu diasumsikan oleh Habib Rizieq sebagai upaya memperolok-olok Qur’an atau ihtiza. Ini kemudian mempertegas bahwa Front Pembela Islam menjadi kelompok yang anti terhadap Islam Nusantara, dan menjadi pembela paling keras terhadap arabisasi Islam di Indonesia.
Memantik fatwa yang dikemukakan oleh Habib Rizieq Shihab, meinggatkan akan konsep Abid al-Jabiri, nalar Arab. Ada tiga grand metode terkait nalar Arab al-Jabiri, yakni: bayani, irfani dan burhani. Nalar Arab tersebut seutuhnya didasarkan pada budaya Arab, yang terdiri dari: 1) authoritative texts—karena seutuhnya nalar Arab didasarkan pada teks agama; 2) authoritative salaf—didasarkan pada pertimbangan ulama; dan 3) authoritative permissivism (sulthah at-tajwiz al-lasababiyah). Dalam konteks ini kemudian Abid al-Jabiri melakukan kritik mendasar terhadap bangunan keilmuan yang berkembang di tengah peradaban Arab-Islam. Fatwa FPI terkait langgam Jawa agaknya dapat dipahami dalam nalar Arab yang diteorikan oleh Abid al-Jabiri ini.
Al-Jabiri meminjam teori Lalande tentang diferensiasi antara al-‘aql al-mukawwim dengan al-‘aql al-mukawwan, dimana al-‘aql al-mukawwim merupakan bakal intelektual (al-malakah) yang dimiliki setiap manusia gunakan menciptakan teori-teori dan prinsip-prinsip universal, sedangkan al-‘aqlal-mukawwan merupakan akumulasi teori-teori atau prinsip-prinsip bentukan al-‘aql al-mukawwin yang berfungsi sebagai tendensi pencarian konklusi, atau kaidah-kaidah sistematis yang ditetapkan, diterima dan dinilai sebagai nilai mutlak dalam suatu babak sejarah. Sementara itu, al-‘aql al-mukawwanadalah kumpulan prinsip dan kaidah yang diciptakan oleh ulama Arab-Islam di tengah-tengah kultur intelektual Arab sebagai alat produksi pengetahuan. Nalar ini kemudian yang membentuk nalar Arab. Ia merupakan sistem kognitif ‘bersama’ yang berdiri di balik pengetahuan atau dalam istilah Michael Foucoult disebut dengan episteme.
Baca Juga: Syekh Sulaiman Arrasuli Tokoh Pendidikan Islam Bercorak Kultural
Proyek intelektual Abid al-Jabiri tersebut tentu saja tidak sepenuhnya dapat menjelaskan fatwa Front Pembela Islam.Setidaknya proyek tersebut dapat menjadi semacam mercusuar yang dapatmemberikan informasi sederhana, bahwa ada pengaruh nalar Arab yang sangat kuat di balik fatwa FPI terkait pembacaan Qur’an dengan langgam Jawa. Terutama tatkala FPI tersebut dipahami dalam trilologi konsep Nalar Arab yang ditawarkan oleh Abid al-Jabiri, yakni: bayani; irfani dan burhani. Sementara itu, konsep Arkoun tentang Nalar Arab lebih ‘mungkin’ melengkapi penjelasan mengapa kemudian FPI melalui fatwa yang dikeluarkan oleh Habib Rizieq Shihab dapat dinilai sebagai bentuk pembelaan terhadap nalar Arab.
Arkoun menilai bahwa nalar Arab akan berubah seiring terjadinya internalisasi nilai-nilai Islam dan lokalitas. Dalam kata lain, nalar Arab Islam berpijak pada al-Qur’an dan sunnah. Itu kemudian merupakan ciri dasar dari nalar Islam yang masuk ke Indonesia. Nalar Arab dalam konteks sejarah Islam Indonesia bermula ketika pedagang Arab datang ke Nusantara. Melalui mereka kemudian nalar Arab diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia dan diterima sebagai nalar Islam.Formulasi nalar Arab yang diperkenalkan oleh Arkoun ini agaknya dapat pula dipahami dalam konsep “Islam of reality” yang diperkenalkan oleh Bassam Tibi. Konsep ini mengacu pada ekspresi Islam yang dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosial dan politik di mana Islam tersebut berkembang. Jika langgam Jawa dipahami dalam konteks Nalar Arab versi Arkoun, langgam Jawa tersebut hanyalah ekspresi keislaman yang dipengaruhi oleh budaya di mana Islam tersebut tumbuh.
Pembacaan al-Qur’an dengan langgam Jawa tentu saja dapat disejajarkan dengan gerakan berkesenian dan Islam yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga yang kemudian melahirkan langgam shalawat ‘ilir-ilir’ yang sangat bercorak lokal, Jawa. Dalam bentuk ini, akan menjadi ‘biasa’ jika Qur’an dibaca dengan langgam Jawa. Namun kemudian jika pun FPI mengeluarkan fatwa bahwa pembacaan Qur’an dengan langgam Jawa, terlarang, itu sepenuhnya dapat dipahami dalam dua bentuk: 1) reaksi metodologis: berpijak pada Nalar Arab yang diteorikan oleh al-Jabiri, fatwa FPI terkait langgam dapat dipahami sebagai produk dari metode bayani—pendekatan yang sepenuhnya didasarkan pada teks. Pendekatan ini [hanya] mampu melahirkan produk hukum yang sangat rigid, kaku dan tentunya tak akan mengarah pada inovativerepition, atau produk hukum yang lebih kontekstual dan mampu keluar dari tradisi Nalar Arab yang didefinisikan oleh al-Jabiri; dan 2) reaksi politis: fatwa FPI terkait langgam Jawa dapat pula dipahami sebagai reaksi politis terhadap Negara melalui Menteri Agama. Negara di mana menurut pandangan FPI sudah mengarah pada tindakan hegemoni dengan menjadikan Islam Nusantara sebagai jargon kekuasaan, sehingga berpotensi membunuh Nalar Arab dalam bentuk lain. Dalam dua konteks ini kemudian, reaksi dan kontroversi pembacaan Qur’an dapat dipahami. Semoga bermanfaat.[]
Leave a Review