scentivaid mycapturer thelightindonesia

Lapau, Maota, dan Adakah Teater di Sana?

Ilustrasi/Dok. Istimewa

Memasuki lapau, adalah seperti memasuki ‘mesin waktu’. Kita akan melompat-lompat, menembus ruang dan waktu, dari satu konteks ke konteks yang lain. Dari sawah yang diserang hama tikus, ke ruang debat presiden, ke ruang kerja para menteri, lalu, ke Balairuang Sari, ke Mars, kemudian kembali lagi ke Nagari. Kita dibawa melintasi teks yang berbeda-beda. Teks yang ‘silam’, teks yang ‘kini di sini’, dan teks yang ‘nanti’. Dari tambo, ke berita koran, hingga ke ramalan-ramalan.

Lapau menjadi tempat pertemuan dari berbagai cerita dengan dimensi berbeda-beda pada satu waktu dan ruang, yaitu ruang waktu lapau. Demikianlah gambaran, jika kita memasuki sebuah lapau dalam konteks masyarakat Minangkabau hari ini. Entah dalam pengertian sebagai orang yang datang untuk pertama kali, maupun sebagai orang yang memang sudah menjadi pengunjung tetap.

Lapau, adalah kata dalam bahasa Minangkabau. Ia mungkin dapat secara bebas di alih bahasakan menjadi kedai dan warung dalam bahasa Indonesia. Namun demikian, lapau sesungguhnya bukan saja bermakna tempat transaksi jual beli ekonomis -seperti arti yang dibawa oleh kedai dan warung- di mana orang mendapatkan sabun mandi, rokok, kopi bubuk, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Lebih dari itu, di lapau seseorang juga melakukan transaksi nilai budaya antropologis, yang jelas tidak di dapatkannya di mini-market dan kios kelontong.

Lapau menjadi terminologi yang khas dari budaya Minangkabau, dan mungkin tidak tepat untuk menggantikannya dengan kata lain -seperti kedai atau warung- atau bahkan bahkan meng-Indonesia-kannya menjadi ‘lepau’, yang akan membuatnya kehilangan sebagian makna yang diacunya ketika ia diucapkan dalam konteks budaya Minangkabau.

Baca Juga: Teater: Mungkinkah Bergaya Lapau?

Sebuah lapau, pada dasarnya merupakan tempat kehidupan sehari-hari ‘dipantulkan’. Dari aktivitas di sawah dan di ladang, para pengunjung lapau berpindah ke sebuah situasi, di mana ia bisa duduk beberapa jam, memesan lalu menikmati minuman dan makanan, sambil berbagi cerita dan mendapatkan komentar atas kehidupannya sendiri. Baik komentar yang datang dari orang lain, maupun juga komentar dari dirinya sendiri. Berbagai soal yang ia temukan dari kesehariannya, mendapatkan kritik dan oto-kritik di lapau. Kritik-otokritik tersebut di sampaikan dengan meminjam berbagai cerita lain, yang kemudian membuat sebuah alur cerita tersendiri, dan sekaligus membuat cerita tersebut berpindah-pindah konteks dan teks, selama rentang waktu penceritaannya di lapau.

Lapau menjadi terminologi yang khas dari budaya Minangkabau, dan mungkin tidak tepat untuk menggantikannya dengan kata lain -seperti kedai atau warung- atau bahkan bahkan meng-Indonesia-kannya menjadi ‘lepau’,

Kendati terkesan tidak konsistens -karena lompatan-lompatan cerita- atau bahkan tidak ada ’poin’ -karena jarang mengerucut menjadi solusi apalagi konklusi-, ceritanya tetap dapat dilihat sebagai suatu pantulan budaya konstruktif.

Selain hal yang telah di gambarkan di atas, pada pembicaraan di lapau tercermin pula budaya maota (berbicara). Sebuah budaya, untuk memantulkan diri sendiri sebagai sebuah cerita, mendengarkan cerita orang lain, memberi dan menerima komentar, memperbandingkannya, membuat kontestasi nilai, untuk kemudian mengambil nilai yang dianggap berguna bagi kehidupan. Karenanya, cerita di lapau adalah juga pendidikan untuk menyatakan pendapat, berargumentasi, beretorika, serta memberikan kritik.

