Pribahasa Minangkabau
Tiap bangsa dan suku bangsa memiliki pribahasa. Pribahasa mencerminkan kekayaan budi, kedalaman pemikiran serta kekhasan mereka. Dalam tradisi Minangkabau, pribahasa bisa diterjemahkan dengan pepatah dan petitih. Ini pun tidak dalam pengertian sempit, sebab pribahasa pepatah-petitih tersebut juga bisa termuat dalam bentuk pantun, mantra, kaba, dan sebagainya. Pepatah-petitih Minangkabau masih digunakan dalam percakapan sehari-hari sampai sekarang, selain juga dalam tulisan. Kebiasaan orang Minangkabau ini disebutkan dalam sebuah pepatah lama: basilek di pangka padang, bagaluik di ujuang karih, bakato baumpamo, barundiang bamisalan.
Setidaknya ada lima sumber pribahasa Minangkabau: orang-orang bijaksana (ulama, penghulu, cerdik pandai), konsep adat, agama, ajaran mistis dan orang-orang biasa. Namun, dalam kenyataan terkadang satu pepatah bisa diduga berasal dari lebih dari satu sumber. Untuk memberikan gambaran boleh kita ambil satu pepatah: haniang saribu aka, pikia palito hati. Hal ini dapat diasalkan kepada kata-kata dari seorang bijaksana dan dari ajaran mistis. Ajaran mistis terutama dalam praktek konsentrasi dan zikir yang menuntut keheningan maksimal. Juga pepatah seperti basuluah manjapuik api. Jika diartikan secara biasa berarti melakukan pekerjaan yang bodoh dan sia-sia. Akan tetapi, dalam makna mistis bisa berarti mencari sesuatu yang sudah dimiliki, maksudnya pengetahuan akan Tuhan (makrifatullah); hal ini sudah dibawa manusia dari lahir (fitrah) cuma untuk merealisasikannya butuh berbagai perjuangan lahir dan batin yang berat.
Secara umum, ada dua bentuk pribahasa: sayings (kata-kata bijaksana) dan idiomatic expressions (ungkapan-ungkapan idiomatis). Kata-kata bijaksana sifatnya langsung dan pesannya dapat ditangkap tanpa banyak berpikir. Misalnya pikia dahulu pandapatan, sasa kudian indak baguno; atau: batanyo salapeh arak, barundiang salapeh makan. Juga: dek lamo lupo dek banyak ragu. Kalau ungkapan idiomatis sifatnya metaforis atau kinayah/ sindiran (cabang ilmu retorika (balaghah) yang paling tinggi nilai seninya). Salah satu kelebihan pribahasa Minangkabau adalah jumlah pepatah yang berbentuk ungkapan idiomatis lebih banyak daripada yang maknanya langsung. Ini membuktikan preferensi orang-orang Minangkabau terutama pada zaman dulu terhadap hal-hal yang metaforis, fenomena yang juga kita temui dalam bentuk kesusastraan Minangkabau lainnya seperti pantun.
Isi pribahasa biasanya dua macam: nasihat (pesan atau pengetahuan praktis) dan ungkapan atas kejadian-kejadian dalam ranah pribadi, sosial dan alam. Pribahasa yang sifatnya kata-kata bijaksana hampir seluruhnya nasihat. Contohnya: barundiang siang caliak-caliak, mangecek malam agak-agak dan bajalan paliharo kaki bakato paliharo lidah. Jika berbentuk ungkapan, pribahasa itu seringkali bersifat metaforis. Contohnya: rundiang bak sarasah tajun (banyak bicara tapi tak bernilai) dan labuah sampik kudo panyipak (keadaan yang amat susah) serta indak laku di Akaik (sesuatu yang tak bermutu).
Baca Juga: Sastra Minangkabau di Mata Anak Minang
Ada dua ciri dalam tiap pribahasa Minangkabau tertentu: ciri universal dan ciri khas. Ciri universal berarti pribahasa tersebut dapat ditemukan padanannya pada pribahasa suku atau bangsa lainnya. Ciri khas berarti pepatah tersebut lebih cocok untuk alam Minangkabau, misalnya karena berkenaan khusus dengan adat. Jika suatu pribahasa tertentu berciri khas Minangkabau, boleh jadi hal tersebut tidak ditemukan padanannya pada pribahasa suku atau bangsa yang lain. Contoh pepatah khas Minangkabau: sarak mangato adaik mamakai. Dan juga: bak abu di ateh tunggua (lemahnya posisi laki-laki Minangkabau masa lalu di rumah istrinya). Juga: jua indak dimakan bali, sando indak dimakan gadai (harta pusaka tidak boleh sembarang dipindah-tangankan).