Sebaliknya, lapau juga menjadi tempat untuk mentransformasikan nilai saling menghormati (egaliter), kesadaran terhadap kebebasan berpendapat (demokratis), serta kemampuan untuk menerima komentar (kritis). Namun dari itu semua, lapau adalah budaya yang ’laki-laki’ (patriarkhi). Adalah jarang ditemukan ada orang perempuan yang terlibat intens dalam lingkaran maota di lapau. Kalau pun ada, paling-paling Urang Lapau (si pemilik lapau). Sepintas, mungkin akan terasa kontradiktif dengan matrilineal Minangkabau. Namun sesungguhnya, budaya lapau adalah ’anak kandung’ dari matrilineal itu sendiri. Tinggal di rumah mintuo (orang tua istri), seorang lelaki Minangkabau memiliki semacam ’keengganan’ -karena dianggap tabu- ikut menonton sinetron dengan anak istri dan iparnya. Karenanya ia akan keluar rumah dan berkumpul dengan sesama sumando (lelaki di rumah istri) yang lain. Lapau menjadi pilihan ’tongkrongan’, memesan segelas minuman, maota hingga kantuk datang, lalu pulang dan tidur.

Karenanya, budaya lapau juga budaya yang ‘malam hari’, yakni saat-saat sebelum tidur. Oleh sebab itu pula, maka cerita di lapau adalah cerita yang ‘ringan’ dan beratmosfir hiburan dan ‘rekreasi’. Ia adalah cerita yang tidak direncanakan sebelumnya, mengalir dan sangat lentur. Sifat-sifat cerita tersebut kemudian menjadi spirit yang mewarnai sebuah budaya lapau, dan menjadi medium bagi transformasi nilai, sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Karena itu, di samping Surau dan Rumah Gadanglapau dapat di pandang sebagai institusi budaya non formal dalam dinamika masyarakat Minangkabau, dahulu dan hari ini, serta tidak mustahil di masa depan. Tentu saja, dengan berbagai catatan tentang bahaya laten yang dimilikinya, yang pantas pula diwaspadai, sebagai tempat berjudi, sirkulasi minuman keras, produksi desas-desus, dan lai sebaginya.

Adakah Drama dan Teater Pada Sebuah Lapau?

Oleh sebab-sebab di atas, sejatinya memang ada kemungkinan dramatika di lapau. Drama yang dipertunjukkan, maupun drama yang diceritakan. Sebuah drama, pada dasarnya adalah pengungkapan kembali ”kisah manusia”, dengan memilih bagian khas daripadanya, untuk tujuan yang khas pula, yaitu mengambil pelajaran (didaktik). Jika sebuah cerita biasa mendeskripsikan kisah tersebut, sehingga si tokoh menjadi ’silam’ dan terobjekkan, maka sebuah drama menghidupkan si tokoh, agar menjadi subjek yang bicara (artikulatif) pada saat “kini-di-sini’.

Dok. Istimewa

Baca Juga: Menilai Ketepatan Berbahasa: Arena dan Kuasa Simbolis

Seseorang yang memasuki lapau, membawa serta cerita dari kehidupannya ke dalam lingkaran maota. Bisa saja dimulai tentang hama yang mengganggu tanamannya. Ketika bercerita -tanpa sadar- ia pantulkan persoalannya itu ke luar dirinya, agar menjadi objek pengamatan bersama dari kolektif maota. Kemudian ia akan mendapatkan berbagai komentar atas persoalannya tersebut. Komentar-komentar yang tentu saja sangat variatif, yang justru mendorongnya untuk berpikir dialektis, dan mengaplikasikan adagium “alam takambang jadi guru”.

Saat maota, orang tersebut dan kolektifnya dapat melihat kehidupannya sebagai sebuah kenyataan (tesis) yang memperoleh komentar (antitesis) dan akhirnya bisa ia lihat sebagai suatu kemungkinan penyikapan (sintesis/tesis baru).

Baca Juga: Khuldi dan Tafsir Kegagalan Sosial Politik

Persoalan awal yang diceritakan, mungkin hanya sebuah pengantar, yang dalam pembahasannya, dapat saja dilihat sebagai akibat dari teks lain: kebijakan politik yang tidak menguntungkan petani, misalnya. Dari sana, mungkin kebijakan tersebut akan dilihat pula kaitannya dengan teks lain, seperti krisis global, percaturan politik, bencana global, kurang berfungsinya KAN, dan lain-lain.

Pada saat cerita berkembang, melompat-lompat, para paota (pencerita) melakukan kritik dan otokritik terhadap cerita. Hal tersebut cenderung untuk disampaikan dalam bentuk yang terkias, baik berupa perbandingan maupun berupa perumpamaan.

Di sinilah potensi dramatik dari maota di lapau. Urutan cerita perbandingan dan perumpamaan tersebut kemudian mengalirkan sebuah alur sendiri, yaitu alur ‘ota’. Di sepanjang alur tersebut, manusia yang diceritakan akan melahirkan penokohan, dan sekaligus konflik.

Pada dasarnya, konflik yang menghidupkan sebuah ota, menyangkut ‘tegangan’ antara manusia dengan alam, manusia dengan kemanusiaan, manusia dengan manusia lain dan manusia dengan nasibnya. Karena itu, pantulan kehidupan tersebut, melahirkan pula ketegangan (suspence) dan memberi kejutan-kejutan (surprise) kepada para paota maupun pendengar cerita lapau. Dilihat dari sudut ini, ota tersebut memang memenuhi ‘ukuran-ukuran’ sebuah drama.

Pada dasarnya, konflik yang menghidupkan sebuah ota, menyangkut ‘tegangan’ antara manusia dengan alam, manusia dengan kemanusiaan, manusia dengan manusia lain dan manusia dengan nasibnya

Ketika melakukan perbandingan dan pemisalan ini pula, seringkali para paota mencontohkan dan memperagakan tokoh cerita. Dengan cara itu, subjek cerita kini tidak saja bicara (artikulatif) tapi juga bertindak (gestikulatif), kini dan di sini. Pada saat inilah maota di lapau memiliki potensi pertunjukan dan tontonan. Oleh karena itu, lapau memang dapat saja dipandang sebagai teater.

Teater, sebagai sebuah tempat dan ruang, di mana penonton dan tontonan bertemu. Teater, sebagai sebuah peristiwa, di mana manusia-manusia bertemu untuk mendialogkan kemanusiaannya. Dialog tersebut terjadi, peragaan atas ‘tindakan’ manusia, untuk selanjutnya dikomentari dan dinilai.

Baca Juga: Mencari Cita Rasa Masakan Minang yang Otentik

Di sinilah potensi teater dari sebuah lapau. Potensi yang membedakannya dengan Surau di satu sisi, dan dengan rumah gadang di sisi lain. Jika sebuah surau lebih berpotensi menjadi ruang ritual di mana dialog terjadi antara makhluk dengan khaliknya, maka lapau berpotensi menjadi ruang teater, di mana dialog terjadi antara manusia dengan manusia.

Di sisi lain, jika rumah gadang menjadi ruang seremonial kaum, di mana pembicaraan terjadi dengan adat pembicaraan tertentu, maka lapau menjadi ruang performational, di mana setiap orang berhak memantulkan dirinya secara bebas.

 

Namun demikian, tidak berarti pula bahwa lapau sepenuhnya sekuler dan ‘tak beradat’. Pembicaraan di lapau, pada dasarnya tetap dilandaskan pada konsep keimanan dan kesadaran ‘adat’. Seringkali, berbagai cerita referensial justru di ambil para paota lapau dari kisah-kisah al-Quran dan Tambo Adat Minangkabau. Akan tetapi, hal tersebut tidak ditujukan sebagai bagian dari ibadah maupun tindakan adat, melainkan terjadi secara ‘bawah sadar’, sebagai refleksi ideologis. Betapapun juga, dua hal tersebut tetap tertanam kuat dalam setiap pribadi paota yang terlibat dalam interaksi dan transaksi lapau, meski -mungkin saja- mereka tidak pernah lagi melaksanakannya secara benar.[]

Tulisan ini pernah ditampilkan di portal padangtoday.com dengan judul: Teater ‘Gaya’ Lapau: Kemungkinan Dramaturgikal atau Sebuah Kegenitan. Tulisan ini disunting kembali dengan tujuan pendidikan.