Dalam artikel ini kita hanya akan melihat sejumlah pribahasa Minangkabau yang universal. Universalitas kebanyakan pepatah Minangkabau akan dibandingkan dengan beberapa pribahasa dari Sunda, Belanda, Jepang, dan Inggris. Karena keterbatasan tempat dan juga sebagai ilustrasi saja kali ini hanya diberikan tiga pepatah yang berbentuk sayings dan tujuh idiomatic expressions.
Contoh kata-kata bijaksana yang bermakna langsung adalah: Tuo-tuo kaladi makin tuo makin manjadi=gaek-gaek taruang asam, makin gaek salero tajam= Ari umur tunggang gunung, angen-angen pecat sawed (pepatah Sunda: walau umur tunggang gunung, keinginan masih menjelang siang).
Contoh kedua: diagak mangko diagiah dibaliak mangko dibalah=al te goed is buurmans gek (pepatah Belanda: terlalu baik akhirnya jadi tolol). Maknanya: sebelum memberikan sesuatu musti ditimbang, jangan terlalu dermawan hingga menyusahkan diri.
Contoh ketiga pribahasa bermakna langsung: ketek taanjo-anjo, gadang tabao-bao, lah tuo tarubah tido, sampai mati jadi parangai=jong geleerd oud gedaan (Belanda: di masa muda dibiasakan, di kala tua tak terubahkan).
Contoh pertama pribahasa yang berbentuk ungkapan idiomatis: arok di buruang tabang tinggi, punai di tangan dilapehkan=Beter een vogel in de hand dan tien in de lucht (Belanda: lebih baik seekor burung yang di tangan daripada sepuluh yang terbang di udara). Maknanya lebih kurang: lebih baik yang sudah ada dimiliki daripada yang masih dalam pengharapan.
Contoh kedua pribahasa idiomatis: lain padang lain bilalang, lain lubuak lain ikannyo=ciri sabumi cara sadesa (Sunda)=jūnin to iro (Jepang: sepuluh orangnya, sepuluh pula warnanya). Maknanya tiap negeri akan berlainan adatnya.
Contoh ketiga pribahasa idiomatis: bariak tando tak dalam, bakucak tando tak panuah=holle vaten klinken het hardst (Belanda: tong kosong paling nyaring bunyinya). Maknanya orang yang bicaranya besar biasanya ilmunya kurang.
Contoh keempat pribahasa idiomatis: bak basangai di abu dingin, bak batanak di tungku duo=manjamua ateh jarami=karo tosen (Jepang: musim panas pakai pemanas, musim dingin pakai kipas angin). Maknanya melakukan sesuatu yang sia-sia dan tak tepat waktu.
Contoh kelima pribahasa idiomatik: tibo di paruik dikampihkan, tibo di mato dipiciangkan=cueut ka nu hideung, ponteng ka nu koneng (Sunda: condong ke yang hitam, miring ke yang kuning). Maknanya tidak adil dan pilih kasih.
Contoh keenam pribahasa Minangkabau idiomatik: sambia manyalam minum aia, sambia badiang nasi masak, sambia badendang biduak hilia=kill two birds with one stone (Inggris)= abura o uru (Jepang: menjual minyak, maksudnya sambil berbicara dengan pelanggan).
Baca Juga: Metafora Terjemahan Bahasa Arab ala Pakiah di Minang
Contoh ketujuh pribahasa Minangkabau idiomatik: aia cucuran atok jatuahnyo ka palimbahan juo=De appel valt niet ver van de boom (Belanda: apel jatuh tak jauh dari pohonnya)= Kaeru no ko wa kaeru (Jepang: anak katak akan jadi katak juga). Maknanya: tabiat orang tua biasanya akan diwariskan pada anaknya.***
Novelia Musda
Alumnus MA Islamic Studies Universiteit Leiden
Leave a Review